Fasilitas listrik di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Sejarah listrik di Indonesia bermula pada 1897 dengan berdirinya perusahaan listrik pertama bernama Nederlandsche Indische Electriciteit Maatchappij (NIEM) yang berkantor pusat di Gambir, Jakarta. Setelah kemunculan perusahaan listrik pertama tersebut, munculah beberapa perusahaan listrik swasta, antara lain Algemeene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatchappij (ANIEM) dan Bandoengsche Electriciteit Maatschappij (BEM).
Gairah Liberalisasi Ekonomi
Pada waktu itu, tiap perusahaan listrik berhak mengelola sumber listrik mereka dan mendistribusikannya ke pelanggan masing-masing. Kemunculan perusahaan-perusahaan listrik tersebut tak lepas dari gairah liberalisasi ekonomi yang dimulai sejak diberlakukannya Undang-Undang Agraria Tahun 1870. Undang-undang ini membuka keran seluas-luasnya kepada pemodal swasta asing untuk menginvestasikan modalnya di Indonesia.
Investasi banyak yang terpusat pada bidang perkebunan, perdagangan, dan industri. Dengan kenaikan jumlah investasi tersebut, maka kebutuhan akan kecepatan aktivitas yang menunjang investasi juga ikut meningkat. Salah satunya adalah listrik.
ANIEM Perusahaan Listrik Terbesar
Diantara perusahaan-perusahaan listrik pada awal kemunculan di zaman kolonial, ANIEM merupakan perusahaan yang paling besar. Pangsa pasar ANIEM hampir mencapai 40% pasokan listrik nasional. Wilayah pemasaran utama perusahaan ini antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan. Di tiga wilayah itu, ANIEM memasok kebutuhan industri dan rumah tangga.
Luasnya cakupan pemasaran ANIEM membuat perusahaan ini menerapkan kebijakan desentralisasi produk dan pemasaran dengan membentuk anak perusahaan. Kebijakan tersebut membuat listrik bisa diproduksi mandiri oleh anak perusahaan yang secara langsung menangani proses produksi di berbagai wilayah. Dengan demikian, kinerja perusahaan menjadi menjadi efektif, terutama dari segi produksi dan pemasaran.
Baca juga: Memori Mesin Sigaret
Anak perusahaan ANIEM tersebut memiliki sifat setengah
otonom. Meski masih berada dalam kontrol ANIEM, mereka berhak untuk memproduksi
tenaga listrik, mengalirkan ke pelanggan, dan melakukan pemeliharaan jaringan.
Tak hanya itu, mereka juga diberi wewenang untuk melakukan kewajiban kepada
pemegang saham, terutama dalam hal pembagian deviden.
Beberapa anak perusahaan ANIEM memiliki pembangkit listrik
di wilayahnya masing-masing. Diantaranya adalah NV. Electriciteits Maatschappij Banyumas (EMB) yang memiliki
pembangkit di Ketenger dan digerakkan oleh aliran Sungai Banjaran, Baturaden.
Pembangkit ini menghasilkan listrik sebesar 30 kV.
Ada juga NV. Solosche Electriciteits Maatschappij
(SEM) yang memiliki pembangkit di Jelok dan digerakkan oleh aliran air Sungai
Tuntang, Salatiga. Kantor pusat perusahaan ANIEM sendiri yang berada di Surabaya
memiliki pembangkit di Ngagel, Semampir, dan Tanjung Perak.
Kesuksesan ANIEM mengembangkan kelistrikan
Dalam kurun 1935-1941, perusahaan ini mengalami kenaikan
penjualan yang cukup besar. Periode ini merupakan masa setelah krisis besar
dunia yang dikenal dengan malaise. Kenaikan penjualan listrik yang dicapai ANIEM
disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, anak perusahaan ANIEM telah melakukan produksi cukup stabil
Terutama, mereka telah telah memiliki pembangkit listrik sendiri.
Jarang sekali terjadi byar pet atau pemadaman bergilir. Sebuah prestasi yang
sangat membanggakan untuk ukuran waktu itu. Kestabilan anak perusaan ini membuat
ANIEM cukup mendapat kepercayaan masyarakat luas.
