Taman Sri Tanjung |
Perjalanan ke Banyuwangi masih terus berlanjut.
Selepas bertandang ke Kalilo, saya pun berjalan kaki ke arah Taman Sri Tanjung. Bisa dibilang, tempat ini adalah alun-alun dari Kota Banyuwangi. Saya suka penataan taman ini yang tampak apik meski jika dibandingkan dengan alun-alun di kota lain tidak terlalu luas.
Sama halnya dengan penataan alun-alun di kota lain, ada beberapa syarat bangunan yang harus menjadi ciri khas di sekelilingnya. Misalkan, masjid agung di sebelah barat dan pendopo bupati di sebelah utara. Dua bangunan penting ini juga berdiri kokoh di sekitar Taman Sri Tanjung. Ini menandakan bahwa filosofi penataan perkotaan Jawa masih diadopsi oleh Kota Banyuwangi.
Masjid Agung Baiturrahman Banyuwangi |
Saya berjalan ke arah timur menuju deretan bangku dengan melewati beberapa air mancur. Derasnya air yang keluar membuat rasa panas yang menyengat sedikit hilang. Saya pun duduk di deretan kursi dan memandang bangunan besat yang ada di sisi timur taman ini. Bangunan tersebut tak lain adalah Plaza Pelayanan Satu Atap yang berisi berbagai instansi pelayanan publik. Oh ya, saya baru tahu tak ada Mall besar di Banyuwangi. Kalau pun ada, ukurannya tak terlalu besar seperti Roxy Mall dan City Mall.
Bagian Taman Sri Tanjung Banyuwangi |
Saya duduk sambil merasakan heningnya suasana sekitar lantaran arus lalu lintas yang tak terlalu ramai. Yah maklum, hari sudah siang. Sambil duduk, saya ingat kalau harus mendatangi suatu tempat yang masih ada hubungannya dengan buku sejarah yang saya bawa. Tempat tersebut adalah Kampung Wisata Temenggungan atau sering disingkat Kawitan.
Kampung ini adalah tempat para seniman Lekra, salah satu organisasi kesenian yang disebut-sebut dekat dengan PKI. Menurut buku yang saya baca, Kawitan adalah rumah dari seniman Lekra yang terkenal bernama Muhammad Arief. Ia adalah seniman asli Banyuwangi yang menggubah lagu daerah Banyuwangi menjadi lagu Genjer-Genjer. Lagu tersebut adalah lagu yang sering dinyanyikan oleh PKI ketika ada berbagai acara, semisal kampanye atau rapat akbar.
Gapura Kampung Temenggungan (Kawitan) Banyuwangi |
Nah, saya penasaran saja tentang kampung ini. Apalagi, syukur-syukur kalau bisa menemukan rumah M. Arief. Walau harus merelakan kenikmatan duduk di kursi Taman Sri Tanjung, saya pun melangkahkan kaki ke Kawitan.
Baru beberapa meter masuk gapura kampung, saya mendapat
kejutan mengenai adanya sumur tua yang diyakini sebagai sumur legenda
Banyuwangi. Sumur ini konon katanya berbau harum sesuai cerita legenda wilayah
ini. Sayangnya, untuk masuk ke sumur tersebut saya harus menghubungi pemilik
rumah tempat sumur itu berada. Saya pun mengirim pesan WA dan ternyata ibunya
sedang keluar rumah. Baru pulang saat maghrib menjelang. Ya sudah, saya pun
kembali berjalan masuk ke Kampung Kawitan.
Tidak sia-sia saya berjalan masuk ke kampung itu karena aneka rumah di sana sudah dicat dengan ornamen khusus. Berbeda dengan warna rumah pada Kalilo yang menyala, warna cat rumah Kawitan lebih memakai warna yang pudar. Pudarnya warna ini malah memberikan kesan jadul yang amat cantik terlebih banyak rumah di sana dibangun pada era kolonial. Rumah bergaya kolonial tersebut berselang-seling dengan rumah bergaya using yang sederhana dengan gaya tikelnya.
