Lanskap Kota Surabaya |
Ketika melakukan perjalanan keluar kota, saya senang sekali melihat batas kotanya.
Alasannya, tak lain saya menikmati perpindahan dua wilayah administrasi yang dengan jelas bisa saya saksikan perbedaan nyatanya. Salah satu batas dua kota yang menarik perhatian saya adalah batas Kota Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo. Dua kota bertetangga yang masih dalam kawasan Gerbangkertosusila. Kawasan ini merupakan akronim dari Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan. Jika disejajarkan dengan kawasan lain, maka kawasan ini dibilang mirip dengan Jabodetabek.
Sama dengan kawasan kota besar dengan kota penyangga lainnya, batas Kota Surabaya dan Sidoarjo yang menjadi penyangganya tidaklah terlalu jelas. Batas kedua kota ini sebenarnya dimulai dari wilayah pesisir Gunung Anyar Surabaya yang berbatasan dengan wilayah Sedati Sidorajo, kemudian daerah Bandara Juanda, Kawasan industri Rungkut, Bundaran Waru, dan daerah Karang Pilang.
Batas utama antara Surabaya dan Sidoarjo adalah Bundaran Waru. Bundaran ini merupakan lingkar jalan yang menghubungkan antara Sidoarjo, Kota Surabaya, dan jalan Tol Surabaya-Mojokerto. Bundaran ini pun menjadi pintu masuk utama berbagai kendaraan terutama dari arah selatan.
Jika saya naik bus dari Malang, maka saya mau tak mau harus melewati bundaran ini sebelum masuk ke Kota Surabaya. Bus dari arah Malang akan berhenti di Terminal Bungurasih. Terminal ini sendiri tidak masuk wilayah Kota Surabaya melainkan masih berada di Kecamatan Waru Sidoarjo. Jadi, sebenarnya agak aneh juga jika bus yang saya naiki menuliskan trayek Malang-Surabaya karena tujuan akhir bus tersebut bukanlah di Kota Surabaya. Namun, karena ini sudah dilakukan sejak dahulu kala, maka hal ini sudah mafhum adanya.
Terminal Bus Purabaya (Bungurasih) yang masuk wilayah Sidoarjo. |
Saya harus naik beberapa pilihan transportasi lain sebelum benar-benar masuk Kota Surabaya. Ini berbeda halnya jika saya naik kereta api. Saya bisa turun di Stasiun Wonokromo yang sudah masuk wilayah Kota Surabaya. Saya sudah masuk wilayah kota pahlawan yang akan tentu lebih irit ongkos perjalanan. Makanya, jika masih memungkinkan, saya lebih memilih naik kereta api dibandingkan naik bus.
Untuk masuk Kota Surabaya dari Terminal Bungurasih, ada
banyak pilihan transportasi yang bisa digunakan. Pertama menggunakan bus kota
yang sudah siap ngetem di dalam terminal. Bus kota sendiri ada dua jenis yakni
bus yang dijalankan oleh Damri dan bus yang dijalankan oleh operator swasta.
Saya biasanya memilih bus yang dijalankan oleh Damri karena pendingin udaranya
masih terasa kencang.
Maklum, dengan panasnya Kota Surabaya yang menyengat di kepala, terlebih saya datang dari Kota Malang yang super dingin, rasanya AC adalah nyawa bagi saya. Namun sejak PSBB diberlakukan, bus Damri yang memiliki rute arah Tunjungan Plaza jarang sekali beroperasi. Yang ada bus jurusan Bandara Juanda dan tentu tak sesuai dengan tujuan saya di daerah Ketintang atau daerah sekitar Royal Plaza.
Mau tak mau saya pun menggunakan bus yang dijakankan oleh operator swasta. Sungguh, menaiki bus ini harus ekstra sabar. Selain tak ada AC, waktu ngetemnya lama dan kadang harus dioper ke bus belakangnya. Belum lagi pengamen yang naik turun yang saya hitung bisa sampai 6 lebih. Ada juga anak kecil yang memberikan amplop sebagai tanda agar penumpang memberikan uangnya sebagai sedekah.
