Upacara Pembukaan Lomba BKS |
Diantara sekian lomba yang dipertandingkan dalam Bina Kreativitas Siswa, saya mendapat kesempatan menjadi pembimbing lomba siswa berprestasi.
Alasannya, mata lomba lain saya tak begitu mahir untuk mendampingi. Semisal, lomba puisi, pidato, dan mendongeng yang butuh kemampuan khusus untuk memberikan contoh pada anak. Sementara, kemampuan saya di tiga bidang tersebut amat minim.
Pun keterampilan yang saya di bidang kesenian. Mulai lomba membatik, melukis, kriya anyam, dan menggambar cerita bergambar. Rasanya saya melambaikan tangan kalau diminta untuk mendampingi siswa dalam lomba-lomba tersebut.
Makanya, salah satu lomba yang memungkinkan untuk saya bina adalah lomba siswa teladan. Lomba ini juga sering disebut lomba siswa berprestasi karena menampilkan prestasi siswa, tak hanya dalam sisi akademik saja tetapi juga dalam bidang nonakademik.
Lomba ini memiliki banyak sekali penilaian. Ada tes tulis, wawancara, tes keterampilan khusus, dan bakat minat. Barangkali, lomba ini bisa disejajarkan dengan kontes kecantikan meski tak ada babak fashion show di dalamnya. Lantaran banyaknya aspek penilaian yang harus dipersiapkan, maka saya dan salah seorang guru yang juga menjadi pembimbing lomba ini pun harus selektif memilih siswa yang akan bertanding.
Memilih Siswa yang Ikut Lomba
Siswa yang kami pilih juga merupakan cerminan dari sekolah kami. Alasannya, lomba ini termasuk lomba bergengsi yang selalu menjadi incaran banyak sekolah, terutama sekolah favorit. Tiap tahun, persaingan sengit terus terjadi dan ketika melihat skor penilaian antar juara, rasanya cukup tipis.
Kami biasanya menjaring peringkat 1-3 di tiap kelas paralel untuk kami seleksi pada tingkat sekolah. Seleksi ini biasanya dilakukan dengan tes tulis dan wawancara singkat. Kami tak mau hanya memilih siswa yang pandai mengerjakan soal tetapi harus aktif dan mahir berbicara di depan orang. Kadang, seleksi ini berbarengan dengan seleksi untuk olimpiade MIPA karena jarak waktunya berdekatan. Siswa yang kurang aktif dalam berbicara tetapi mahir mengerjakan soal biasanya akan langsung kami tunjuk untuk mengikuti ON MIPA.
Jadi, tiap tahun kami memberikan kesempatan yang sama kepada beberapa anak untuk mengikuti dua perlombaan tersebut. Artinya, tidak ada siswa yang dobel mengikuti dua ajang sekaligus. Selain sebagai rasa keadilan, kadang pelaksanaan dua lomba tersebut juga mepet. Kasihan juga kalau ada anak yang sudah mengikuti lomba ON MIPA tetapi malah disuruh mengikuti lomba siswa berprestasi.
Setelah mendapat 4 anak yang akan mewakili sekolah, maka kami mempersiapkan dulu mereka untuk seleksi di tingkat gugus. Seleksi ini merupakan seleksi awal yang diadakan oleh beberapa sekolah di naungan gugus kami. Gugus sendiri adalah bagian terkecil dari kumpulan beberapa sekolah. Tiap kecamatan biasanya akan dibagi menjadi beberapa gugus yang terdiri dari 5-10 sekolah.
Seleksi di tingkat Kecamatan |
Masing-masing gugus, mendapatkan slot mengirim 3 pasang wakil (3 putra dan 3 putri) untuk bertanding di tingkat kecamatan. Kadang, seleksi tingkat gugus tidak diadakan. Ini pernah terjadi lantaran hanya ada 2 sekolah yang berniat mengirimkan wakilnya. Alhasil, sekolah saya yang merupakan sekolah inti secara otomatis mengirimkan 2 pasang sekaligus dan 1 pasang lain diwakili oleh sebuah sekolah katolik.
Namun, ketika ada banyak sekolah yang berminat mengirimkan wakilnya, ya secara fair kami pun harus melakukan seleksi. Kebetulan saat itu saya juga menjadi juri dan mempersiapkan beberapa soal bagi mereka. Lantaran adanya keterbatasan slot, maka sekolah saya pada tahun tersebut hanya mengirimkan 1 pasang.
