Sebenarnya, saya adalah salah satu korban bullying saat sekolah dulu.
Saat duduk di bangku SD, saya kerap mendapat perundungan dari teman sekolah dan kemudian teman bermain di rumah. Alasan saya di-bully di sekolah adalah karena saya tidak suka bermain sepak bola. Sedangkan, perundungan yang terjadi di lingkungan sekitar rumah disebabkan saya bersekolah di sebuah MI yang harus masuk pada hari Minggu dan libur pada hari Jumat. Secara otomatis, saya diejek karena sekolah saya yang berbeda. Saya dianggap sombong karena tidak mau bermain terutama di hari Minggu. Hingga akhirnya ibu memindahkan saya ke sekolah lain – meski sama-sama MI – tetapi memiliki hari belajar yang normal.
Apa yang saya alami di bangku SD untungnya tidak saya terima kembali dari bangku SMP hingga kuliah. Malah, saya kerap melihat teman lain yang mendapat perundungan jauh lebih buruk dibandingkan saat saya duduk di bangku SD dulu. Bahkan, ada seorang teman sekelas di SMP yang begitu di-bully habis-habisan lantaran perilakunya yang untuk seusia tersebut bagi kebanyakan teman seperti anak SD. Ia bahkan sering saya temui meluapkan emosinya dengan menyobek buku pelajaran dan melakukan kegiatan self-harm, seperti memukulkan tangan ke tembok hingga menyilet tangan dengan pisau peraut pensil (cutter).
Apa yang saya dan teman sekelas alami sebenarnya jika ditarik benang kusut memberikan sebuah kesimpulan. Perilaku bullying atau perundungan timbul akibat adanya perbedaan pola pikir dan perilaku yang bagi lingkungan sekitarnya merupakan sebuah kesalahan. Bagi teman-teman SD, saya dianggap tidak bersifat laki-laki karena tidak mau bermain sepak bola. Saya juga tidak tahu alasan pasti mengapa saya tidak suka olahraga ini karena saya lebih gemar olahraga lain. Jika saya memaksakan bermain sepak bola, maka justru tim saya yang akan mendapat kesukaran karena saya tidak terlalu mahir.
Nah, akhirnya perilaku perundungan timbul akibat adanya persepsi berbeda antara sebuah kelompok terhadap seseorang. Persepsi ini bisa juga disebabkan karena adanya kesalahan yang dilakukan terhadap korban bullying. Kesalahan yang sebenarnya tidak terlalu fatal dan butuh koreksi dan masukan dengan cara yang lebih baik dibandingkan harus melakukan bullying.
Lalu, apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman yang mendapatkan perilaku bullying?
Pertama, sebisa mungkin untuk tetap bersama rekan yang mendapat perilaku ini. Rekan SMP yang saya ceritakan tadi akhirnya duduk sebangku dengan saya karena ada guru yang memasangkan. Saya mencoba terus bersamanya, mulai dari saat jam olahraga, istirahat, hingga pergi ke musala karena dia tak punya teman sama sekali.
Meski saya juga akhirnya mendapat perundungan juga karena dianggap mau bermain dengannya yang seperti anak SD, tetapi karena saya juga punya teman di kelas lain dan sudah kebal terhadap bullying, maka saya melakukannya dengan senang hati. Saya coba bertanya kepadanya ketika dia mulai menunjukkan perilaku yang implusif setelah mendapat perundungan. Saya kerap mengobrol di sela-sela pelajaran dan bercerita apa saja yang kami sukai.
Perlahan tapi pasti, ia mulai membuka diri. Saya juga memberinya sedikit pengertian bahwa kami sudah duduk di bangku SMP yang harus memiliki tanggung jawab lebih dibandingkan saat duduk di bangku SD. Memang, ia kerap tertidur dan mengeluh pusing pada pelajaran yang dianggap sulit, seperti matematika dan Fisika. Ia juga kerap gagal mengerjakan tugas kelompok – terutama kesenian – yang akhirnya di-bully oleh teman-temannya.
Ternyata, latar belakang keluarganya yang dari kalangan menengah ke atas dan kurang mendapat perhatian orang tua. Guru BK pun akhirnya paham dengan kondisinya dan terus memasangkan saya dengan teman saya tadi. Saya juga kerap satu kelompok dan terus berusaha menjelaskan kepada teman lain bahwa rekan saya tersebut butuh pendampingan dan bukan dicaci. Ia butuh dijelaskan dengan baik tanggung jawab apa yang harus ia emban.
Untunglah, saat dewasa, ketika saya lama tidak lagi berhubungan dengannya, saya mendapat kejutan. Ia telah menempuh pendidikan S2 dan memiliki aktivitas pribadi yang membanggakan.
Jadi, saya semakin sadar bahwa kesalahan atau perilaku yang berbeda daripada lingkungan sekitar sebenarnya bisa diminimalisir jika kita paham apa yang menjadi akar permasalahannya. Seperti rekan saya tadi karena tidak ada dorongan yang kuat dari orang tua dan hanya kerap mendapat limpahan materi saja maka ia menjadi tidak bersemangat untuk mengerjakan dan mengikuti kegiatan di sekolah.
