Sampul tulisan karya KH Abdurrahman Arroisi. - bukalapak.com |
"Bukunya kecil, Pak. Judulnya 30 Kisah Teladan".
Saya masih berharap kalimat ini menjadi kalimat terakhir untuk mendapatkan buku yang saya maksud. Sayang, Bapak penjual buku menggelengkan kepalanya. Lagi dan lagi. Sudah 4 toko buku ternama di kota saya, 3 buku khusus buku-buku islam, dan sebuah pasar buku yang saya datangi. Semua berakhir nihil. Tak ada satu pun diantara toko-toko buku tersebut yang menjual buku kecil namun ajaib karangan sosok yang begitu menginspirasi saya terutama dalam semangat menulis : KH. Abdurrahman Arroisi.
Perjumpaan saya dengan tulisan sosok kyai, ulama, penulis, dan guru ini terjadi ketika saya duduk di bangku SMP. Kala itu, saya sedang dihukum oleh guru Bahasa Indonesia lantaran tidak bisa membedakan Majas Sinokdoke Pars Pro Toto dengan Majas Sinekdoke Totem Pro Parte. Menyendiri di perpustakaan dengan tujuan mencari bahan kedua majas itu, tiba-tiba saya menemukan jejeran buku kecil dengan sampul berwarna-warni.
Sebuah buku pun saya ambil dan terbacalah judul buku sesuai dengan prolog pada tulisan ini. Satu tulisan pun terbaca. Buku yang memuat antologi 30 kisah sederhana ini begitu memikat saya. Seorang remaja yang bisanya membaca Komik Bowling King. Satu tulisan yang begitu memukau berkisah tentang kenikmatan sederhana yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Apakah itu?
Bukan Sumber Daya Alam, bukan pula keadaan ekonomi yang bagus - kala itu pada masa Orde Baru. Namun, kenikmatan yang cukup sederhana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Ya, bahasa pemersatu ini menjadi sangat nikmat ketika beliau berkunjung ke negeri Jiran, Malaysia.
Betapa rekan-rekan beliau sangat mengagumi bagaimana bahasa ini bisa diterima dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Narasi yang dibangun oleh K.H. Abdurrahman Arroisi membuat saya tersenyum sendiri kala itu. Iya, benar juga ya. Beliau juga sangat bersyukur ketika aneka macam pengumuman dan rambu-rambu yang terpasang tertulis dalam empat bahasa : Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil. Ah, sungguh nikmatnya memiliki bahasa Indonesia.
Bahasa yang ringan
Tulisan yang dikemas oleh KH Abdurrahman Arroisi tak terlalu panjang. Kurang lebih sekitar 500 kata pada setiap bagian tulisan. Sama halnya dengan tulisan yang saat ini sering disebut SEO-friendly. Meski singkat, makna yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Tak hanya itu, bagi saya yang kala itu siswa SMP, membaca tulisan beliau sangat mudah dipahami. Mengalir dan memberikan sensasi berbeda.
Sensasi tersebut adalah otak kita akan senantiasa bekerja untuk mengambil hikmah dari cerita unik tersebut. Salah satu kisah yang saya ingat adalah kisah siapa yang lebih dulu masuk surga diantara empat sosok yang memiliki banyak amal, yakni syuhada yang berperang di jalan Allah, orang kaya yang dermawan, haji mabrur, dan orang alim yang saleh.
Di dalam kisah singkat itu diceritakan bahwa diantara haji mabrur, orang kaya yang dermawan, dan syuhada masing-masing memang memiliki banyak amal kebaikan. Namun ternyata, ketiga sosok tersebut mengetahui tentang ajaran kebaikan dari orang alim. Maka, Malaikat pun mempersilakan orang alim yang saleh untuk masuk surga terlebih dahulu. Tapi, kesempatan itu justru ditolak oleh orang alim yang saleh. Apa pasal?
Pasalnya, ia tak akan bisa tenang mengajar kebaikan jika tak ada syuhada yang bisa mengamankan tanah airnya. Ia juga tak akan bisa melakukan hal tersebut tanpa adanya dermawan yang membiayai syuhada untuk perang. Dan pastinya, amal ibadahnya akan berhenti jika tak ada haji mabrur yang juga berbuat kebaikan akibat pengajarannya. Maka jika diurutkan, orang kaya, syuhada, haji mabrur dan barulah orang alim yang dapat masuk surga. Sungguh, saya memetik pelajaran sarat makna dari pengajaran amal jariyah.