Perisapan Menjelang Lomba
Persiapan sesungguhnya terjadi ketika akan mengikuti lomba di tingkat kecamatan. Di sinilah persaingan mulai sengit karena tiap tahun sekolah yang langganan juara akan menampilkan siswa terbaiknya. Saat awal mula ditunjuk sebagai pembina, saya tak terlalu berekspektasi lebih. Yang penting mereka sudah melakukan persiapan maksimal dan menikmati proses lomba ini.
Saya tekankan kepada mereka bahwa ketika mereka mulai menikmati proses itu, walau melelahkan, tetapi ada cerita yang bisa jadi tak didapatkan oleh anak-anak lain. Untuk itu, sudah sepantasnya mereka bersyukur membawa nama baik sekolah. Dengan cara ini, sesungguhnya mereka sudah jadi pemenang.
Kami memiliki jadwal tiap hari untuk berlatih. Misalkan berlatih menjawab soal, wawancara, keterampilan, dan lainnya. Yang cukup sulit sebenarnya melatih mereka untuk wawancara. Membiasakan berdiri dengan benar, memandang mata juri dengan santai agar tidak grogi, dan menyusun kalimat untuk berbicara. Makanya, memilih anak yang tahan banting amat diperlukan agar mereka tidak stres. Meski, tetap membuat mereka rileks juga amat penting.
Beberapa tahun terakhir, penguasaan di bidang IT juga sangat penting. Penilaian wawancara pun beralih menjadi presentasi mengenai program sekolah yang unik. Semisal pemilahan sampah, Patroli Kemanan Sekolah (PKS), dokter kecil, dan sebagainya. Serius, lama-lama seperti deep interview dan advokasi Miss Universe. Saat membaca juklak lomba, saya pun menemukan pergantian penilaian ini yang biasanya dilakukan hanya secara face to face antara juri dan peserta.
Berlatih Lomba |
Oke baiklah, saya dan rekan saya pun juga harus mempersiapkannya. Kami pun melatih mereka dengan pelatihan singkat mengenai power point. Untungnya mereka amat antusias dan bahkan sering meminta tambahan lebih untuk sesi ini. Menurut mereka, kalau untuk menjawab soal bisa mereka pelajari sendiri tetapi untuk penilaian seperti ini mereka masih memerlukannya.
Menikmati Suasana Lomba
Ketika hari-H tiba, entah mengapa biasanya selalu excited dan tak terlalu deg-degan. Bisa jadi saya larut dalam kemeriahan acara ya makanya kadang lupa kalau sebentar lagi siswa saya bertanding. Selepas upacara pembukaan, tak lama kemudian lomba pun dimulai. Saya langsung menggiring siswa saya ke ruangan yang dijadikan tempat penilaian.
Melihat siswa dari sekolah lain yang (seakan) lebih siap, sempat muncul rasa tidak pede. Apalagi kalau lihat gurunya sudah menenteng berbagai peralatan seperti biola, keyboard, gitar, dan lain sebagainya, rasanya sempat ciut nyali. Namun, kalau saya ciut ya gimana siswa saya.
Saya pun kembali memberikan suntikan “enjoy the moment” kepada mereka. Sudah, nikmati saja dan tampilkan sebaik-baiknya. Masalah menang atau kalah itu urusan nanti yang penting dapat pengalaman baru dan teman baru dari sekolah lain. Saya pun juga mencari teman baru yakni para guru yang mengantar siswa mereka.
Rata-rata masih muda dan sepantaran dengan saya. Kami pun bisa akrab, meski dari berbagai latar sekolah berbeda. Ada yang dari sekolah negeri macam saya, ada yang dari sekolah islam atau MI, dan tentunya ada yang dari sekolah Kristen/katolik. Kami biasanya mengobrol dengan nada pelan sambil melihat apa yang terjadi di dalam ruangan mengenai persiapan yang selama lomba dan berbagai omongan mengenai sekolah lainnya.
Ternyata, apa yang mereka rasakan ya hampir sama sih dengan saya. Mereka juga baru pertama kali menjadi pembimbing siswa dan juga sempat kebingungan. Bahkan, ada pula siswa mereka yang mogok karena beberapa tekanan dari keluarga. Siswa saya sendiri ada sih yang mamanya begitu ngotot menang. Untungnya, setelah saya berbicara kepada yang bersangkutan paham. Kasihan lho kalau anak ditekan hanya untuk menang.