Kedua, selalu menekankan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Ini penting karena tiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Disadari atau tidak, kita lebih tertarik mengupas kelemahan orang lain sehingga rasa superioritas yang akan muncul. Rasa lebih baik akan terus bersemayam sehingga jika ada seorang teman yang melakukan kesalahan – walau sepele – maka ada rasa keinginan untuk menghujat habis-habisan.
Di SMA saya dulu ada sebuah slogan yang berbunyi “Mitreka Satata”. Slogan ini bermakna “Sahabat yang sama/sederajat” yang mengharuskan siswanya menghormati rekannya karena mereka sebenarnya adalah sama. Dengan adanya slogan ini, sekolah terus memberikan dorongan agar semua siswanya peduli dengan rekannya dan bisa berkolaborasi dalam kegiatan yang positif. Nyatanya, hingga saya lulus SMA, hampir tak saya temukan korban bullying di sekolah saya. Semuanya begitu menjiwai makna “Mitreka Satata” dan menerapkannya sehingga bisa menjalin hubungan pertemanan yang tanpa perundungan.
Ketiga, memberikan masukan untuk tetap fokus terhadap apa yang mereka kerjakan. Ini berlaku terutama bagi teman yang sudah bekerja dan tidak sesuai dengan penilaian sekitarnya. Misalkan, ada teman yang berjualan suatu barang meski sebenarnya ia mampu untuk bekerja di sebuah perusahaan dengan pendapatan jauh lebih tinggi.
Saya kerap mendengar mereka kerap putus asa melihat penilaian buruk semacam ini. Maka, saya hanya bisa membantu dengan membeli barang yang mereka dagangkan dan memberikan tesrimoni positif lantaran barang yang mereka jual berkualitas baik dan kegiatan yang mereka lakukan bukanlah sebuah kesalahan. Intinya, selama mereka tidak melakukan kegiatan kriminal yang sangat meresahkan, mereka tidak sepatutnya mendapat cacian berlebihan.
Akhirnya, apapun kesalahan orang atau perbedaan pandangan orang lain, bukan cacian atau bullyan tapi pengertian dan memberikan masukan konstruktif yang harus kita lakukan. Kita tidak tahu kan bagaimana isi hati seseorang. Jangan sampai karena perundungan yang kita lakukan malah membuat orang tersebut mengalami gangguan jiwa seperti depresi.
Ilustrasi korban bullying. - Kootation.Com |
Apa yang saya alami di bangku SD untungnya tidak saya terima kembali dari bangku SMP hingga kuliah. Malah, saya kerap melihat teman lain yang mendapat perundungan jauh lebih buruk dibandingkan saat saya duduk di bangku SD dulu. Bahkan, ada seorang teman sekelas di SMP yang begitu di-bully habis-habisan lantaran perilakunya yang untuk seusia tersebut bagi kebanyakan teman seperti anak SD. Ia bahkan sering saya temui meluapkan emosinya dengan menyobek buku pelajaran dan melakukan kegiatan self-harm, seperti memukulkan tangan ke tembok hingga menyilet tangan dengan pisau peraut pensil (cutter).
Apa yang saya dan teman sekelas alami sebenarnya jika ditarik benang kusut memberikan sebuah kesimpulan. Perilaku bullying atau perundungan timbul akibat adanya perbedaan pola pikir dan perilaku yang bagi lingkungan sekitarnya merupakan sebuah kesalahan. Bagi teman-teman SD, saya dianggap tidak bersifat laki-laki karena tidak mau bermain sepak bola. Saya juga tidak tahu alasan pasti mengapa saya tidak suka olahraga ini karena saya lebih gemar olahraga lain. Jika saya memaksakan bermain sepak bola, maka justru tim saya yang akan mendapat kesukaran karena saya tidak terlalu mahir.
Nah, akhirnya perilaku perundungan timbul akibat adanya persepsi berbeda antara sebuah kelompok terhadap seseorang. Persepsi ini bisa juga disebabkan karena adanya kesalahan yang dilakukan terhadap korban bullying. Kesalahan yang sebenarnya tidak terlalu fatal dan butuh koreksi dan masukan dengan cara yang lebih baik dibandingkan harus melakukan bullying.
Lalu, apa saja yang bisa kita lakukan untuk membantu teman yang mendapatkan perilaku bullying?
Pertama, sebisa mungkin untuk tetap bersama rekan yang mendapat perilaku ini. Rekan SMP yang saya ceritakan tadi akhirnya duduk sebangku dengan saya karena ada guru yang memasangkan. Saya mencoba terus bersamanya, mulai dari saat jam olahraga, istirahat, hingga pergi ke musala karena dia tak punya teman sama sekali.
