Ilustrasi pengemis Kota Malang. - Surya.com |
Pandemi covid-19 membuat jumlah kaum miskin di dunia termasuk Indonesia meningkat.
Gelombang PHK yang begitu mengerikan berdampak pada sulitnya untuk mencari penghasilan. Dari data BPS, angka kemiskinan kembali naik seperti tahun 2011. Padahal, selama 9 tahun dalam kurun 2011-2020, Indonesia sudah lumayan berhasil menekan angka kemiskinan hingga di bawah 10%.
Di Kota Malang sendiri, angka kemiskinan yang tinggi bisa dilihat dari penerimaan dana BANSOS yang hingga kini masih terus diverifikasi. Masih banyak warga miskin yang belum mendapat bantuan tersebut. Sementara, jumlah kaum miskin di jalanan semakin banyak yang meminta belas kasihan dari para penderma. Dari fenomena ini, menarik dipahami untuk mendalami lebih lanjut mengenai jejak kaum miskin kota yang kini mendominasi banyak kota besar di Indonesia.
Sejatinya, kaum miskin perkotaan terutama di Malang sudah ada sejak dahulu kala. Mereka pun kerap menjadi bahan sumber masalah pemerintah kolonial hingga banyak hal yang menarik dicermati.
Kaum miskin bertambah menjelang depresi global
Kota-kota di Pulau Jawa mengalami titik balik pada periode 1920-1930. Saat itu, perekonomian sedang mengalami perkembangan yang diikuti dengan inovasi teknologi. Banyak jalan dibangun. Banyak rel kereta api mulai menghubungkan antara kota serta tentunya banyak bangunan baru yang mewarnai kehidupan kota.
Sayangnya, perkembangan itu tidak bisa diikuti oleh mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan layak. Ini banyak dialami oleh kaum bumiputera dengan tingkat pendidikan amat rendah atau tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Perubahan kehidupan dari agraris yang tidak banyak menuntut keahlian menjadi kehidupan industri dan jasa juga menjadi penyebabnya. Akibatnya, banyak yang tidak bisa beradaptasi dan memunculkan kaum miskin baru. Mulai gelandangan, pengemis, pengangguran, dan pelacur.
Pola pemukiman terpisah membuat disparitas kian menganga
Pemerintah Kolonial merasa bahwa untuk menjaga stabiitas
kehidupan orang Eropa, perlu dibangun sebuah kompleks pemukiman yang terpisah.
Pemukiman ini akan dibatasi oleh sebuah loji-loji sehingga kaum Eropa bisa
hidup terpisah dengan kaum pribumi. Mereka pun akan lebih aman dan nyaman
tinggal di Kota Malang yang semakin maju.
Baca juga: Menapaki Klojen, Permulaan Pusat Pemerintahan Kota Malang
Dengan pola pemukiman terpisah seperti ini, secara otomatis akan membatasi ruang gerak kaum miskin untuk beraktivitas. Beberapa tempat di Malang pun menjadi terlarang bagi kaum pribumi. Sehingga, kaum miskin banyak yang terkonsentrasi di tempat-tempat tertentu.
Alun-alun Malang menjadi representasi kemiskinan
Dengan dibangunnya alun-alun baru di daerah Klojen, maka alun-alun lama yang berada di Kauman menjadi simbol dari kemiskinan di Kota Malang. Alun-alun menjadi etalase kaum miskin yang terpinggirkan. Ada pelacur yang menjajakan diri di bawah pohon beringin saat malam hari. Ada gelandangan yang menggelar tikar di sekitar alun-alun. Dan tentunya, para pengemis yang berkeliling untuk mencari belas kasihan dari para pengunjung.
Baca juga: Disparitas Dua Alun-alun di Kota Malang
Keberadaan pelacur di Alun-alun Malang menjadi hal yang menarik. Walau di bagian barat alun-alun Malang berdiri megah Masjid Jami’, tetapi mereka tetap dapat beraktivitas dengan bebas. Jumlah mereka semakin banyak setelah perang kemerdekaan, sekitar tahun 50an. Adanya pelacur ini membuat nilai alun-alun di mata rakyat menjadi menurun. Alun-alun bukan lagi tempat yang baik dan sakral dengan aktivitas para pelacur yang seolah-olah meledek Masjid Jami’ Malang.
Warung makan menjadi tempat favorit pengemis dan gelandangan
Berbeda dengan pelacur yang mendominasin alun-alun dan beberapa rumah bordir di sekitar Kebalen (sebelah selatan Kampung Warna-Warni), para pengemis dan gelandangan lebih senang berada di kawasan niaga. Pasar Besar Malang adalah salah satunya.
Mereka menempati los-los pasar besar dan berharap mendapatkan makanan dari sisa nasi warung yang berjualan di sana. Uniknya, menurut beberapa peneitian, mereka seakan tetap happy menjalani hidup meski menjadi kaum yang kalah pada kehidupan kota.
Dominasi gelandangan dan pengemis di sekitar Pasar Besar Malang nyatanya masih berlaku hingga kini. Masih ada beberapa gelandangan yang tidur di lantai atas pasar besar yang juga menjadi bekas Matahari Mall. Bahkan, pada tahun 2019 kemarin, publik digegerkan dengan kasus pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan oleh seorang gelandangan di lantai 3 pasar besar tersebut.