Tabel Jumlah Daya Listrik yang Terjual Selama 1935-1941 (kWH)
Tabel Jumlah Daya Listrik yang Terjual Selama 1935-1941 (kWH)
Tahun
|
Rumah Tangga
|
Industri
|
Total
|
1935
|
na
|
na
|
93.178.506
|
1936
|
na
|
na
|
99.423.812
|
1937
|
na
|
na
|
109.731.540
|
1938
|
74.300.000
|
35.400.000
|
109.700.000
|
1939
|
77.200.000
|
39.300.000
|
116.500.000
|
1940
|
81.420.000
|
45.810.000
|
127.230.000
|
1941
|
85.990.000
|
55.976.000
|
141.966.000
|
Kedua, propaganda yang cukup gencar dilakukan
Perusahaan ini
sering beriklan untuk menjaring pelanggan rumah tangga yang merupakan pangsa pasar terbesarnya.
ANIEM memberikan slogan bahwa listrik menyediakan penerangan yang lebih baik
dibandingkan lampu minyak atau gas.
Baca juga: Disparitas Dua Alun-alun di Kota Malang
Propaganda ini semakin sukses ketika
terjadi penetrasi besar iklan perusahaan barang-barang elektronik di surat
kabar. Secara tak langsung, citra modern dari iklan barang elektronik ikut mengerek
pola pikir masyarakat untuk beralih kepada energi listrik. Ketika mereka ingin
menggunakan barang elektronik tersebut, maka mau tak mau mereka harus
menggunakan listrik.
Salah satu iklan jadul Philipps |
Ketiga, ANIEM sendiri membentuk semacam Biro Penasehat Penerangan
Tujuan biro ini adalah untuk menarik minat masyarakat untuk berlangganan listrik.
Biro ini mengingatkan kita pada Pertamina saat melakukan konversi penggunaan
minyak tanah ke gas elpiji secara besar-besaran. ANIEM juga menawarkan listrik
untuk pemakaian di kantor, lapangan tenis, dan objek-objek lain. Jalan-jalan di
kota yang menjadi wilayah penjualan ANIEM diberi fasilitas listrik. Kota-kota
tersebut pun menjadi hidup.
Jalan-jalan kota yang difasilitasi ANIEM menjadi terang. |
Keempat, pembayaran rekening listrik ANIEM sangat mudah.
Setiap minggu, petugas ANIEM akan datang ke perumahan dan perkampungan
warga sehingga pembayaran rekening listrik bisa lebih mudah meski saat itu
belum ada istilah transaksi nontunai. Kemudahan ini sebenarnya juga sudah
dilakukan oleh PLN yang membuka loket pembayaran listrik dan pembelian token
listrik di berbagai pelosok.
Sisa struk rekening ANIEM, Oktober 1934. Meski belum ada transaksi non tunai, pembayaran rekening listrik cukup mudah saat itu. (Sumber) |
Nah kelima, yang tak akan mungkin dilakukan sampai kiamat kubro oleh PLN adalah penurunan tarif dasar listrik.
Hal ini pernah dilakukan
ANIEM pada 1 Februari 1939 dengan penurunan sebesar 5%. Yang unik dan membuat
shock adalah alasan penurunan tarif tersebut karena dunia sedang berperang untuk
kedua kalinya sehingga mereka melakukannya untuk mengurangi beban pelanggan.
Kenaikan jumlah pelanggan tersebut tentunya berefek pada
kenaikan kinerja keuangan ANIEM yang cukup baik. Kenaikan laba secara stimultan
terus dicatatkan oleh perusahaan ini sebelum diambil alih oleh Pemerintah
Pendudukan Jepang pada 1942. Lonjakan pendapatan terbesar terjadi pada tahun
1937.
Pada tahun tersebut, laba yang diperoleh cukup tinggi karena terjadi
penurunan anggaran untuk pembelian mesin baru dan peningkatan jumlah pelanggan
listrik di beberapa daerah terutama untuk rumah tangga dan industri.
Pendapatan NV. ANIEM antara 1936-1940
Pendapatan NV. ANIEM antara 1936-1940
Tahun
|
Pendapatan
|
|
Kotor
|
Laba
|
|
1936
|
Æ’4.564.660,18
|
Æ’1.660.830,00
|
1937
|
Æ’4.668.821,34
|
Æ’2.021.850,00
|
1938
|
Æ’5.012.100,70
|
Æ’2.321.383,33
|
1939
|
Æ’5.540.226,88
|
Æ’2.639.175,00
|
1940
|
Æ’5.447.883,43
|
Æ’1.244.182,50
|
Kisah manis ANIEM sebagai perusahaan pemasok listrik yang
sarat prestasi harus berakhir pada 1942. Jepang mengambil alih perusahaan ini
dalam sebuah lembaga bernama Djawa Denki Djigo Kosja. Saat perang revolusi
fisik, pihak Belanda kembali mencoba mengambil alih ANIEM kembali. Namun,
perang yang berkepanjangan membuat ANIEM porak-poranda.
