Jadi model busana muslim saat TK. |
Tidak ada yang menyangka bahwa saat kecil dulu saya tak punya rasa malu untuk unjuk gigi.
Tak seperti sekarang – saya yang introvert – cenderung malu untuk bisa unjuk gigi dan tampil di depan. Pertama kali saya berani tampil di depan umum bahkan sejak usia 3 tahun!
Saya beruntung memiliki ibu yang berprofesi sebagai guru SD sekaligus guru mengaji di kampung. Ada banyak kegiatan pentas seni yang kerap saya lihat sedari kecil. Aneka kegiatan yang membutuhkan keberanian tampil di muka umum pun kerap digelar. Seperti hadrah, tarian islami, ataupun membaca puisi.
Acara peringatan hari besar Islam pun menjadi semarak. Nah, lucunya, saya ingin ikut dalam kegiatan semacam itu. Walau ibu memberi tahu saya kalau saya terlalu kecil, tapi saya tetap bersikukuh. Ingin bisa tampil bersama murid-murid ibu saya yang usianya di atas saya.
Tampil pertama kali di usia 3 tahun
Pertama kali naik ke atas panggung yang saya ingat kala dalam acara Maulid Nabi. Suatu pekan, di kampung saya digelar semacam pengajian dan gelar seni. Saya ikut menampilkan atraksi membaca doa sehari-hari. Penampilan ini sebenarnya dipersembahkan oleh sepuluh orang berpasangan laki-laki dan perempuan. Siswa lak-laki akan membaca doa sementara siswi perempuan akan membaca artinya.
Nah, karena saya kecil sendiri – sekitar 3 tahun – maka saya tidak memiliki pasangan. Saya pun hanya membaca doa yang saya hafal. Saya masih ingat doa yang saya baca adalah doa sebelum tidur. Percaya atau tidak, hingga sekarang doa ini setiap hari saya baca karena sudah tertancap di otak. Tak seperti doa-doa lain yang kadang saya lupakan.
Nah, karena saya kecil sendiri – sekitar 3 tahun – maka saya tidak memiliki pasangan. Saya pun hanya membaca doa yang saya hafal. Saya masih ingat doa yang saya baca adalah doa sebelum tidur. Percaya atau tidak, hingga sekarang doa ini setiap hari saya baca karena sudah tertancap di otak. Tak seperti doa-doa lain yang kadang saya lupakan.
Saya paling kecil sendiri. |
Jadi pembicaraan banyak orang
Menjadi penampil yang paling kecil, saya pun menjadi bahan perbincangan khalayak. Mungkin, kalau saya hidup zaman sekarang, sudah ada ribuan follower aktif yang mengikuti akun instagram saya. Sayang, masa kecil saya – yang habis di pertengahan 90an – membuat hal itu tidak terjadi. Namun, saat saya tampil kembali di acara selanjutnya, baik di dalam kampung maupun di luar kampung, saya kerap menjadi buah bibir. Terlebih, pada suatu waktu saya tertidur pulas sebelum tampil karena jam acara yang terlalu molor. Saya baru bangun dan dengan wajah yang acak adut tampil membacakan sebuah puisi di depan panggung.
Eksistensi saya dalam tampil di depan umum malah menjadi-jadi saat saya masuk usia SD. Saat kelas 2 dan 3, tempat mengaji saya juga melakukan acara gebyar seni. Saya didaulat menjadi tokoh utama dalam sebuah drama islami bertema salah pergaulan. Saya masih ingat, peran saya sebagai seorang ustad kecil yang dengan polosnya menceramahi lakon lainnya – para pengguna narkoba dan pemabuk - membuat nama saya melambung. Walau terdengar narsis, nyatanya peran ini cukup berhasil saya mainkan.
Eksistensi saya dalam tampil di depan umum malah menjadi-jadi saat saya masuk usia SD. Saat kelas 2 dan 3, tempat mengaji saya juga melakukan acara gebyar seni. Saya didaulat menjadi tokoh utama dalam sebuah drama islami bertema salah pergaulan. Saya masih ingat, peran saya sebagai seorang ustad kecil yang dengan polosnya menceramahi lakon lainnya – para pengguna narkoba dan pemabuk - membuat nama saya melambung. Walau terdengar narsis, nyatanya peran ini cukup berhasil saya mainkan.