Pemilihan judul yang menarik seperti click bait membuat cerita yang ditulis oleh sosok inspiratif ini membuat siapa saja yang baru pertama kali membuka karya beliau akan tertarik. Salah satunya adalah kisah berjudul Khalifah Gila. Kisah yang mengangkat Khalifah Umar bin Khattab ini diracik oleh KH Abdurrahman Arroisi dengan gaya menarik.
Di dalam kisah tersebut, tertuang cerita mengenai perilaku sang khalifah yang dengan mudah menangis dan tertawa dalam waktu singkat seperti pengidap bipolar. Ternyata, sang khalifah sering mengingat dosanya sebelum masuk islam sekaligus kebodohan yang dilakukannya dulu. Lagi, pengajaran mengenai roda kehidupan sangat terngiang di kepala saya. Dan itu melalui tulisan sederhana.
Cakupan pengetahuan KH Abdurrahman Arroisi yang begitu luas juga tampak pada tulisannya. Beliau tak hanya menulis sejarah islam klasik, seperti zaman Khulfauurrasyidin, tetapi juga menulis tentang Bung Karno, Gus Dur, PM Malaysia Mahattir Mohammad, dan sebagainya.
Dengan bahasa yang sederhana nan menggelitik, membaca kisah-kisah KH Abdurrahman Arroisi membuat saya akhirnya berkesimpulan untuk melakukan hal yang sama: menulis. Ya, saya ingin menulis seperti sosok inspiratif satu ini. Menulis cerita yang ringan, mudah dipahami, dan yang pasti mengena kepada pembaca. Tapi, selain menulis, ada satu hal yang ingin saya tiru dari Pak Kyai. Anonimitas.
Entah, mengapa sosok istimewa ini tak terlalu terangkat sisi kehidupannya. Saya belum pernah melihat fotonya. Belum pernah mengenal jauh biografinya. Tapi, bagi yang mengenal karyanya, tulisannya akan terus terngiang. Masuk dalam memori otak dan akan senantiasa terpatri di dalam kehidupan. Itulah makna sosok inspiratif sebenarnya.
Maka, ketika tak ada lagi toko buku yang memajang karyanya dan tak ada lagi cetakan buku beliau terbarukan yang ada, sosok inspiratif ini akan semakin terlupakan. Namun, tidak bagi saya dan pecinta karyanya. Beliau akan selalu dikenang sampai kapanpun yang tak hanya sekedar bercerita dan memberi makna dalam tulisannya, namun akan senantiasa memberikan semangat untuk terus menulis dan menulis.
Ada pengajaran bahwa ketika orang tersebut wafat, maka ia akan wafat sesuai dengan kebiasaannya. Dan, saat terakhir waktu KH Abdurrahman Arroisi berada di dunia fana ini, beliau masih menulis dengan sisa semangatnya.
Untuk Ibu dan Anak-anak dari Bapak...
Tuhan, tidurkan aku malam ini tanpa mimpi
dan seandainya telah tiba penantianku
jangan bangunkan aku pagi-pagi
aku ingin berbaring damai di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu....
Tulisan tertanggal 20 Agustus 1996 itu menjadi tulisan terakhir dari sosok yang begitu saya kagumi. Saya hanya bisa menghela nafas ketika membaca tulisan itu pada seri buku beliau yang terakhir yang saya pinjam di Perpusatakan Universitas Negeri Malang. Tulisan yang saya baca beberapa tahun lalu, kala saya sedang butuh suntikan untuk mengerjakan skripsi.
Saya hanya berharap semoga semangat saya untuk menulis bisa sampai akhir hayat dan di alam lain nanti, entah dengan kuasa Allah apa nantinya saya bisa bertemu dengan sosok inspiratif satu ini.
Menulis dan anonimitas. Tanpa memandang gelar best seller ataupun embel-embel keduniaan lain. Itulah makna penulis sejati dari KH Abdurrahman Arroisi.
PS : Semoga saya bisa mendapatkan buku-buku beliau dengan lengkap pada suatu saat nanti. Katakan Amin dan saya doakan anda mendapat pahala berlimpah. Selamat berpuasa.
Ah Pak Kyai, sungguh saya ingin menangis.
