Patung Ken Dedes, beberapa meter dari pemandian maha spektakuler HAWAI WATERPARK |
Patung Ken Dedes menjadi salah satu ikon yang berada di pintu gerbang Kota Malang.
Pemilihan Ken Dedes sebagai sosok pembuka pintu gerbang Kota Malang dari arah utara bukanlah kebetulan semata. Jejaknya sudah diketahui banyak orang bahwa ia adalah istri dari Tunggul Ametung, akuwu kerajaan kecil bernama Tumapel dan kemudian direbut dan dipersunting oleh Ken Arok, sosok “penjahat” yang ternyata dipuja banyak warga Malang sebagai “pahlawan”. Namun, banyak yang belum tahu, tak jauh dari patung Ken Dedes yang seakan memberi ucapan selamat datang di Kota Malang ini, ia benar-benar terekam jejak sejarahnya.
Sang Ratu Singosari itu lahir dan besar di sebuah tempat bernama Polowijen. Saat ini, Polowijen merupakan salah satu kelurahan di ujung utara Kota Malang. Persisnya, di sebelah barat fly over Arjosari yang kini sudah tampak indah dengan cat warna-warninya.
Keindahan Fly Over Arjosari didampingi Sekolah Adiwiyata, SDN Polowijen I di bawahnya |
Hikayat Desa Subur Polowijen
Alkisah, pada zaman dahulu kala, tersebutlah sebuah daerah yang sangat subur bernama Panawijyan. Sekitar abad ke-10 Masehi, desa ini tercatat sebagai sebuah desa yang sangat subur dengan potensi sumber daya alamnya. Sesuai dengan isi Prasasti Kanyuruhan B (bertarikh saka 865/ 945 M) yang dikeluarkan oleh Mpu Sendok, Panawijyan adalah daerah subur dengan banyak bangunan suci.
Bangunan suci tersebut menurut ahli sejarah dan arkeologi diperuntukkan untuk sang Hyang Kagotran atau sang Hyang Kaswangga. Sayang, hingga kini belum jelas mengenai keberadaan dan detail lengkap bangunan suci tersebut.
Perkampungan di Kelurahan Polowijen dengan latar Gunung Arjuna |
Tak hanya bangunan suci, di dalam Prasasti Kanyuruhan B juga disebutkan pembagian sima sawah yang ada di Panawijyan. Namun, yang cukup menarik perhatian adalah tempat ini pernah dijadikan semacam pusat pembelajaran yang disebut sebagai “mandalakadewagurwan”. Artinya, sebenarnya Polowijen sudah menjadi sebuah peradaban yang cukup besar pada saat perpindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Lagi-lagi, belum jelas agama apa yang dipelajari di dalam tempat pembelajaran tersebut : Hindu ataukah Buddha?
Ada sebuah informasi dari warga sekitar bahwa pernah terdapat peninggalan yang cukup banyak berupa arca-arca batu berlatar agama Hindu. Sayang, untuk kesekian kali, jejak arca-arca tersebut tidak ada sehingga tak diketahui masa dari arca-arca tersebut. Namun, bila berkenaan dengan parahyangan atau guru bhakti yang disebut dalam sima sawah tadi, maka arca tersebut merupakan bagian dari bangunan suci berlatar agama Hindu.
Dugaan ini memberi dasar bahwa di Panawijen/Panawijyan sempat terjadi perpindahan pada keyakinan warga dari Hindu menjadi Buddha. Hal ini sesuai dengan informasi yang tercantum dalam Kitab Pararaton. Konon, dikisahkan bahwa di sana telah tinggal sebuah komunitas Mahayana Buddhisme yang dipimpin oleh Mpu Purwa.
Sosok Mpu Purwa yang begitu dihormati
Nah, Mpu Purwa inilah yang merupakan ayah dari Ken Dedes. Ia disebut sebagai seorang boddhastapaka yang berarti pendiri patung, pemimpin upacara agama, dan pemimpin penjaga candi yang kini belum diketahui keberadaanya. Maka, peran Mpu Purwa di masyarakat sangatlah besar dan dihormati.
“Kemudian adalah seorang bhujangga pemeluk agama Buddha (bhujangga boddhastapaka), menganut aliran Mahayana, bertugas di ksatrenya orang Panawijen, bernama Pu Purwa. Ia mempunyai seorang anak perempuan tunggal, pada waktu itu ia belum menjadi pendeta Mahayana. Anak perempuan itu luar biasa cantik molek bernama Ken Dedes. Dikabarkan bahwa ia ayu, tak ada yang menyamai kecantikannya. Termasyhur di sebelah timur Gunung Kawi sampai Tumapel.”
Ken Dedes dibawa lari oleh Tunggul Ametung
Diorama pelarian Ken Dedes oleh Tunggul Ametung di salah satu bagian Museum Mpu Purwa |
Mengetahui putri tunggalnya dibawa lari, Mpu Purwa sangat marah. Ayah mana yang tak kuasa putri tercintanya begitu saja dibawa orang. Ia juga tak habis pikir, mengapa orang-orang di desanya tak bisa mencegah tindakan Tunggul Ametung. Akhirnya ia mengutuk sang pria yang lancang membawa putrinya beserta penduduk Desa Panawijen yang mendiamkannya. Kutukan itu berbunyi :
“Nah, semoga yang melarikan anakku tidak lanjut mengenyam kenikmatan, semoga ia ditusuk dan diambil istrinya. Demikian pula orang-orang di Panawijen ini. Moga menjadi kering tempat mereka mengambil air, semoga tak keluar air kolamnya ini (beji). Dosanya : mereka tak mau memberi tahu bahwa anakku dilarikan dengan paksaan.”
