Long Distance Operator di Omaha, 1959. - Sumber foto: telcomhistory.org |
"Selamat datang di Call Center Bank YYY. Untuk info megenai produk layanan Bank YYY, tekan 1. Untuk berbicara dengan operator kami, tekan 2".
Kalau mendengar suara seperti itu, berarti Anda
sedang mendapatkan masalah. Memencet nomor 2 pada layar ponsel/telepon
akan Anda lakukan. Dan, tak lama kemudian, suara perempuan menyapa Anda.
Mendengarkan keluh kesah Anda mengenai transaksi perbankan, ia akan setia menerima keluhan. Tapi, Anda juga harus bersabar untuk menunggu proses pengecekan yang tengah dilakukan. Bisa satu menit, dua menit, atau bahkan Anda harus menutup telepon untuk menunggu dihubungi.
Ketika saya berada
di posisi itu, seringkali saya diuji kesabaran.
Selain menunggu dan
menghabiskan pulsa, kadangkala hubungan telepon yang saya lakukan sering
terputus tiba-tiba. Padahal, saya membutuhkan kepastian segera. Kalau
sudah begini, timbulah keinginan untuk memarahi sang operator. Memaki
dengan kata kasar, atau membuat sumpah serapah di media sosial.
Ketidaksabaran saya memang manusiawi. Tapi setidaknya, saya harus lebih bersyukur dan menerima keadaan. Apa pasal? Karena selama-lamanya saya menunggu operator bank yang saya komplain, tentu tak selama orang-orang zaman dahulu.
Pemikiran sederhana ini baru saja saya renungkan kala melayat salah seorang tetangga. Dari cerita yang terdengar, beliau memiliki tingkat kesabaran yang cukup tinggi. Bukan, beliau bukan menjadi operator bank atau perusahaan lain. Di masa hidupnya, beliau pernah berprofesi sebagai "Pentil Kecakot".
Mengenal Pentil kecakot
Kalau Anda
orang Jawa, atau mengerti bahasa Jawa, pasti Anda akan tergelak.
Konotasi negatif juga akan terbayang. Tapi sesungguhnya, profesi pentil kecakot adalah profesi mulia. Akronim dari Penjaga Tilpun Kecamatan Kota, ia sangat dibutuhkan. Ya, ialah garda terdepan dari saluran komunikasi telepon zaman dahulu.
Pentil kecakot biasanya berada di kantor pusat telekomunikasi sebuah kota atau kota kecamatan. Di tangan dan telinganyalah aneka hubungan komunikasi zaman dahulu bisa terjalin dengan rapi.
Tugas dari pentil kecakot adalah menghubungkan telekomunikasi telepon dari pengguna pesawat telekomunikasi ini. Jika sekarang hanya perlu satu sentuhan saja untuk mengirim pesan whatsapp kala ingin berkabar, maka pada zaman dulu kala kita harus melewati gerbang "pentil kecakot" terlebih dahulu.
Ketika orang yang akan menelepon selesai memutar nomor telepon, maka suara pentil kecakot akan terdengar. Seringkali, percakapan antara pengguna telepon dan pentil kecakot dilakukan dalam bahasa Belanda.
Tak ayal, selain fasih berbahasa Indonesia dan Jawa, pentil kecakot pada zaman itu juga harus bisa berbahasa Belanda. Sebuah syarat mutlak untuk menjalani profesi ini. Dan uniknya, mereka berbicara langsung kala pengguna telepon pertama kali mendengar suara mereka. Bukan rekaman suara operator dalam dua bahasa yang sering kita dengarkan.
Semua sambungan telepon yang dilakukan harus melalui pentil kecakot. Baik lokal maupun interlokal. Nah untuk hubungan telekomunikasi interlokal, maka sang pengguna telepon harus benar-benar bersabar. Pasalnya, bukan semenit atau dua menit seperti layaknya menunggu oeprator bank, tapi bisa satu jam dua jam bahkan berjam-jam.
Dalam memori mengenai pentil kecakot yang ditulis oleh Dukut Imam Widodo di buku Malang Tempo Dulu, salah seorang pernah menunggu sang pentil kecakot hingga 8 jam kala menelepon ke Buitenzorg (Bogor). Dan, perlu waktu hingga 10 jam untuk melakukan hubungan interlokal dari Malang ke Jakarta. Rasanya, waktu selama itu ekuivalen dengan perjalanan Malang-Jogja dengan kereta api.
Apa yang membuat hubungan interlokal membutuhkan waktu begitu lama?
Yang jelas, zaman dahulu belum diketemukan sistem Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ). Saluran favorit bagi para LDR di era wartel berjamur ini masih belum dikenal.
Jika pengguna telepon ingin melakukan hubungan telepon di luar kota, maka ia harus melaui pentil kecakot di kota ia tinggal.
Pentil kecakot di Indonesia. - Buku Malang Tempo Dulu |
Lantas, pentil kecakot ini akan menghubungi pentil kecakot
di kota tujuan sebelum akhirnya menghubungi penerima telepon. Berantai,
lama, dan dengan suara yang tidak begitu jelas. Itulah gambaran
susahnya berhubungan interlokal pada zaman dulu.
Dalam memori mengenai pentil kecakot yang ditulis oleh Dukut Imam Widodo di buku Malang Tempo Dulu, salah seorang pernah menunggu sang pentil kecakot hingga 8 jam kala menelepon ke Buitenzorg (Bogor). Dan, perlu waktu hingga 10 jam untuk melakukan hubungan interlokal dari Malang ke Jakarta. Rasanya, waktu selama itu ekuivalen dengan perjalanan Malang-Jogja dengan kereta api.