Pernah kapok tampil di tempat umum
Namun, ada satu hal yang hingga sekarang masih berkesan. Peran yang saya lakukan mengharuskan saya memakai baju gamis panjang dan sorban. Nah, karena saya terlalu semangat, saat kami – para pemain cilik – melakukan salam dengan membungkuk, sorban yang saya kenakan jatuh. Segera saja, tawa dari para penonton pun mengalir deras. Sejak saat itu, saya kapok lagi tampil menjadi pemain drama dan lebih senang melakukan kegiatan lainnya seperti membaca puisi atau hadrah.
Kelas 5 SD menjadi puncak kegiatan seni saya. Di sekolah, saya terpilih menjadi salah satu pemain musik ansambel dengan iringan kulintang dan keyboard. Saya terpilih menjadi satu-satunya siswa yang memainkan keyboard. Ibu saya sangat senang karena saya bisa tampil kembali setelah sempat down gara-gara kejadian sorban yang melorot tersebut.
Bagi saya sendiri, dengan kegiatan yang mengasyikkan tersebut, saya bisa menjawab bullyan teman-teman di kampung yang sering mengolok saya karena bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Saya kerap diolok lantaran mengenakan seragam berwarna hijau – yang menurut mereka aneh – dan THB (Tes Hasil Belajar) yang jauh lebih lama. Mereka pun kerap mengatakan bahwa bersekolah di MI jauh tidak menarik dan mengurangi kegiatan bermain.
Saya pun menjawab cemoohan itu dengan kegiatan yang saya lakukan yang belum ada di SD Negeri tempat mereka bersekolah. Saya juga jadi lebih intensif berlatih di sekolah dan akhirnya bisa tampil di depan umum. Kami selalu membawakan lagu-lagu milik Haddad Alwi dan Sulis. Beberapa rekan perempuan bertugas membawa bunga mawar pada kedua tangannya layaknya video klip lagu-lagu sang artis.
Pose tidak ikhlas karena harus berjalan tanpa alas kaki untuk karnaval |
Kami kerap tampil mengisi berbagai acara. Mulai dari halalbihalal, HUT RI, hingga kegiatan di sekolah. Oh ya, kegiatan yang kami lakukan merupakan perintis dari esktrakurikuler kulintang di MI saya. Hingga kini pun, kegiatan ini masih terus dilakukan. Saat saya memberikan buku yang saya terbitkan kepada guru SD saya, beliau malah mengenal saya dari kegiatan kulintang ini.
Pernah hampir terjepit badan kulintang
Pengalaman menarik saat kegiatan tesebut justru terjadi saat kami sedang melakukan kegiatan geladi bersih dalam acara halalbihalal Guru SD/MI se-Kecamatan Sukun Kota Malang. Kami menaiki truk dari sekolah sembari membawa peralatan musik yang akan kami gunakan.
Dasar saya yang memang pecicilan dan ingin berpindah ke dekat salah satu teman, kaki saya terjepit meja kulintang ketika truk berbelok. Maklum, sekolah saya berada di pinggiran Kota Malang dengan kontur berbukit. Saya pun menjerit keras dan menarik perhatian semua teman dan guru saya. Untunglah, ketika truk berbelok lagi, saya bisa menggeser tubuh saya ke posisi semula.
Tragedi itu ditutup dengan manis. Kami tampil dengan apik dan membuktikan bahwa siswa MI juga bisa berprestasi. Setelah penampilan itu, saya tak lagi tampil di muka umum. Mulai SMP hingga SMA dan kuliah, saya lebih banyak beraktivitas dalam kegiatan ON MIPA dan di balik layar LKIR. Kalaupun tampil di depan, mungkin hanya tes cerdas cermat dan presentasi karya tulis yang saya ikuti.
Tampil di depan publik memang mengasyikkan. Namun jika tidak terasah dari kecil, rasanya membuat hati deg-degan.
Tags
Catatanku
Ternyata di masa kecil kita sama-sama introvert ya...
ReplyDeleteBtw, pinggir Malang mana ya? Saya pun Malang selatan lho...
wkwkwk tos mbak
Deletesaya di Mergan mbak'
'
malang selatannya mana ya...