Baca juga: Antara Benci dan Rindu, Pasar Besar Malang Tetaplah yang Terbaik
Selain gelandangan, para pengemis juga kerap menarik perhatian. Menurut catatan sejarah, keberadaan pengemis mulai banyak terungkap pada tahun 1917. Ada tiga kategori pengemis tersebut, yakni pengemis yang sakit dan cacat, pengemis yang memang menjadi profesinya, dan pengemis yang menderita penyakit menular.
Tipe yang kedua bagi banyak orang menjadi tipe yang amat menyebalkan. Seringkali kita melihat berita atau tayangan video mengenai pengemis yang diantar dengan mobil mewah. Sejak dulu kala, mental pengemis ini tetaplah seperti itu. Ada sebuah kisah mengenai seorang pedagang bakmi di Pasar Besar Malang yang berniat mempekerjakan seorang pengemis di warungnya. Niatnya baik agar ia tidak mengemis sambil membantunya melayani pelanggan.
Sugeng, gelandangan pelaku mutilasi di Pasar Besar Malang dan surat misteriusnya.- Surya.com |
Bukannya bekerja dengan baik, ia malah tetap mengemis ke pelanggannya. Nasib pengemis itu pun berkahir di Landsopvoedinggesticht (hadu panjang bener ya istilahnya). Tempat ini merupakan sebuah panti sosial pembinaan khusus anak. Kalau sekarang seperti petirahan anak begitu ya. Makanya, kadang warga biasa enggan bekerja sama dengan pengemis hingga kini.
Dilema polisi kolonial menghadapi kaum miskin
Sama halnya dengan Pemkot, pemerintah kolonial pun juga dibuat dilema dalam menghadapi kaum miskin perkotaan ini, terutama pengemis dan gelandangan. Jumlah mereka semakin bertambah tahun semakin banyak terlebih sejak adanya depresi besar tahun 1929-1939. Walau razia kerap dilakukan, jumlah mereka yang berada di jalanan semakin banyak.
Pengemis di Malang, November 1948 (www.niod.nl) |
Razia yang dilakukan pun juga menjadi dilema. Jika mereka ditangkap, maka pemerintah kolonial akan memasukkan mereka ke penjara atau panti sosial yang tentu butuh biaya mereka untuk makan. Sementara, saat itu keuangan pemerintah kolonial sedang dalam masa sulit. Jika tidak dirazia, keberadaan mereka juga mengganggu kehidupan masyarakat umum serta mengganggu keamanan dan ketertiban.
Dari sedikit paparan di atas, fenomena kaum miskin perkotaan terutama di Malang sudah menjadi masalah serius. Kini, beberapa langkah coba diupayakan pemerintah kota semisal membangun sebuah penampungan untuk mereka. Sayangnya, program ini tak kunjung jalan dan bahkan semakin sulit dilakukan sejak pandemi covid-19 ini. Kaum miskin pun semakin banyak yang tiduran di pinggir jalan sembari meminta belas kasihan dari mereka yang melintas.
Menarik banget ngebaca fenomena sosial sekarang lewat lintasan senjarah. Saya juga di Bandung kondisinya mirip2, apalagi sebagai sesama kota ciptaan kolonial dengan konsep tata kota catur gatra dari Mataram Islam. Mungkin ini berlaku hampir di seluruh Jawa kali ya.
ReplyDeleteDi sini pun tempat pelacuran, lokalisasi Saritem, dan PSK jalanan yg nongkrong di sepanjang Pasar Baru, ya deket2 alun-alun dan masjid raya.
nag bener mas mirip mirip ciptaan kolonial
Deletedan masjid sering jadi representasi perlawanan kultural itu
Hmmmm kasian yh.. di Kota saya juga sama. Bnyak orang yg kurang mampu tinggal di pinggir jalan. Kadang beberapa ada yg ngasih makan atau amplop. Yah walaupun udh mulai new normal tpi pandeminy belum beres. Semoga kabar baik ttg vaksin covid19 bisa terealisasi.
ReplyDeleteiya mas kasian benget dan enggak terurus
Deleteapalagi corona gini ya
semoga aja ccepet kelar ini corona
berbicara tentang kemiskinan, daerah dimana saya tinggal di gunungkidul, juga identik dengan kemiskinan, situasinya tidak jauh berbeda. hanya di sini belum banyak pengemis :-)
ReplyDeleteTernyata sejak zaman kolonial Belanda juga masalah pengemis sudah jadi dilema pemerintah ya.
ReplyDeleteKadang memang ada pengemis yang seperti itu, sudah dikasih pekerjaan tapi karena mentalnya sudah mental pengemis maka tetap ngga mau bekerja keras, maunya minta minta saja. Tapi tidak semuanya sih, ada juga yang dikasih pekerjaan dia mau bekerja.
benar mas sudah jadi dilema
Deleteiya enggak semua tapi yg nyebelin ya banyak hehehe
Sedih banget mas, dengan semakin bertambahnya jumlah kemiskinan, kita sangat berharap pembuat dan pelaksana kebijakan sedikit lebih serius dalam menangani masalah yang sudah lama berurat dan berakar ini..
ReplyDeletebenar mereka sangat perlu diperhatikan ya mbak
Delete