Nah yang lebih unik lagi, selepas selesai melakukan pembicaraan, bukan
berarti pengguna telepon bisa dengan tenang menutup teleponnya.
Pasalnya, hubungan telepon belum akan benar-benar terputus sebelum sang pentil kecakot menghubungi sang penelepon. Jika sang pentil kecakot lupa untuk menghubungi penelepon dan memutuskan komunikasi interlokal tersebut, maka alamat tagihan telepon akan membengkak.
Kadangkala, jika saluran telepon sedang sibuk-sibuknya, maka pentil kecakot tak segan memutuskan hubungan telekomunikasi interlokal tanpa pemberitahuan tersebut. Atau, jika sang pentil kecakot meluangkan waktu menghubungi sang penelepon, maka ia akan bertanya, "Bisakah hubungan telepon ini diakhiri?"
Tanpa beban dan rasa bersalah, dengan bahasa Belanda tentunya. Sungguh, kata makian mungkin akan terlontar jika saat itu komunikasi sedang berjalan pada klimaksnya.
Apalagi, jika sedang berhubungan dengan sang kekasih di luar kota. Lama dan kurang efektifnya saluran telepon interlokal yang harus menggunakan pentil kecakot membuat banyak orang kala itu lebih memilih menggunakan telegram jika ingin berkabar ke luar kota.
Dalam budaya modern
Meski sekarang sudah tak ada lagi pentil kecakot untuk saluran interlokal, namun operator telepon semacam ini pernah saya temukan kala menggunakan SLI (Sambungan Langsung Internasional).
Suara operator yang khas dan menunggu dalam waktu cukup lama pernah saya alami kala menghubungi almarhum kakek nenek yang sedang berhaji. Yang jelas hingga sekarang, posisi operator semacam pentil kecakot sangat penting.
Dalam budaya modern, sebuah lagu campur sari berjudul Pentil Kecakot pun ada. Dinyanyikan oleh Cak Diqin dan Wiwid, lagu ini megisahkan seorang pria berprofesi sebagai pentil kecakot yang akan melamar kekasihnya.
Sang kekasih bingung ketika menanyakan pekerjaan sang calon. Saat dijawab, ia malah bertambah bingung dan sedikit jijik. Tapi, sang pentil kecakot lalu menjelaskan mengenai profesinya. Barulah, wanita yang ia damba untuk dinikahinya itu melunak dan mengerti tentang pekerjaannya.
Walau memiliki makna tersirat mengenai arti dari profesi mulia ini, lagu ini sempat dilarang beredar di beberapa daerah. Salah satunya adalah larangan edar di Banjarnegara. Beserta lagu Tragedi Tali Kutang, lagu ini dianggap memiliki judul yang "ngeres" (porno).
Tak hanya dalam lagu, pekerjaan pentil kecakot juga sempat dibuatkan gim bertajuk Hello Operator!. Gim yang dimainkan dalam switchboard telepon kuno dari tahun 1927. Dengan menggunakan handset ala pentil kecakot, pemain akan berusaha menghubungkan koneksi banyak telepon dalam beberapa kabel atau port.
Sambil mendengarkan telepon yang masuk, sang pemain harus benar-benar konsentrasi agar hubungan-hubungan telepon yang masuk tidak salah atau tertukar.
Satu dua hubungan telepon masih terlihat mudah. Namun, jika tiga empat atau bahkan lebih tidaklah mudah. Butuh keahlian, konsentrasi tinggi, dan kecepatan tangan agar semua hubungan komunikasi terkendali.
Walaupun sudah lama tak eksis lagi, pekerjaan pentil kecakot ini sungguh mulia. Dan pekerjaan-pekerjaan baru yang hampir setipe dengan pentil kecakot ini juga tak kalah penting.
Sebagai pengguna layanan telekomunikasi, masihkah kita pantas mengeluh dan mengumpat jika pesan whatsapp kita tertunda hanya beberapa menit saja?
Bersyukurlah.
Sekian, salam.
***
Sumber:
(1)(2)(3)
Widodo, D.I. 2006. Malang Tempo Dulu. Malang: Bayumedia Publishing.
Tags
Sejarah
Btw lagunya enak buat goyang ya 😂
ReplyDeleteBaru paham namanya... Keren kak...
ReplyDeletelagunya enak dan dulu sempat dengar.
DeleteSaya pernah unya teman yang kerja dei alat peger, sebelum hape marak seperti ini. Kerjanya ya hampir mirup dengan pentil kecakot. Kalau jaman dulu ya harus ekstra sabar, siap menghabiskan uang koin. Tapi sekarang telah digantikan suara komputer. SEhingga kerjaan pentil kecakot tampak santai sekali. Sesekali dia justru tidur hehehe
ReplyDeletesering liat di film2, tapi baru tahu namanya pentil kecakot
ReplyDeleteBaru tau mas ada kerjaan macam gini
ReplyDeleteKerjaannya unik juga ya, baru tahu saya
ReplyDeletepacar saya pernah bekerja sebagai operator begituan jaman pager marak di Indonesia, sayangnya sang pacar itu lebih memilih menikah dengan managernya ketimbang dengan sayah.....sakitnya tuh disini...nih mang
ReplyDelete