Ilustrasi. - charak (dot) com |
"Pak, rok si T ada darahnya. Banyak!"
Seorang siswa kelas 5 laki-laki dengan polosnya melapor saat jam istirahat. Tanpa banyak bicara, saya langsung menuju kamar mandi siswi dan melihat beberapa murid perempuan saya bergerumbul di depan pintu. Beberapa dari mereka langsung menghampiri saya dan menceritakan apa yang terjadi.
Semua begitu cepat ketika mereka bermain bersama di halaman.
Sontak, saya menghubungi Bu Khot, guru penjaga perpustakaan untuk membantu
masalah ini. Untungnya, beliau telah sigap dengan pembalut wanita. Baju ganti
berupa kaos dan celana olahraga yang tak dipakai juga beliau siapkan. Kehebohan
pada jam istirahat itu akhirnya selesai.
Baca juga: Bukan Cacian, Inilah yang Harus Dilakukan pada Korban Perundungan
Saya juga menghubungi ibu dari sang siswa dan memintanya untuk menjemputnya lantaran kondisi anaknya yang tidak memungkinkan untuk meneruskan pelajaran. Sang anak sudah tampak pucat dan menahan malu akibat bercak merah yang membasahi roknya.
Sekelumit cerita di atas adalah penggalan dari peristiwa rutin sebagai wali kelas 5 yang pernah saya alami. Setiap tahun dan berulang dengan pola yang hampir sama. Pengalaman menarche (menstruasi pertama) yang tak terduga dan menimbulkan kehebohan di sekolah.
Menarche sering tak diantisipasi
Mirisnya, rata-rata dari pengalaman seperti ini tak disadari dan
diantisipasi. Ketika ada tanda-tanda Premenstrual Syndrome
(PMS), seharusnya orangtua, terutama ibu bisa lebih paham dan peka dengan tanda
kedewasaan putrinya. Tanda tersebut antara lain anak merasa tegang dan lebih
emosional, lebih mudah menangis atau tanpa alasan jelas, dan beberapa tanda
lain seperti kehilangan berat badan, kembung, dan ada rasa sakit pada bagian
perut, punggung, serta kaki.
Baca juga: Begini Cara Saya Menghadapi Gangguan Panik yang Tiba-tiba Menyerang
Sayangnya, menurut beberapa penelitian, orangtua tidak begitu aktif dalam proses pendewasaan ini. Salah satunya adalah dari hasil penelitian mahasiswi keperawatan di Yogyakarta, masih belum banyak dukungan dari orangtua ketika anak mengalami menarche.
Ketika pertama kali mengalami menarche, maka rasa takut, was-was, cemas, dan malu akan muncul. Rasa ini sebenarnya wajar mengingat pengalaman menarche merupakan pengalaman tak menyenangkan.
Menarche dan pendidikan seks bagi anak
Namun, jika melihat proses ini merupakan proses yang harus dilewati seorang anak, maka upaya untuk menanamkan pendidikan seks kepada anak sangatlah penting sesuai kebutuhan mereka.
Dari hasil penelitian tersebut, masih banyak orangtua dari siswi yang sudah mengalami menstruasi tidak pernah memberikan arahan atau pengertian mengenai menstruasi dan segala hal yang mengikutinya.
Mereka kerap menunda memberikan pemahaman ini karena merasa masih terlalu dini untuk membicarakan hal tersebut kepada anak. Ah, kan masih SD, nanti saja saat SMP pendidikan dan pengertian mengenai proses ini akan diberi tahu.
Baca juga: Saat Anak Tanpa Pengawasan Mengakses Internet Publik
Akhirnya, ketika sang anak yang masih duduk di bangku kelas 4-6, atau bahkan di bangku kelas 3 SD sudah mengalami menarche, orangtua akan kaget. Terlebih, jika pengalaman mengejutkan ini terjadi di sekolah dan pada saat yang tidak terduga, semisal jam istirahat atau bahkan pelajaran dan ulangan.
Ibu dari siswi saya sampai shock melihat anaknya pucat pasi dan menahan kesakitan saat datang ke sekolah. Barulah pada menstruasi selanjutnya, sang anak mulai bisa menyadari proses tersebut. Sang ibu juga melakukan antisipasi dengan memberikan pembalut wanita untuk dibawa ke sekolah.
Beliau juga berpesan kepada saya, selaku wali kelas, maupun Bu Khot yang membantu siswi saya ketika mengalami menstruasi agar saat siklus menstruasi sang anak tiba.
Terutama, jika kegiatan sang anak cukup padat, seperti saat ujian atau akan mengikuti lomba dan ekstrakurikuler. Makanan dan minuman bergizi yang membantu meredekan rasa sakit juga diberikan sang ibu.
Siswa yang mengalami menarche perlu dukungan bukan ejekan
Dukungan penuh terhadap siswi yang mengalami menarche sangatlah penting. Kesiapan mental menghadapi masa dewasa ini juga perlu dibantu dari lingkungan sekitar. Namun, jika dukungan itu tak didapat dengan baik, maka sang anak akan merasa rendah diri. Terlebih, bagi siswi SD yang kerap mendapat ejekan dari teman sebayanya, terutama teman laki-lakinya.
