Denyut Pemilukada Langsung 2020 masih bergeliat di tengah pandemi covid-19.
Suhu politik mulai memanas. Masing-masing calon kepala daerah mulai bergerilya meraih simpati masyarakat. Entah bagaimana hasilnya nanti, yang jelas gelaran demokrasi di daerah sama panasnya dengan gelaran demokrasi di tingkat nasional.
Berbicara mengenai Pemilukada, jauh sebelum kegiatan ini digelar, tepatnya pada era orde lama, pesta demokrasi di daerah juga berlangsung sengit. Namun saat itu, pesta demokrasi tidak memilih kepala daerah secara langsung melainkan memilih anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Gelaran ini dilakukan secara bertahap antara tahun 1957 hingga 1958.
Pemilu Lokal yang Tidak Serentak
Pemilihan anggota DPRD tersebut tidak dilaksanakan serentak dengan pemilihan anggota DPR seperti sekarang. Pemilihan pun dilakukan secara terpisah dan berbeda waktunya tiap daerah. Ada yang dilaksanakan akhir 1957 dan ada yang awal 1958.
Uniknya lagi, tidak semua daerah bisa menyelenggarakan pemilu daerah atau sering disebut pemilu lokal ini. Alasannya, tak lepas dari adanya pemberontakan yang terjadi di daerah. Pemberontakan paling akbar saat itu adalah pemberontakan PRRI/Permesta yang terjadi di sebagian Sumatera dan Sulawesi. Pemilu pun dilaksanakan hanya di beberapa daerah yang dianggap aman, antara lain Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Sumatera Selatan, dan Riau.
Baca juga: Suburlah Tanah Airku, Alunan Lagu Indah yang Hilang Bersama Lekra
Pemilu lokal memilih wakil rakyat di parlemen daerah. Tentu, apa yang dikampanyekan oleh partai politik saat gelaran ini berlangsung berbeda dengan saat pemilu nasional tahun 1955. Isu seperti pertahanan keamanan, hubungan luar negeri, dan stabilitas ekonomi tidak menjadi paparan utama dalam pemilu lokal ini.
Isu yang diangkat lebih banyak mengenai masalah yang terjadi di daerah. Isu mengenai upah buruh lokal yang rendah, kesejahteraan kaum miskin kota, konflik tanah, dan lain sebagainya menjadi isu populer. Mereka pun berlomba-lomba membawa isu-isu yang dekat dengan rakyat daerah tersebut agar bisa mendapatkan suara sebanyak-banyaknya.
Lalu, diantara sekian partai politik saat itu, manakah yang memiliki kesuksesan yang gemilang?
Tidak lain dan tidak bukan adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Jika pada pemilu nasional 1955 PKI berhasil masuk sebagai peringkat keempat pengumpulan suara nasional, maka pada pemilu lokal di beberapa daerah PKI bisa meningkatkan suaranya cukup signifikan dan menggeser partai politik lainnya.
PKI Berjaya di Jawa dan Sumatera Selatan
Pulau Jawa menjadi lumbung suara PKI. Di semua Provinsi di Pulau Jawa, PKI berhasil melipatgandakan suaranya. DKI Jakarta menjadi kegemilangan PKI dengan kenaikan suara sebesar 7,1% dan membuat PKI menjadi nomor 2 di ibukota menggeser PNI dan NU. PKI hanya kalah dari Masyumi yang tetap menjadi partai dengan suara terbanyak di DKI Jakarta.
Kampanye PKI di DKI Jakarta |
Kenaikan suara cukup besar PKI juga terjadi di Jawa Tengah. Jika pada pemilu 1955 PKI menjadi pemenang nomor dua, pada pemilu lokal saat itu, PKI berhasil menjadi juara dan menggeser PNI dengan kenaikan suara sebesar 5.9%. PKI juga tak terkalahkan di Provinsi DIY dengan menjadi pemenang pertama jauh mengungguli lawan-lawannya.
Baca juga: Kisah Perseteruan PKI dan Masyumi
Jawa Timur yang lekat dengan pemilih NU juga menjadi lumbung suara PKI. Meski berada pada posisi 2, PKI berhasil menggeser PNI dengan kenaikan sebesar 4,1%. Beberapa sumber menyatakan banyak pemilih PNI di Jawa Timur beralih memilih PKI saat pemilu lokal digelar. Ini tak lepas dari kegemilangan PKI mengkomuniskan Kota Surabaya dan Kota Malang dengan menjadi pemenang di sana. Dua kota di Jawa Timur dengan jumlah penduduk banyak.
Provinsi Jawa Barat yang menjadi lumbung suara Partai Masyumi juga digarap apik oleh PKI. Di provinsi ini, PKI juga berhasil menggeser PNI sehingga berada di peringkat kedua. Meskipun, selisih suara PKI dan Partai Masyumi masih cukup jauh.