Kondisi Bus Tanpa AC |
Walau kasihan, tetapi melihat attitude mereka yang bagi saya cukup urakan dan memaksa, kadang ya cukup jengah juga. Dan yang kadang bikin saya kesel, ternyata harga tiket bus tersebut kini 10 ribu rupiah. Padahal sebelum covid-19, tiket bus hanya 7 ribu rupiah. Ya sudahlah, kalau saya tidak sedang terburu maka saya menguatkan hati naik bus tersebut.
Anak kecil yang meminta uang |
Kalau sedang ada dana lebih atau saya terburu, maka saya pun melewati batas dua kota tersebut dengan ojek daring. Namun, untuk memesan ojek daring, saya harus turun di luar terminal dan berjalan di titik aman penjemputan yakni di sekitar Pabrik Rokok Gudang Garam Waru.
Selama berjalan, tentu “tawaran” dari ojek pangkalan harus saya tolak. Belum lagi panasnya Sidoarjo yang menyengat harus bisa saya taklukkan. Kala saya bisa mendapatkan driver dengan cepat, hati ini rasanya lega. Saya bisa melewati batas Surabaya dan Sidorajo sambil melihat para penglaju yang hilir mudik di dua kota itu. Sekaligus, saya bisa merekam perjalanan kala melewati batas dua kota itu.
Penumpang bus antar kota menunggu bus di dekat pintu Tol Waru, batas Kota Surabaya dan Sidoarjo. Tindakan ini sesungguhnya dilarang |
Batas yang kabur walau sebenarnya bisa terlihat jelas perbedaannya. Ketika jalanan pasar tradisional yang padat di sekitar fly over Waru berganti dengan tata kota yang cantik di Wonocolo (Jalan A Yani) dan beberapa Mall yang menjulang tinggi. Harus saya akui, meskipun keduanya berbatasan langsung, disparitas antara Sidoarjo dan Surabaya terlihat menganga. Di satu sisi, Surabaya semakin maju dengan tata kotanya yang ciamik sementara Sidoarjo, walau ada usaha untuk itu, tetapi masih cukup tertinggal.
Meski demikian, tanpa Sidoarjo, Surabaya tidaklah bisa berdiri. Saya katakan demikian karena banyak sekali sumber daya alam maupun manusia yang dibutuhkan Surabaya berasal dari Sidoarjo. Terminal bus Bungurasih yang menjadi pintu gerbang Surabaya adalah bukti nyata itu. Pun, berbagai kegiatan ekonomi yang tak bisa dilepaskan dari kedua warga kota. Untuk itu, memisahkan Surabaya dan Sidoarjo seperti saat PSBB lalu, bukanlah hal yang mudah.
Bukti nyata itu terlihat saat saya naik ojek daring dari arah Surabaya menuju Terminal Bungurasih,. Ketika sang driver melewatkan saya di jalan tikus untuk menghindari bundaran Waru, saya bisa melihat jelas aktivitas warga dua kota itu yang saling membutuhkan.
Warga Surabaya di daerah Dukuh Menanggal banyak yang berlalu lalang ke perkampungan di daerah Waru dan sebaliknya. Mereka dengan asyik melewati sebuah jembatan sungai kecil yang ternyata menjadi batas kedua kota ini. Tukang bakso, tukang cilok, anak-anak yang bermain laying-layang, dan ibu-ibu yang naik motor dengan dasternya, dengan asyik melewati batas dua kota ini dengan pemandangan jalan besar di dekat mereka. Benar-benar batas kota yang kabur.
Perbatasan Surabaya dan Sidoarjo di kawasan pemukiman Dukuh Menanggal (kiri) yang masuk Surabaya dan Waru (kanan) yang masuk Sidoarjo. |
Dari sini saya semakin yakin bahwa segala pembatasan akibat wabah covid-19 yang dijalankan oleh pemerintah seakan tak bisa membendung segala aktivitas itu. Warga yang butuh makan akan tetap berusaha berjuang agar bisa bertahan. Makanya, sejak beberapa kali edisi PSBB, kini Surabaya dan Sidoarjo tak lagi menerapkan kebijakan tersebut.
