POS PSBB di Malang |
Eh maaf, harusnya yang benar “Seseruan Menjalani Pembatasan Sosial Basa-Basi di Kota Malang” ya. Tapi apa boleh buat. Nanti saya kena UU ITE kan bahaya. Zaman sekarang kan harus berhati-hati mengunggah konten media sosial.
Baiklah, sama seperti kota lain di Indonesia, Malang pun juga menerapkan Penerapan Sosial Berskala Besar atau sering disingkat PSBB. Aturan yang ya bisa dibilang menggantung karena tidak menjamin warga negara untuk mendapatkan ganti rugi atas hilangnya penghasilan selama wabah covid-19.
Saat Surabaya mulai mengajukan PSBB, beserta dua adik kesayangannya – Gresik dan Sidoarjo – Kota Malang pun juga mengajukan hal serupa. Sayangnya, pengajuan ini langsung ditolak oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Alasannya, kalau Malang mau menerapkan PSBB, ya harus dengan dua saudara kandungnya, Kabupaten Malang dan Kota Wisata Batu.
Uniknya, tiga wilayah ini tidak seiya sekata.
Kota Malang begitu ngotot, sementara Kabupaten Malang yang notabene jumlah penduduknya jauh lebih banyak malah woles. Demikian pula sang adik bungsu Kota Wisata Batu yang adem ayem. Kabupaten Malang malah percaya diri dengan kebijakan Village Phisical Distancing (VPD) alias karantina berbasis desa. Artinya, pembatasan akses masuk dan keluar desa.
Seiring waktu, dengan kenaikan kasus corona terlebih yang tak bergejala di Kabupaten Malang, maka si sulung ini akhirnya mau menerapkan PSBB. Namun, tentu dengan berbagai pelonggaran seperti pembolehan ibadah di rumah ibadah dan beberapa hal lain. Namun, tidak dengan Kota Malang yang benar-benar kekeuh pokoknya PSBB. Titik. Sementara, si adik bungsu Kota Batu lebih nurut apa yang akan dilakukan dua saudara tuanya.
Setelah antara ya dan tidak, akhirnya PSBB Malang Raya pun
diajukan dan langsung disetujui.
Warga Malang pun panik akibat termakan hoaks. Banyak yang masih beranggapan bahwa PSBB itu seperti lockdown yang tidak boleh ke mana-mana dan pemerintah tidak menjamin makan minum. Padahal, konsep PSBB itu yang benar adalah pembatasan kegiatan warga secara komunal dalam jumlah banyak agar tidak terjadi penularan corona yang mengerikan.
Misalnya, larangan untuk makan di tempat makan.
Pengusaha makanan masih boleh buka dengan sistem take away atau delivery. Pedagang di pinggir jalan pun tidak boleh berkerumun. Pasar tradisional diberi nomor ganjil genap yang bagi saya tidak berefek banyak karena masih banyak pedagang bandel. Dan yang pasti, mobil selain plat N dilarang masuk. Demikian pula warga bukan KTP Malang akan digusak alias disuruh putar balik di perbatasan Kota-Kabupaten. Kalau pun tidak memiliki KTP Malang, yang penting adsa surat keterangan domisili atau surat kerja yang menyatakan bahwa orang tersebut masih perlu berkativitas di Malang Raya.
Sayangnya, konsep PSBB ini tidak tersosialisasi dengan baik di masyarakat. Baik di akun Twitter @infomalang atau FB Komunitas Peduli Malang Raya, ada saja warga yang masih bertanya. Beberapa diantaranya cukup parno dan seakan seperti kiamat. Bagaimana jika begini, bagaimana jika begitu dan seterusnya. Padahal, jika dibaca kembali, yang perlu dilakukan warga adalah hidup seperti biasanya. Ditambah, memakai masker saat keluar rumah serta menghindari kerumunan.
Lalu, bagaimana pelaksanaannya?
Sebenarnya tak ada bedanya. Jalanan masih ramai terkecuali di beberapa ruas semisal kompleks sekolah yang sepi. Malah, menjelang lebaran yang masih dalam masa PSBB, jalanan makin ramai. Kata ayah saya yang membeli kain untuk usaha topinya di Pasar Besar Malang, orang-orang makin memenuhi pasar tersebut. Benar kan PSBB hanya sekadar basa-basi.
Belum lagi beberapa ruas jalan yang dipenuhi pedagang makanan untuk takjil. Memang saya sempat melihat beberapa aparat TNI dan polisi yang memberi imbauan kepada warga untuk berkerumun. Tapi ya dengan jumlah warga yang amat banyak dan jumlah personel mereka yang terbatas, mana mempan?
Mengenai pos pemeriksaan PSBB, saya beberapa kali sempat ditanya pihak keamanan.
Polisi (P). Saya (S)
P: “Mau ke mana?”
S: “Mau ke Wagir (Malang Kabupaten), Pak?”
P: “Ngapain?”
S: “Ini, Pak nganterin berkat maleman. Bapak mau?”
P:”Oh boleh. Eh KTP kamu mana?”
S: Nunjukin KTP. “Malang Kota kan Pak. Bebas visa ya?”