Tak banyak hal yang
bisa dilakukan untuk sekedar membangun kembali bisnis pasokan listrik ini.
Jejak terakhir ANIEM adalah saat terjadi nasionalisasi perusahaan ini pada 1
November 1954. ANIEM dan segudang permasalahannya pun melebur dengan perusahaan listrik lain dan mengawali
sejarah baru bersama Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Ketika proses nasionalisasi ANIEM, masalah muncul seperti kerusakan pembangkit, jumlah karyawan yang menipis, hingga masalah finansial. |
Seandainya sejarah bisa
terulang, tentu bangsa Indonesia akan berharap dilayani oleh sistem kelistrikan
yang amat efektif seperti tinggalan kolonial Belanda ini. Paling tidak, tak ada
lagi byar pet dan harga listrik yang murah serta pasokan listrik yang merata
dari Sabang hingga Merauke. Kita tunggu saja, apakah sejarah ini akan terulang
atau mustahil bisa terjadi.
Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Sumber :
Tags
Sejarah
Gila lu, sampe tau kisahnya PLN
ReplyDeletegue emang gil wkwkw
DeleteMasya Allah, baru tahu sejarahnya...
ReplyDeleteiya mbak
DeleteSaya baru tau sejarah PLN dari baca podtingan mas ikrom ini
ReplyDeletedi kampung saya baru bisa menikmati listrik 24 jam itu sejak 2008. Tapi tidak itu juga tidak sepenuhnya, dayanya masih kecil lampu pun tidak terlau terang menyala.
Sampai sekarang pun meski sudah banyak perubahan dan lebih baik, namnya listrik padam sudah hal biasa, kalau sudah padam tidak ingat waktu lagi, dari 4-6 jam perhari.
Yang bnyak mengeluh adalah industri kecil rumaha, sperti percetakan, tukang jahit. semua yang membutuhkan listrik
semoga kedepannya semua wilayah indonesia mampu di terangi
di kota saya juga sering byar pet kok mas
Deleteiya semoga ya bisa begitu
ternyata gitu.... tetep aja listrik tu peninggalan penjajah yak.... mau seberapa buruknya penjajah merampas harta2 kita, tetep aja ada hal positif yang bs diambil. wkwkwkwk... orang zaman dulu tuh pahalanya gede. udah mau jagain dan perjuangin negara kita. kalo enggak paling kita udah jadi orang setengah bule ya.... ahahahah
ReplyDeletedapet ilmu baru lagi ttg listrik. btw itu foto taman di tengah jalan ijen gak si. sekitar perpustakaan? ada kursi2 gt di tengah.. kok asyik sekali.. tapi panas ya
benar mas
Deletepenjajah jug meninggalkan warisan baik
harus dijaga
iya bener ini rame sekarang klo sore mpe malem
hahaha, ampun ampuun. ternyata begitu ya sejarah PLN di INdonesia. Kita kalau ada pemadaman langsung teriak-teriak kek kena apa.
ReplyDeleteSekarang kita udah hidup di zaman enak, tinggal menikmatinya aja. Tugas kita adalah menjaga dan merawat agar listrik tetap nyaman di negeri kita.
sepakat harus kita jaga dengan baik dan menggunakan listrik dengan hemat
Deletewuaduh, kumplit sekali infonya. terus terang selama ini tidak pernah memperhatikan soal sejarah PT PLN. Menarik juga mengetahui kisahnya di masa lalu. Proses nasionalisasi perusahaan Belanda di zaman Soekarno memang memiliki banyak dampak. Salah duanya adalah nama-nama asing harus di Indonesiakan, sampai musik-musik berbau bule tidak diperbolehkan
ReplyDeleteiya proses nasionalisasi memang berliku dan pelik
Deletedan harus berbau indonesia
perusahaan ANIEM, perjalanan yang penuh lika-liku. Berani menurunkan daya tarif listrik.
ReplyDeleteKapan kini PLN berani menurunkan daya tarifnya?
jangan hanya mengejar keuntungan belaka :)
lha ya bener kapan ya mas
DeleteTernyata ini gardu listrik ya mas hahahaha tak kira pos penjagaan waktu zaman belanda ....ternyata...itu toh ...abis di bondowoso banyak gedung seperti ini
ReplyDeletesaya sangat malu, bagaimana tidak, sebagai pengguna listrik 24 jam saya baru tahu sejarah asal muasal nya PLN mas...mulai sekarang saya sangat bertrimakasi sama PLN
Deleteiya ini sejarahnya dan gardunya mas
Deletemakanya harus hemat listrik ya hehe