Perjumpaan saya dengan tulisan sosok kyai, ulama, penulis, dan guru ini terjadi ketika saya duduk di bangku SMP. Kala itu, saya sedang dihukum oleh guru Bahasa Indonesia lantaran tidak bisa membedakan Majas Sinokdoke Pars Pro Toto dengan Majas Sinekdoke Totem Pro Parte. Menyendiri di perpustakaan dengan tujuan mencari bahan kedua majas itu, tiba-tiba saya menemukan jejeran buku kecil dengan sampul berwarna-warni.
Sebuah buku pun saya ambil dan terbacalah judul buku sesuai dengan prolog pada tulisan ini. Satu tulisan pun terbaca. Buku yang memuat antologi 30 kisah sederhana ini begitu memikat saya. Seorang remaja yang bisanya membaca Komik Bowling King. Satu tulisan yang begitu memukau berkisah tentang kenikmatan sederhana yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Apakah itu?
Bukan Sumber Daya Alam, bukan pula keadaan ekonomi yang bagus - kala itu pada masa Orde Baru. Namun, kenikmatan yang cukup sederhana yang dimiliki oleh bangsa Indonesia adalah bahasa Indonesia. Ya, bahasa pemersatu ini menjadi sangat nikmat ketika beliau berkunjung ke negeri Jiran, Malaysia.
Betapa rekan-rekan beliau sangat mengagumi bagaimana bahasa ini bisa diterima dengan senang hati oleh rakyat Indonesia. Narasi yang dibangun oleh K.H. Abdurrahman Arroisi membuat saya tersenyum sendiri kala itu. Iya, benar juga ya. Beliau juga sangat bersyukur ketika aneka macam pengumuman dan rambu-rambu yang terpasang tertulis dalam empat bahasa : Melayu, Inggris, Mandarin, dan Tamil. Ah, sungguh nikmatnya memiliki bahasa Indonesia.
Bahasa yang ringan
Tulisan yang dikemas oleh KH Abdurrahman Arroisi tak terlalu panjang. Kurang lebih sekitar 500 kata pada setiap bagian tulisan. Sama halnya dengan tulisan yang saat ini sering disebut SEO-friendly. Meski singkat, makna yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Tak hanya itu, bagi saya yang kala itu siswa SMP, membaca tulisan beliau sangat mudah dipahami. Mengalir dan memberikan sensasi berbeda.
Sensasi tersebut adalah otak kita akan senantiasa bekerja untuk mengambil hikmah dari cerita unik tersebut. Salah satu kisah yang saya ingat adalah kisah siapa yang lebih dulu masuk surga diantara empat sosok yang memiliki banyak amal, yakni syuhada yang berperang di jalan Allah, orang kaya yang dermawan, haji mabrur, dan orang alim yang saleh.
Di dalam kisah singkat itu diceritakan bahwa diantara haji mabrur, orang kaya yang dermawan, dan syuhada masing-masing memang memiliki banyak amal kebaikan. Namun ternyata, ketiga sosok tersebut mengetahui tentang ajaran kebaikan dari orang alim. Maka, Malaikat pun mempersilakan orang alim yang saleh untuk masuk surga terlebih dahulu. Tapi, kesempatan itu justru ditolak oleh orang alim yang saleh. Apa pasal?
Pasalnya, ia tak akan bisa tenang mengajar kebaikan jika tak ada syuhada yang bisa mengamankan tanah airnya. Ia juga tak akan bisa melakukan hal tersebut tanpa adanya dermawan yang membiayai syuhada untuk perang. Dan pastinya, amal ibadahnya akan berhenti jika tak ada haji mabrur yang juga berbuat kebaikan akibat pengajarannya. Maka jika diurutkan, orang kaya, syuhada, haji mabrur dan barulah orang alim yang dapat masuk surga. Sungguh, saya memetik pelajaran sarat makna dari pengajaran amal jariyah.
Pemilihan judul yang menarik seperti click bait membuat cerita yang ditulis oleh sosok inspiratif ini membuat siapa saja yang baru pertama kali membuka karya beliau akan tertarik. Salah satunya adalah kisah berjudul Khalifah Gila. Kisah yang mengangkat Khalifah Umar bin Khattab ini diracik oleh KH Abdurrahman Arroisi dengan gaya menarik.