Hanya saja, moda transportasi penghubung batas dua kota ini haruslah diperbaiki lagi. Memang ada Bus Suroboyo yang nyaman layaknya BRT lain. Namun, untuk membayar tiketnya cukup ribet dengan sampah plastik. Walau cara ini bagus, tetapi bagi pendatang dari luar kota seperti saya kok rasanya riweh. Ya kali saya membawa sampah plastik dari Malang sebanyak 5 botol. Makanya, dengan terpilihnya Wali Kota Surabaya dan Bupati Sidoarjo yang baru, harapan untuk memperbaiki sarana transportasi dua kota ini amat ditunggu. Kalau Jabodetabek berhasil dengan Trans Jakarta dan KRL, Semarang dengan Trans Jatengnya, masak Surabaya tidak bisa?
Itulah harapan saya sebagai penglaju yang cukup sering masuk Surabaya dan melewati batas kotanya dengan Sidoarjo. Batas yang ditandai dengan ikan dan udang lalu berganti dengan ikan sura dan buaya.
Begitulah...Surabaya sebagai pusat ekonominya Jatim.. Kue2 pembangunan banyak berada di Surabaya, maka daerah2 sekitar (Sidoarjo termasuk) menjadi penopang aktivitas ekonomi...
ReplyDeleteiya mbak kota di sekitarnya jadi penopang ekonominya
DeleteBisa sambil nyanyi2 lagi memori mas, "di batas kota ini" :)
ReplyDeletehaha bisa aja bang
DeleteSaya sering lihat iklan (eh apa layanan masyarakatya lebih tepatnya) Kota Surabaya di JTv yg memaparkan kemajuan kota Surabaya, mulai dari brp Km pedestrian baru dibangun, taman kota bahkan mengalihfungsikan 6 bekas lokalisasi, sambil berdecak kagum. Dalam hati pun berdoa seandaianya bisa diterapkan di seluruh wilayah Indonesia..
ReplyDeleteJd menarik kalau tetangga terdekat saja masih belum sanggup meniru apa yang sudah dicapai Suarabaya. Mungkin faktor pembiayaan juga ya? atau pemangku kebijakan belum ada yg sekaliber Bu Risma? Wallahualam Bi Shawab
iya mbak banyak sekali berita yang memaparkan kemajuan surabaya
Deletetaman kotanya bagus dan bekas lokalisasi kini diberdayakan
bisa juga mbak bisa dari pemimpinnya
tetapi memang cukup jauh perbedaanya meski kadang engga terlihat
Kak Ikrom unik banget, suka memperhatikan batas antarkota hahaha. Kalau aku jarang perhatiin karena tandanya suka nggak jelas, tahu-tahu udah beda wilayah 😂
ReplyDeleteTapi rasanya lucu juga sih kalau berdiri di antara perbatasan, lucu aja gitu kaki kiri di wilayah mana, kaki kanan di wilayah mana wkwkwk
hahah iya mbak apalagi kalau ada patungnya ya
Deleteaku suka banget motoin atau videoin
Topik yang menarik nih Mas, soalnya perbatasan antar kota itu emang unik, kadang terlihat banget perbedaan pembangunannya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain namun dari segi masyarakatnya malah perbatasan itu terlihat begitu kabur.
ReplyDeletebenar mas kadang terlihat jela stapi kabur juga jika penglajuan warganya besar ya
DeleteSeumur2 aku aja ga prnh liat perbatasan kota antara Jakarta dan Bekasi misalnya :D. Salut kamu sampe merhatiin mas.
ReplyDeleteDuuuh udah lama aku ga tertarik naik bus kota begini di JKT. Mndingan transJ lah. Kalo bus kota yg ada aku stress duluan apalagi dulu sempet kecopetan. Hahahahah kapok...
Naaah anak2 kecil2 yg suka minta2 itu aku srg liat juga. Kasian memang, tp biasanya aku ga mau ksh mas, sejak tau ada bandar yg mengawasi mereka.
mungkin hobi hya mbak padahal ngapain juga ya hehe
Deleteiya aku juga males sebenernya tapi sekarang ojek daring mahal huhu jadi ya naik bus kota ini
aku juga berpikir begitu makanya paling aku beri 1000 rupiah aja klo kepepet
Kapan ya, bisa ke sana.
ReplyDeleteSaya jadi kangen mudik ke Surabaya lagi, nih...
ReplyDelete