Kenyataan yang saya temui, teman laki-laki yang cukup bandel sering mengejek teman perempuannya yang mengalami menarche dengan ucapan "bocor". Ejekan yang disambut dengan pandangan jijik.
Bentuk perundungan yang harus segera dihentikan dengan tegas oleh guru atau
siapapun yang mengetahui kegiatan tersebut. Saya kerap memberi pengertian tegas
kepada mereka bahwa kejadian ini adalah wajar.
Baca juga: Hadirnya Gawai, Tantangan Terbesar dalam Mendidik Anak
Bukan ejekan, namun dukungan agar teman perempuan yang sedang mengalami menarche bisa segera pulih dan beraktivitas dengan baik.
Dukungan lingkungan yang tidak terlalu baik akan semakin menambah kelam anak perempuan yang mengalami menstruasi pertama. Depresi pun bisa saja menghampiri karena beberapa dari mereka merasa hal ini ini sebagai aib yang harus disembunyikan.
Saya masih ingat siswi saya yang pertama kali mengalami menstruasi tersebut terus menutup mukanya ketika akan dijemput ibunya. Pun, dalam wawancara terhadap siswi yang dilakukan oleh mahasiswa keperawatan dalam literatur yang saya baca, rata-rata para siswi juga menutup wajahnya. Menjawab pertanyaan dari para mahasiswi dengan nada lirih.
Artinya, hampir sebagian besar siswi SD yang mengalami menarche akan memberikan respon negatif. Kombinasi dari kurangnya dukungan lingkungan, rasa sakit yang diderita, dan kurangnya pendidikan seks sejak dini. Ketika pendidikan seks masih dianggap tabu, maka pengalaman menarche adalah pengalaman paling mengerikan yang dialami setiap anak perempuan.
Sebenarnya, di sekolah saya dulu ada semacam program keputrian yang ditujukan bagi siswi saat para siswa melakukan shalat jumat. Bu Khot, yang mengampu kegiatan tersebut juga menyelipkan informasi mengenai segala hal tentang menarche.
Menarche sebagai kesiapan mental menuju kedewasaan
Bagaimana menyiapkan mental ketika mendapati menarche, merawat kesehatan diri, larangan membuang pembalut sembarangan, dan yang terpenting adalah menarche adalah proses alamiah pada seorang wanita.
Proses yang mau tak mau akan dialami untuk menjadi seorang ibu pada waktu
dewasa nanti. Proses menuju kedewasaan dan berjuang untuk kehidupan. Tugas
mulia akan diemban seorang wanita sebagai seorang ibu dan salah satu amanat
terbesar yang dititipkan Tuhan yang tidak diberikan kepada laki-laki.
Baca juga: Haru Biru Perpisahan SD di Kaki Gunung
Sedikit pemahaman semacam ini bisa menguatkan anak perempuan yang mengalami menarche. Yang akan membuat anak tak lagi takut dan cemas namun bisa melewatinya dengan biasa saja.
Atau bahkan mungkin bangga karena telah memasuki masa dewasa. Tanggung jawab untuk menjaga pola perilaku, pergaulan, dan kesehatan dengan lebih baik lagi.
Usia menarche kini jauh lebih dini
Disadari atau tidak, saat ini, usia menarche mulai bergeser pada usia yang lebih dini. Meski, untuk di Indonesia, usia rata-rata menarche adalah sekitar 12 hingga 13 tahun. Namun, ada banyak kasus menarche sudah berlangsung pada usia 10 tahun.
Lingkar pinggang, indeks masa tubuh, dan status gizi adalah beberapa hal yang membuat menarche bisa datang lebih dini. Tentu, ada beberapa faktor lain yang mengiringi seperti usia menarche sang ibu, kondisi stres dan obesitas juga sangat penting.
Petugas puskesmas yang beberapa kali datang untuk melakukan imunisasi mengamini pola usia menarche dini ini. Banyak laporan dari petugas puskesmas menyatakan bahwa keluhan seputar menarche kini bergeser dari yang awalnya kelas 6 SD hingga 8 SMP menjadi kelas 4 hingga 5 SD. Probabilitas pergeseran usia menarche semakin banyak pada anak perempuan yang hidup di perkotaan.
Jadi, bagi orangtua, terutama ibu yang memiliki anak perempuan dan akan menginjak dewasa, perlu untuk memberi perhatian lebih. Salah satunya adalah masa sulit sang anak melewati menarche.
Salam.