Untungnya perlombaan pun lancar. Meski ada insiden satu siswa laki-laki saya hilang karena membeli cilok, tapi saya puas dengan mereka yang masih ceria sampai akhir lomba. Saat makan siang, mereka juga semangat bercerita apa saja yang mereka lalui.
Sekitar siang hari, pengumuman lomba pemenang pun tiba. Dan bisa ditebak, karena lomba ini memiliki penilailan yang kompleks, maka pengumumannya yang paling akhir. Arena lomba sudah sepi karena banyak peserta dan orang tua beserta gurunya sudah pulang. Tinggal para peserta dan official lomba siswa teladan yang masih bertahan.
Hasil yang Tak Terduga
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya tak berekspektasi tinggi terhadap hasilnya. Lantaran, kecamatan tempat sekolah saya berdiri merupakan pusat pemerintahan Kota Malang. Di sana otomatis ada puluhan sekolah top yang sudah langganan juara.
Eh ndilalah, Tuhan memberikan mukjizat. Satu siswi saya menyabet juara harapan 2 dan kejutan terjadi pada dua siswa saya. Mereka mendapat juara 2 dan 3 sekaligus. Saking girang dan hebohnya, saya dan guru lain sampai berjingkat di tengah halaman venue lomba. Untunglah ada Bapak Kepala Sekolah yang tetap cool meski ini sepertinya pertama kali ada dua siswa bisa masuk 3 besar di tingkat kecamatan.
Siswi saya (berhijab biru) mendapat posisi runner-up 4 |
Saya tidak paham juga kenapa siswa saya bisa menang karena lagi-lagi ini penjurian tertutup. Namun, saya yakin jika mereka cukup kuat dalam presentasi dan wawancara karena kedua siswa tersebut cukup aktif bertanya dan menjawab saat di kelas. Keingintahuan mereka begitu tinggi.
Momen bersejarah. Abaikan seragam saya yang super ketat ya hihi. |
Rasanya terharu sekali. Tidak sia-sia setiap hari pulang sore dan menyiapkan ini itu. Saya bisa merasakan jika ada official atau pelatih yang melihat keberhasilan tim atau atlet yang dilatihnya. Dan juga saya bisa merasakan bahwa kita memang gembira atas keberhasilan kita tetapi alangkah jauh gembira kalau anak kita yang berhasil. Foto saat penyerahan piala sampai sekarang saya pajang di kamar. Buat kenang-kenangan saja.
Itulah sedikit pengalaman saya saat jadi juri lomba siswa teladan. Walau gagal di tingkat kota, tetapi bagi saya ini sudah lebih dari cukup. Bagaimana dengan Anda, pernah menjadi pembimbing lomba atau mengantarkan anak Anda lomba? Bagi kisahnya yuk, pasti seru sekali.
Kak Ikrom, aku ikut senang sebab anak-anak bimbingan Kakak bisa menjadi juara :D selamat ya, Kak!
ReplyDeleteBerarti Kak Ikrom udah cocok nih menjadi mentor anak-anak yang akan ikut perlombaan. Tahun depan siap-siap untuk menjadi mentor kembali ya, Kak 🤭
sayangny saya sudah resign mbak dan engga jadi guru lagi hehe
DeleteSelamat ya Mas, semoga ke depannya lagi bisa juara satu dan dapat prestasi yang lebih baik lagi. Aamiin..
ReplyDeleteamin terima kasih mas
DeleteIkutan excited bacanya, mas :D ehehehe.
ReplyDeleteSaya dari dulu suka banget ikut lomba akademis, dari jaman SD. Hahaha. Jadi saya bisa sedikit relate sama apa yang dirasakan adik-adik di atas, plus tentunya apa yang yang dirasakan mas Ikrom sebagai pendamping siswa :3
By the way, jaman saya dulu, untuk non-akademisnya ada pilihan menulis cerita atau bermain musik (piano / gitar), dan saya memilih tulis cerita sebab nggak begitu jago main musik hahahaha. Baca tulisan mas Ikrom jadi bring back my old memories <3
hahahah iya mbak memang memorable ya dan jadi kisah hidup
Deletebangga banget pasti mba eno dulu sering ikut lomba pas SD
saya juga bakal milih nulis aja daripada main musik
gabisa soalnya hehe