Meski saya juga akhirnya mendapat perundungan juga karena dianggap mau bermain dengannya yang seperti anak SD, tetapi karena saya juga punya teman di kelas lain dan sudah kebal terhadap bullying, maka saya melakukannya dengan senang hati. Saya coba bertanya kepadanya ketika dia mulai menunjukkan perilaku yang implusif setelah mendapat perundungan. Saya kerap mengobrol di sela-sela pelajaran dan bercerita apa saja yang kami sukai.
Perlahan tapi pasti, ia mulai membuka diri. Saya juga memberinya sedikit pengertian bahwa kami sudah duduk di bangku SMP yang harus memiliki tanggung jawab lebih dibandingkan saat duduk di bangku SD. Memang, ia kerap tertidur dan mengeluh pusing pada pelajaran yang dianggap sulit, seperti matematika dan Fisika. Ia juga kerap gagal mengerjakan tugas kelompok – terutama kesenian – yang akhirnya di-bully oleh teman-temannya.
Ternyata, latar belakang keluarganya yang dari kalangan menengah ke atas dan kurang mendapat perhatian orang tua. Guru BK pun akhirnya paham dengan kondisinya dan terus memasangkan saya dengan teman saya tadi. Saya juga kerap satu kelompok dan terus berusaha menjelaskan kepada teman lain bahwa rekan saya tersebut butuh pendampingan dan bukan dicaci. Ia butuh dijelaskan dengan baik tanggung jawab apa yang harus ia emban.
Untunglah, saat dewasa, ketika saya lama tidak lagi berhubungan dengannya, saya mendapat kejutan. Ia telah menempuh pendidikan S2 dan memiliki aktivitas pribadi yang membanggakan.
Jadi, saya semakin sadar bahwa kesalahan atau perilaku yang berbeda daripada lingkungan sekitar sebenarnya bisa diminimalisir jika kita paham apa yang menjadi akar permasalahannya. Seperti rekan saya tadi karena tidak ada dorongan yang kuat dari orang tua dan hanya kerap mendapat limpahan materi saja maka ia menjadi tidak bersemangat untuk mengerjakan dan mengikuti kegiatan di sekolah.
Kedua, selalu menekankan bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Ini penting karena tiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihannya masing-masing. Disadari atau tidak, kita lebih tertarik mengupas kelemahan orang lain sehingga rasa superioritas yang akan muncul. Rasa lebih baik akan terus bersemayam sehingga jika ada seorang teman yang melakukan kesalahan – walau sepele – maka ada rasa keinginan untuk menghujat habis-habisan.
Di SMA saya dulu ada sebuah slogan yang berbunyi “Mitreka Satata”. Slogan ini bermakna “Sahabat yang sama/sederajat” yang mengharuskan siswanya menghormati rekannya karena mereka sebenarnya adalah sama. Dengan adanya slogan ini, sekolah terus memberikan dorongan agar semua siswanya peduli dengan rekannya dan bisa berkolaborasi dalam kegiatan yang positif. Nyatanya, hingga saya lulus SMA, hampir tak saya temukan korban bullying di sekolah saya. Semuanya begitu menjiwai makna “Mitreka Satata” dan menerapkannya sehingga bisa menjalin hubungan pertemanan yang tanpa perundungan.
Ketiga, memberikan masukan untuk tetap fokus terhadap apa yang mereka kerjakan. Ini berlaku terutama bagi teman yang sudah bekerja dan tidak sesuai dengan penilaian sekitarnya. Misalkan, ada teman yang berjualan suatu barang meski sebenarnya ia mampu untuk bekerja di sebuah perusahaan dengan pendapatan jauh lebih tinggi.
Saya kerap mendengar mereka kerap putus asa melihat penilaian buruk semacam ini. Maka, saya hanya bisa membantu dengan membeli barang yang mereka dagangkan dan memberikan tesrimoni positif lantaran barang yang mereka jual berkualitas baik dan kegiatan yang mereka lakukan bukanlah sebuah kesalahan. Intinya, selama mereka tidak melakukan kegiatan kriminal yang sangat meresahkan, mereka tidak sepatutnya mendapat cacian berlebihan.
Akhirnya, apapun kesalahan orang atau perbedaan pandangan orang lain, bukan cacian atau bullyan tapi pengertian dan memberikan masukan konstruktif yang harus kita lakukan. Kita tidak tahu kan bagaimana isi hati seseorang. Jangan sampai karena perundungan yang kita lakukan malah membuat orang tersebut mengalami gangguan jiwa seperti depresi.
Tags
Catatanku
Selain pola pikir , bullying tjd juga krn fktor ekonomi ini yg banyak aku lihat. Dan bs banget kita cegah bila kita peduli
ReplyDeleteBiasa pelaku bullying ini mereka2 yang memiliki karakter kuat akan tetapi ada satu lobang di dalam dirinya yang tidak terpenuhi. Oleh karenanya untuk menunjukkan "aku"nya dia ya ngebully orang lain yang nurut dia lemah.
ReplyDeleteNice share, Mas.
maaksih sharingnya
ReplyDelete