Di luar Pulau Jawa, PKI juga menunjukkan taringnya. Sumatera Selatan menjadi lumbung suata baru bagi PKI dengan kenaikan sebesar 3,6%. PKI hanya kalah di Pulau Kalimantan yang didominasi oleh Partai Persatuan Dayak (PPD), NU, dan Masyumi.
PKI berhasil menangkap isu lokal ke permukaan
Kegemilangan PKI meraih banyak simpati masyarakat lokal untuk memilihnya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, PKI cukup apik menangkap isu lokal yang menjadi isu penting masyarakat setempat terutama masyarakat perkotaan. PKI bisa mencitrakan diri mereka sebagai partai yang tidak hanya dekat dengan rakyat tetapi juga siap berada pada garis terdepan dalam melawan ketidakadilan.
Salah satu contoh paling nyata adalah bagaimana PKI memainkan Peristiwa Pakis yang ada di Kota Surabaya. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa berdarah yakni bentrokan antara aparat keamanan dengan para penghuni liar di daerah Dukuh Pakis Surabaya. Akibat bentrokan tersebut, empat orang meninggal diantaranya satu anak-anak dan dua aparat keamanan.
Baca juga: Begini Cara Seseorang Diterima Menjadi Anggota PKI
PKI dengan lantang menyatakan bahwa penggusuran atas pemukiman liar harus dihentikan. Pada persidangan DPRD Sementara Kota Besar Surabaya tahun 1956, anggota dari PKI dengan lantang mengajukan usul kepada pemerintah agar membatalkan rencana pembongkaran rumah liar sebelum pemerintah mampu menyediakan tempat yang layak dan sah bagi mereka. Tidak hanya itu, PKI juga mendesak agar korban peristiwa Pakis diberi ganti rugi dan jaminan hidup terutama bagi yang meninggal dunia.
Apa yang dilakukan PKI ini ternyata mendapatkan banyak simpati masyarakat Surabaya kala itu. Opini pun muncul dan menggambarkan bahwa PKI adalah partai yang paling peduli terhadap penderitaan masyarakat kelas bawah (protelar). Opini ini menjadikan PKI sebagai pemenang di Kota Surabaya dengan berhasil menguasai 17 dari 35 kursi atau hampir separuh kursi DPRD di kota tersebut dimiliki PKI.
Anjangsana PKI Yogyakarta
Lain cerita halnya dengan apa yang dilakukan PKI di Kota Yogyakata. Di kota gudeg ini, PKI melakukan kampanye secara anjangsana atau model door to door. Agar tidak bosan, para anggota PKI yang melakukan anjangsana di suatu daerah bergantian dengan anggota lain.
Misalkan, jika anggota A hari ini beranjangsana di wilayah Ngampilan, maka ia akan beranjangsana di wilayah lain semisal Wirobrajan. Sementara, anggota B yang akan mengisi anjangsana di daerah Ngampilan sebelumnya beranjangsana di wilayah Patangpuluhan. Model kampanye ini dilakukan agar masyarakat tidak bosan dan bisa mengenal anggota PKI yang loyal. Meskipun, model kampanye ini membutuhkan banyak tenaga dan waktu.
Baca juga: Mengulik Jejak Acoma, Partai Komunis yang Bersebarangan dengan PKI
PKI juga kerap menyelenggarakan hiburan rakyat. Semisal wayang,
ketoprak, dan lain sebagainya. Masyarakat Jogja, terutama di pedesaan amat
senang melihat pertunjukan seni sebagai hiburan mereka. Antusiasme mereka
melihat petunjukan di lapangan atau balai desa amat tinggi. Ceruk inilah yang
ditangkap dengan apik oleh PKI. Pergelaran seni yang menyelipkan dialog-dialog
bernapaskan komunisme pada pertunjukannya.
Apa yang dilakukan PKI membuahkan hasil. PKI menguasai 11 dari 25 kursi DPRD Kota Yogyakarta hasil pemilu lokal 1957. Kegemilangan PKI paling terlihat di Gunung Kidul. Di kabupaten itu, PKI berhasil menggasak 18 dari 35 kursi DPRD.
Nama bersih PKI dari kasus korupsi
Kegemilangan PKI juga tak lepas dari tidak adanya kader mereka yang tersangkut kasus korupsi. Sebelum pemilu lokal digelar, tidak ada anggota PKI yang masuk kabinet dalam masa Demokrasi Liberal. Beberapa anggota kabinet yang berasal dari partai lain seringkali terjerat kasus korupsi. Suka atau tidak, jika suatu anggota partai terjerat kasus korupsi, maka akan menurunkan suara partai tersebut. Pemilu 2014 dan 2019 sudah kita saksikan bagaimana ada partai yang suaranya ambles karena adanya korupsi kadernya.