Rumah gaya kolonial di Kawitan |
Saya memotret satu demi satu rumah di Kawitan. Kampung itu ternyata sepi karena banyak penduduknya sedang istirahat atau ada yang berlatih musik untuk upacara Tahun Baru 2019. Makanya, saya tak banyak menemukan warga di sana. Hanya seorang anak laki-laki yang tiba-tiba menari lucu sekali dan langsung saya foto. Tanpa banyak basa-basi, saya mengambil gambarnya yang tidak malu menampilkan atraksi tari gandrung ala-ala. Sayang, foto calon anggota legislatif cukup besar mengganggu pemandangan foto yang saya ambil. Ah sudahlah, namanya sedang musim kampanye legislatif.
Seorang anak yang spontan menari di Kawitan Banyuwangi |
Kampung Kawitan ini sebenarnya tak terlalu luas. Hanya saja banyak perempatan kecil yang cukup membingungkan dan tembus ke beberapa jalan besar. Saya masih belum menemukan di manakah rumah seniman Lekra yang keberadaannya hilang bersamaan dengan pembersihan anggota PKI sejak 1965 itu.
Saya pun berjalan dan bertemu dengan beberapa warga yang sedang membuat senjata dan beberapa ukiran lain. Wah ternyata tidak hanya seniman musik saja ya yang ada ada kampung ini. Beberapa ornamen dan gambar yang menceritakan para seniman Banyuwangi tampak apik berada di beberapa sudut kampung.
Seorang perajin sedang mengecat senjata di rumahnya |
Saya terus berjalan sambil sesekali mengusap peluh dan minum air mineral yang saya bawa. Hingga akhirnya saya berada pada sebuah jalan yang saya yakini sebagai tempat tinggal M. Arief. Saya urut nomor rumah sesuai dengan keterangan yang saya baca di dalam buku dan woila.
Saya bertemu rumahnya!
Sebuah rumah sederhana bercat biru dan hijau yang terutup rapat. Oke, saya tidak akan masuk karena dengan menemukannya saja sudah cukup. Saya memotret rumah itu tetapi hanya untuk konsumsi saya pribadi. Entah benar atau tidak, yang jelas kalau dirunut sesuai nomor rumahnya ya tidak ada lagi. Ciri-ciri rumah sang seniman yang disebutkan dalam buku dan sumber sejarah lain juga mirip. Saya puas sekali. Perjalanan saya ke Banyuwangi yang ditemani kecelakaan tidak sia-sia. Saya langsung memesan ojek daring untuk kembali ke penginapan.
Relief Penari Banyuwangi |
Puas rasanya bisa menemukan apa yang kita cari saat jalan-jalan meski kata banyak orang tidaklah penting. Tapi saya mengerti akhirnya bagaimana para seniman di Kawitan yang mulanya berjaya lalu menjadi pesakitan saat orde baru. Untunglah, roda berputar kembali dan kini mereka mendapat tempat terhormat dari Pemkab Banyuwangi. Nama baik dan eksistensi mereka diakui lagi.
I think they deserve that honor.
Sesampainya di penginapan, saya mendapat pesan dari dua rekan wanita kuliah yang dulu sama-smaa kuliah di Jurusan Kimia agar saya bisa bertemu. Saya pun menyanggupi karena jujur, walau melalui komunikasi WAG saya sangat malas jika menjalin percakapan dengan kawan lama, tetapi kalau bertemu langsung saya sangat gembira.
Bertemu dengan dua rekan kuliah wanita bersama suaminya masing-masing. |
Kami pun sepakat bertemu di sebuah kafe yang dekat dengan wilayah Banyuwangi Barat. Kami melepaskan kangen dan kedua rekan saya datang bersama suami dan anak-anaknya sementara saya sendirian. Meski begitu, rasanya pertemuan singkat itu serasa masih kuliah dan kami bercerita kegiatan kami masing-masing. Tentu, rekan saya masih geleng-geleng kepala ketika saya bercerita mencari rumah seniman yang dicap PKI.