This is very interesting post. Have a nice day 🙂 and all week
ReplyDeletewahaaaa, kebayang rikuhnya mas ujrom pas menangi masa itu ya mas, untung ada bu khot yang paling enggak dari segi guru perempuan cag ceg membantu masalah teknis penanganannya pas kejadian dadakan menimoa siswi di sekolah
ReplyDeletemembaca postingan ini aku jadi ingat mens pertamaku itu juga kejadian waktu
sd lebih cepat dari mbakku yang telat, kalau ga salah ingat antara kelas 4 atau 5 sd gitu aku lupa, untung kejadian pertamanya di rumah dan ibu juga udah paham jadi mengenalkan penanganannya pwrtama kali justru pake pembalut kain yang bisa dicuci
nah tapi pas di sekolahpun sempat ada kejadian memalukan juga sih, sebab waktu itu kami lagi latihan gerak jalan buat ikut lomba agustusan, barisan cewek ada di depan barisan cowok, kebetulan waktu itu aku lagi sial aha yaitu mengalami kejadian tembus, sontak saja anak lelaki yang baris di depanku, dan ceritane doi dulu naksir aku halah haha, terus ngledek dan nyuit nyuitin, asem aku isine ra umum
daaaaan...memang penting banget peran serta guru dalam mendampingi siswinya yang sudah masuk masa puber awal, biasanya kalau lagiperiod gini ada semacam keringanan juga sih pas jam olah raga, misal pas ada jadwal olah raga lari bisa info dulu ke guru olahraganya biar ga pengsan atau olahraga yang berat-berat dulu
awal mula ya bingung mbak tapi lama lama biasa hehe
Deleteiya untung ada guru wanita yang deket jadi bisa minta bantuan
duh sedih ya kan jadi bahan bulian anak-anak cowok
di manapun kayaknya sama
memang peran ortu dan guru amat penting banget
Bagi perempuan, pengalaman menarche memang tidak terlupakan. Alhamdulillah saya mengalaminya saat di rumah.
ReplyDeletePergeseran usia ke arah lebih dini memang harus menjadi perhatian orang tua. Mau tidak mau guru di sekolah pun harus perhatian seperti kasus di atas.
Sebenarnya saya juga guru, tapi guru SMA. Sehingga semua siswi saya sudah melewati masa tersebut. Saya pun tidak pernah berada di posisi seperti itu.
kalau di rumah alhamdulillah mbak
Deletemakanya perhatian guru di sekolah juga sangat penting
Pengalaman Menarche saya di rumah jadi nggak begitu ada masalah. Cuma beberapa teman saya mengalaminya di sekolah dan mereka sampai ada yang menangis karena malu luar biasa. Dulu saat seusia itu, masih banyak teman-teman yang belum Menarche while satu dua teman Menarche duluan. Alhasil yang duluan merasa malu karena takut dianggap tua sebelum waktunya 🙈
ReplyDeleteSaya rasa pendidikan mengenai Menarche memang dibutuhkan untuk anak-anak usia dini agar bisa tau apa yang harus dilakukan apabila terjadi di kemudian hari 😄 dan antisipasi apa yang diperlukan apabila sampai kejadian bocor dan lain sebagainya. Eniho, semangat Pak Guru 😁
iya banyak yang menangis juga karena takur
Deletemakanya pemahaman ini sejak dini amat penting
He eh yaa...karena posisinya guru..jadi ikut "ngurusi" anak2 yang lagi mens juga ya. Kebayang paniknya tu bocah.
ReplyDeleteSip, artikel ini reminder buat aku juga yang punya anak cew. Ya, meski sekarang masih bocah...ntar pasti ngalami juga.
Makasih yaa
heheh iya mbak mau engga mau ya ngurusi juga
Deleteiya mbak sedia payung sebelum hujan ya
Ya ampun pak guruuu, luar biasa sekali pengalaman anda. Dulu adek gw mens pas SMP di sekolah. Karna gw lagi libur kuliah anaknya gw jemput pake motor. Pas nyampe rumah ehhh jok motor gw banyak darahnya. Ampun dehh
ReplyDeleteGw suruh dia bilas terus pake pembalut emak gw. Hari itu dia baru tau kalo sekartang dia bisa mens.
ha ya ampun bang kasian banget
DeleteMasih banyak yang nganggap mens adalah hal yang menjijikkan, terutama anak2 cowo kicik2 ini. Pendampingan di masa labil menuju remaja ini emg harus nggak boleh lepas dari pandangan orangtua deh ya.
ReplyDeleteBisa diberikan informasi ke siswa laki jg kalau mens itu normal dan nggak jijik. Itu juga bukan darah kotor. Kedepannya biar mereka terbiasa jg kalau ada temennya yg mens untuk pertama kali.
nah ini udah kadung jadi pemahaman yang kurang benar ya
Deletepadahal kudu diedukasi sejak dini
Habis baca komentar mas di blogku, langsung main ke sini buat baca postinganmu mas.
ReplyDeleteAku ingat, pertama kali haid kelas 1 SMP. Dan cocok seperti postingan mas, aku tidak mendapatkan arahan apapun dari nenek (waktu itu aku tinggal sama kakek nenekku). Yang aku lakukan cari tau sendiri, ngeliat iklan TV buat milih pake pembalut apa. Udah gitu, selanjutnya g tau apa-apa. Baru 14 tahun kemudian, aku belajar sexual health dan sex edu, ini yang jadi titik balik kalau pendidikan sex itu penting banget diajarkan sedini mungkin ke anak-anak.
Salut sama postingannya mas, terima kasih banyak sudah menulis postingan ini.