P: “Kok fotonya beda?”
S: “Ye, itu 8 tahun lalu, Pak. Sekarang udah sejahtera sesuai amanat Pancasila dan UUD 45”.
P:”Oh, oke. Mana berkatnya?”
S: “Yah ga ada Pak gak masuk itungan”.
P: “Tadi katanya ada. Ya udah, cepet balik nanti”
S: “Oke Pak. Makasih”.
Saya pun menembus batas Kota dan Kabupaten. Tenang saja, percakapan hanya itu ilusi biar tidak tegang. Tapi saya memang ditanya KTP dan keperluan. Berhubung KTP saya Malang dan motor ayah saya plat N, maka saya pun melenggang bebas. Padahal, dari arah kabupaten, banyak motor plat AG yang harus putar balik. Mereka bisa lewat jalan tikus dari arah Blitar tetapi kena pos pemeriksaan masuk wilayah Kota. Ya good luck saja deh.
Transmart hanya membuka gerai supermarket |
Selain adanya pos pemeriksaan, sejak PSBB dan tepatnya
corona ini, saya lihat makin banyak warga marjinal yang duduk di pinggir jalan.
Entah pengemis atau gelandangan yang jelas mereka duduk manis satu keluarga
lengkap. Barangkali, mereka menunggu sumbangan atau apa. PSBB yang diterapkan
memang mengharuskan Pemda menyediakan dapur umum untuk warga yang terdampak.
Para gelandangan di pinggir jalan |
Yang menjadi masalah adalah mereka tidak memakai masker.
Dengan kondisi hidup yang jauh dari layak, saya malah takut penyebaran masif
dari covid ini terjadi pada mereka dan semakin parah. Jika diperhatikan lagi,
sempatkan mereka cuci tangan juga?
Pedagang mengeluh dagangannya sepi |
Femomena lain yang membuat miris adalah kemunculan bakpao boy. Ini adalah sekumpulan anak-anak di bawah umur yang menjual bakpao aneka rasa di pinggir jalan. Saya menemukan mereka banyak berjualan di Jalan Ijen. Dengan asyiknya mereka duduk manis sambil menjajakan dagangannya. Dan, lagi-lagi mereka banyak yang tidak memakai masker. Saya yakin kegiatan mereka ada yang mengkoordinasi yang jelas sampai penerapan PSBB ini pihak pemkot masih adem ayem.
Jangan lupa pakai masker ya |
Jalanan masih ramai |
Intinya, saya malah tidak merasa banyak perbedaan selama
PSBB dan belum hanya ada pengecekan identitas saat masuk gerbang kota.
Kalau tidak mau dicek ya tinggal lewat jalan tikus. Entah apakah PSBB ini diperpanjang atau tidak yang jelas saya sih sudah bodo amat. Meski demikian, melihat Surabaya yang mengerikan dengan kenaikan kasus covid-19 fantastis saya rasa perlu diperpanjang paling tidak satu kali lagi. Nanti, kalau Surabaya sudah mulai cooling down, maka Malang bisa mengakhiri PSBB-nya. Alasannya, Malang dan Surabaya adalah dua kota dengan penglajuan tinggi. Warga Malang banyak yang beraktivitas di Surabaya dan sebaliknya. Saya pun kalau transit kereta juga di Surabaya.
Tapi ada juga jalanan yang sepi. |
Jadi, kalau tidak ada kepentingan lebih baik di rumah saja ya. |
Hal terakhir yang menjadi kekhawatiran adalah jika ada kasus
covid-19 di pabrik rokok.
Kalau itu sampai terjadi, saya hanya berharap belas kasih dari sang Maha Kuasa lantaran 70% tetangga saya bekerja di pabrik rokok. Lagi-lagi, Surabaya sudah menjadi contoh ledakan kasus covid-19 dari pabrik rokok ini. Maka, Malang harus belajar banyak.
Lantas, bagaimana daerah Anda, apa sudah PSBB atau
belum? Bagaimana pelaksanaannya?
Susah mas, di Surabaya juga masih rame.
ReplyDeleteIntinya kalau ga ada kesadaran dari diri sendiri ya susah.
Nunggu kenak dulu kali yak baru sadar aokwowkowkwowk :v.
iya mas apa harus kenak dulu ya hmmm
DeleteSepertiny orang pada cuek-cuek ya sama aturan ini. Meski di kompleks perumahan gw ditutup penuh, tapi ya begitu ke luar di jalanan ramenya macam gak ada apa-apa gitu. Jadi, tipikal masyarakatnya yang heterogen juga menjadi faktor, PSBB ini terkesan setengah hati
ReplyDeletebener enggak ada bedanya
Deletehehe psbb malang dan surabaya berlanjut terus ini mas.
ReplyDeletesudah selesai sekarang mas
DeleteDi tempatku dong, baliho segede gaban di mana-mana bilangnya dilarang berkumpul blabla, nyatanya malah mengadakan pertemuan rutin bulanan seperti biasa. Huhuhu apa memang sepertinya enggak ada aturan yang jelas ya mengenai PSBB ini, sekedar formalitas semata :(
ReplyDelete