Saya menutup hari itu dengan gembira. Esok harinya saya sudah janjian dengan seorang penjaja ojek wisata untuk berkeliling pantai di sekitar Banyuwangi. Tak sekadar pantai, saya juga akan belajar bagaimana kota ini menata wilayahnya langsung dari kediaman orang nomor satu di Banyuwangi.
Penasaran? Tunggu ya kisah selanjutnya.
dulu kalau aku ada perjalanan dinas ke Banyuwangi agak males, lahh mall aja nggak ada hahaha, roxy yang sekarang masih mending udah banyak tenant masuk, dulu isinya cuman supermarket dan baju aja.
ReplyDeletetempat nongkrong pun duluuuu banget nggak serame sekarang, sekarang udah beragam pilihannya. dan pizza hut pun udah masuk di sana
jadi kalau aku milih perjalanan dinas sekarang, ke Banyuwangi oke aja, karena udah rame
beruntung yang tinggal di banyuwangi, ada pantai yang deket kota, kayak boom, pantai cemara juga. kalau lagi pengen liat laut tinggal meluncur
iya mbak aku cari mallnya engga ada
Deleteada sih tapi di genteng jauh banget hehe
iya seneng kalau dekat dengan pantai tinggal melipir hihi
Perjalanan yang cukup menarik ya Mas, santai di Alun-Alun Kota yang terlihat asyik buat ngadem, lanjut ke Kampung Kawitan, malah nyari rumah yang dicap PKI.
ReplyDeleteWah... Cerita selanjutnya menarik nih, wisata pantai.
Ditunggu ya Mas.
hahah iya mas malah cari rumah orang
Deletesudah tayang mas makasih
Sepi ya..
ReplyDeleteKayaknya enak gitu buat jalan-jalan sendiri, pagi apa sore. Nggak rame dan berasa aman buat pejalan kaki.
Terus alun-alun nya juga asri, ijo banget!
Ditunggu update an perjalanan selanjutnya!
iya sepi banget dan bisa buat cari inspirasi
Deleteaku suka juga ijo banget alun alunnya mbak
Syukurlah akhirnya bisa menemukan rumah yang dituju, semoga benar itu rumah kesenian yang Kakak maksud ya 😁
ReplyDeleteReliefnya bagus ya Kak 😍 aku suka lihatnya, warna-warni dan mampu menarik mata sehingga ingin melihat hahaha.
iya reliefnya bagus banget ya mbak
DeleteWah, hari ini pak guru senang karena bertemu dengan teman kuliah ya.😀
ReplyDeletePak guru niat sekali ke kawitan untuk mencari rumah bersejarah tersebut ya, syukurlah akhirnya bertemu. Tidak sia-sia jalan jauh ke Banyuwangi ya pak.😀
hahhaha iya niat banget ya saking keponya
Deletekelihatan sunyi sahaja tapi menarik untuk dikunjungi... ada gambar dalam masjid tu, mas?
ReplyDeletesaya tak sempat ke sana mbak
DeleteAku pernah ke taman sritanjung ini. Waktu itu 3 hari di Banyuwangi. Sore-sore mau kemana, ya udah ke alun-alun, duduk di bangku sambil makan kacang rebus. Lanjut maghriban di masjid, yang ternyata aku mesti muter-muter naik turun tangga, nyari tempat wudhu wanita.
ReplyDeleteTulisan mas Ikrom ini asli bikin aku kangen Banyuwangi.
wah kok sampe mutermuter mbak hehe
Deleteiya makasih mbak
Wow... Bagus banget kampungnya,, apa karena bagus cameranya yah?? xixix Kampungnya bersih gtu. berasa lebih damai.. hehe Jadi pengen kesana..
ReplyDeleteLohh, Nggak papa mas sndirian.. Saya juga kemana-mana selalu sendirian. Malah sering juga ikutan nimbrung teman yg lagi asik2 sama pacarnya.. hahah
hahahah iya mas asyik ya sendirian
Deletebagus benget emang kampungnya
Banyuwangi ini... apa wis ada gojek? terakhir ke Banyuwangi taun 2018an, cari taksi ae angelll, angkot pun jarang terlihat mataa
ReplyDelete