Baca juga: Mengenal Hotel Telagasari, Hotel Inapan Kasus Terduga Korupsi
Ini yang terjadi pada PNI dan partai lain. Namun, diantara semua partai, PNI yang mengalami penurunan suara terbesar. Salah satu kasus yang cukup ramai diperbincangkan saat itu adalah kasus Ong Eng Die, anggota PNI yang menjabat dewan direksi dan wakil direktur Bank Umum Nasional. Beberapa angota PNI juga diduga melakukan kebijakan yang menguntungkan diri dan partainya. Faktor inilah yang membuat PNI tenggelam pada pemilu lokal.
Loyalitas dan dana partai melimpah
Menjalani pesta demokrasi tentu butuh biaya tak sedikit. Di saat partai lain kehabisan energi dana partai, PKI justru tidak mengalaminya. Anggota PKI yang loyal dan berlipat ganda bak virus covid-19 tetap bersumbangsih kepada partai melalui iuran yang mereka berikan. Dengan loyalitas anggota ini dalam menyumbang dana, maka PKI tidak kehabisan bensin saat berkampanye.
Apa yang dicapai oleh PKI ini memang cukup fantastis. Selepas pemilu lokal dan Dekrit Presiden 1959, PKI menjadi kekuatan utama yang tidak bisa ditandingi oleh partai lain. PKI juga berhasil menempatkan kadernya sebagai pemimpin daerah seperti walikota. Beberapa kota pun dipimpin oleh kader PKI seperti Surabaya, Solo, dan Cirebon.
Dalam narasi sejarah di sekolah, hanya Angkatan Darat yang menjadi pesaing utama PKI di kancah perpolitikan nasional. Hingga akhirnya, partai ini digulung dengan Peristiwa G30S dengan segala kontroversinya. Meski demikian, suka atau tidak, ada pelajaran berharga yang diberikan PKI kepada kita sebagai generasi muda.
Kira-kira, apa pelajaran yang bisa kita petik dari kemenangan PKI pada pemilu lokal ini?
wah jadi belajar sejarah lagi aku mas ikrom utamanya tahun tahun 50-an era era setelah kemerdekaan
ReplyDeletebtw berarti dulu itu partai ini lebih mengedepankan program yang mengacu ke kesejahteraan wong cilik alias kaum proletar yo mas, tapi aku malah blum tahu apa itu peristiwa 'pakis' jadi penasaran, ada ga ya mau cek buku sejarah di ipusnas, ben aku nambah wawasan.
sama penasaran pas pemilu 2019 ama 2014 jadi kepo ama partai yang langsung ambles suaranya karena banyak kasus :D
Itu lho mbak, partai yang kena kasus Hambalang. Turun memang suaranya pada pemilu 2014 2019.
Deletewkwkwk ya begeitulah mbak nit
Deletesejarah sebelum 65 masih jelas untuk dipelajari
kalau setelahnya ya harap maklum
udah dijawab sama mas agus ya mbak
makasih mas agus hihi
Pelajaran yang dapat dipetik adalah untuk meraih hasil yang bagus pada pemilu lokal harus mendengar aspirasi masyarakat kecil. Selain itu juga bersih dari korupsi.
ReplyDeletenah inipenting sekali mas
DeleteWaaah PKI subur sekali ya di Yogyakarta. Gede suaranya.
ReplyDeleteKrn mas menyinggung mengenai sumatera selatan, aku mau curhat dikit, sebab aku warga Sumsel, wkwkwk.
Zaman dahulu PKI memang cukup banyak di sini. Ini cerita bapakku, di zaman itu, mbah ku dituduh kader PKI loh. Krn mbah diajak ke salah satu organisasi sayap underbow nya PKI. Mbah ku dan teman2 nya tidak tahu kalo organisasi itu adalah PKI. Rekan kerja Mbahku banyak yg dipecat dari perusahaan saat itu, krn dituduh terlibat PKI. nasib baik ada di mbahku, beliau tidak dipecat lantaran dua tahun lagi adalah masa pensiunnya.
Fyi, mbahku karyawan BUMN terbesar di Indonesia. Bergerak di usaha minyak dan gas.
Jogja dan jateng mas lumbung suaranya
Deletewow saya malah senang dapat info baru mengenai agitasi dan propagasi PKI di BUMN
saya kira di Jawa sja ternyata di sumsel juga
wah untungnya mbahnya engga kebukti ya
kasian tapi rekannya
makasih mas infonya
Jujur aku baru ngeh setelah baca disini gimana hasil pemungutan suara daerah ternyata PKI lah yang terbanyak di Jawa Tengah.
ReplyDeleteKeren mas Ikrom berani mengulas sejarah tentang PKI.
Biasanya orang awam malas juga takut kalau bicarakan hal ini.
iya mas jateng jadi lumbung suaranya
Deleteaku berani klo sejarah sebelum 65 mas karena banyak penelitian dan skiripi atau tesisnya
kalau setelah 65 saya mana berani hehe