Di dalam kisah tersebut, tertuang cerita mengenai perilaku sang khalifah yang dengan mudah menangis dan tertawa dalam waktu singkat seperti pengidap bipolar. Ternyata, sang khalifah sering mengingat dosanya sebelum masuk islam sekaligus kebodohan yang dilakukannya dulu. Lagi, pengajaran mengenai roda kehidupan sangat terngiang di kepala saya. Dan itu melalui tulisan sederhana.
Cakupan pengetahuan KH Abdurrahman Arroisi yang begitu luas juga tampak pada tulisannya. Beliau tak hanya menulis sejarah islam klasik, seperti zaman Khulfauurrasyidin, tetapi juga menulis tentang Bung Karno, Gus Dur, PM Malaysia Mahattir Mohammad, dan sebagainya.
Dengan bahasa yang sederhana nan menggelitik, membaca kisah-kisah KH Abdurrahman Arroisi membuat saya akhirnya berkesimpulan untuk melakukan hal yang sama: menulis. Ya, saya ingin menulis seperti sosok inspiratif satu ini. Menulis cerita yang ringan, mudah dipahami, dan yang pasti mengena kepada pembaca. Tapi, selain menulis, ada satu hal yang ingin saya tiru dari Pak Kyai. Anonimitas.
Entah, mengapa sosok istimewa ini tak terlalu terangkat sisi kehidupannya. Saya belum pernah melihat fotonya. Belum pernah mengenal jauh biografinya. Tapi, bagi yang mengenal karyanya, tulisannya akan terus terngiang. Masuk dalam memori otak dan akan senantiasa terpatri di dalam kehidupan. Itulah makna sosok inspiratif sebenarnya.
Maka, ketika tak ada lagi toko buku yang memajang karyanya dan tak ada lagi cetakan buku beliau terbarukan yang ada, sosok inspiratif ini akan semakin terlupakan. Namun, tidak bagi saya dan pecinta karyanya. Beliau akan selalu dikenang sampai kapanpun yang tak hanya sekedar bercerita dan memberi makna dalam tulisannya, namun akan senantiasa memberikan semangat untuk terus menulis dan menulis.
Ada pengajaran bahwa ketika orang tersebut wafat, maka ia akan wafat sesuai dengan kebiasaannya. Dan, saat terakhir waktu KH Abdurrahman Arroisi berada di dunia fana ini, beliau masih menulis dengan sisa semangatnya.
Untuk Ibu dan Anak-anak dari Bapak...
Tuhan, tidurkan aku malam ini tanpa mimpi
dan seandainya telah tiba penantianku
jangan bangunkan aku pagi-pagi
aku ingin berbaring damai di sisi-Mu
tanpa terganggu kenisbian waktu....
Tulisan tertanggal 20 Agustus 1996 itu menjadi tulisan terakhir dari sosok yang begitu saya kagumi. Saya hanya bisa menghela nafas ketika membaca tulisan itu pada seri buku beliau yang terakhir yang saya pinjam di Perpusatakan Universitas Negeri Malang. Tulisan yang saya baca beberapa tahun lalu, kala saya sedang butuh suntikan untuk mengerjakan skripsi.
Saya hanya berharap semoga semangat saya untuk menulis bisa sampai akhir hayat dan di alam lain nanti, entah dengan kuasa Allah apa nantinya saya bisa bertemu dengan sosok inspiratif satu ini.
Menulis dan anonimitas. Tanpa memandang gelar best seller ataupun embel-embel keduniaan lain. Itulah makna penulis sejati dari KH Abdurrahman Arroisi.
PS : Semoga saya bisa mendapatkan buku-buku beliau dengan lengkap pada suatu saat nanti. Katakan Amin dan saya doakan anda mendapat pahala berlimpah. Selamat berpuasa.
Tags
Catatanku
wah buku yang pastinya inspiratif ya
ReplyDeleteinspiratif sekali bu
DeleteSaya baru tau nama beliau btw, tapi dari karya yang dibikin, dan tentunya terkesan inspiratif, nama beliau besar sekali pasti.
ReplyDeleteiya jarang terdengar mas
Deletepadahal karyannya banyak
Saya punya 5 buku ini, tapi kok bukan 30 Kisah Teladan? apa cetakan lama ya, cerita-cerita pendek teladan yang dalam satu buku bisa ada 5 kisah. Karangan KH Abdurrahman Arroisi.
ReplyDeleteKisah haji mabrur, orang kaya yang dermawan, dan syuhada itu juga ada dalam salah satu kisah. Sayang bukunya sudah tercecer dibawa para keponakan. :)