Diorama yang mengisahkan Mpu Purwa mengutuk masayarakat Polowijen yang tak akan lagi memiliki sumber air berlimpah akibat ulah mereka yang membiarkan kezaliman terjadi. |
Bukti kutukan Mpu Purwa
Kutukan-kutukan tersebut akhirnya terbukti. Kutukan pertama dibuktikan dengan terbunuhnya Tunggul Ametung oleh Ken Arok yang menggunakan keris Mpu Gandring (walau kisah ini masih mengandung kontroversi).
Kisah acara bunuh-bunuhan ini berlangsung hingga beberapa keturunan. Kutukan kedua, meski belum ada sumber yang mengatakan sumber air di desa tersebut kering, namun ada sebuah mitos menegnai larangan mengambil barang apa saja di Kali Mewek.
Kali yang berarti tangisan Ken Dedes saat dibawa lari Tunggul Ametung ini berada di bagian barat Polowijen dan hingga kini masih dipercaya akan kekeramatannya secara turun-temurun. Kali tersebut masih dianggap angker oleh penduduk sekitar.
Tak hanya dilintasi jalan raya, Polowijen juga dibelah jalur rel KA yang menghubungkan Malang dengan Surabaya. Rel KA ini melewati Kali Mewek yang berdekatan dengan perumahan elit, Riverside. |
Meski mendapat kutukan, Panawijen masih menyimpan peninggalan lain berupa sendang (sumber air) bernama Sendang Dedes. Tak hanya itu, beberapa kali warga juga menemukan saluran bawah tanah dari Sendang Dedes menuju persawahan di lembah Kali Mewek. Konon, saluran ini digunakan untuk pengairan sawah yang disebut dengan suwak.
Polowijen tanah kelahiran Tari Topeng Malangan
Tak hanya berupa cerita asal Ken Dedes, Polowijen juga menjadi tanah kelahiran Tari Topeng Malangan yang melegenda. Di Polowijen terdapat makam Mbah Reni, seorang maestro Tari Topeng Malang dan anaknya yang bernama Mbok Bundari.
Maka dari itu, Polowijen telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Malang
sebagai Kampung Budaya sejak 2 April 2017 kemarin. Fly over Arjosari
yang memagari Polowijen di sisi timur kini telah berbalut aneka gambar
topeng yang memiliki karakter khas masing-masing.
Karakter topeng pada tiang Flyover Arjosari |
Jangan tanya sawah, kini Polowijen sudah penuh dengan rumah |
Tal hanya rumah, ruko dan aneka tempat usaha memenuhi Polowijen di 2017 ini |
Polowijen pun berkembang menjadi gerbang kemajuan Kota Malang. Sayang, konflik perebutan kecantikan Polowijen masih berlangsung hingga kini. Bukan perebutan kecentikan Ken Dedes ataupun kesuburan daerahnya karena daerah ini sudah menjadi pemukiman dan kawasan ekonomi yang strategis.
Konflik antara transportasi konvensional dan transportasi online-lah yang menjadi akar konflik di sekitar Polowijen ini meski warganya baik-baik saja. Konflik itu terus berlangsung memperebutkan ribuan penumpang yang masuk ke Kota Malang.
Fly over Arjosari dan daerah sekitarnya yang sering menjadi arena rebutan penumpang. |
Itulah sedikit kisah Polowijen, desa subur tempat lahirnya Ken Dedes. Pembuka gerbang Kota Malang.
Sumber :
Luar jaringan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang : Disbupar Kota Malang.
Dalam jaringan
(1) (2) (3) (4)
Tags
Sejarah
Jangankan di daerah Malang, di daerahku, Purworejo, sawah yang dulu masih lumayan banyak, sekarang juga udah mulai berkurang buat dijadiin ruko-ruko gitu. Kadang mikir, sebegitu banyaknya kah manusia di pulau ini, sampai-sampai lahan yang fungsi utamanya untuk bercocok tanam sekarang hilang untuk perumahan :(
ReplyDeleteiya mas makanya sempat ada idiom Malang Ijo Ruko-Ruko
DeleteCeritanya sungguh menarik, wanita cantik dibawa lari hanya karena tidak kuat dan tidak tahan melihat kemolekannya. Oh ken dedes, jika kau hidup djaman sekarang, pastinya sayalah yang akan membawa lari dan akan saya persunting. Patung yang ada di diorama tampak hidup sekali, sungguh luar biasa.
ReplyDeleteNanti dioramanya terpampang wajah mas djangkaru kalo yang nyulik ken dedes njenengan...
Deleteapa mau di flash back di tahun 1200an mas djangkaru? hehehe
Deletekisah cintanya ken dedes menarik, bahkan pram pun menuliskannya dalam bukunya yang arok dedes..
ReplyDeletehehe
wih desa suburnya udah keliatan ngotani loh mas..kayaknya lebih keliatan subur sama beton bukan sama padinya hehee
kisahnya di buku pram memang juara
Deletetpai benar, sekarang udah ngotani, meski di pinggir banget
Masih inget banget gue itu cerita Ken Arok yang merebut Ken Dedes. Keris Mpu Gandring akhirnya ngebunuh Ken Arok juga kan, ya? Kerisnya haus darah. Anaknya Tunggul Ametung balas dendam gitu lagi. Ya, pokoknya seperti yang tertulis. Sampai beberapa keturunan masih berlanjut.
ReplyDeleteDan gue baru tahu kalau Tunggul Ametung sempet bawa kabur Ken Dedes dan nggak nungguin si Mpu Purwa. Di buku sejarah dulu kayaknya nggak ada. Atau gue udah lupa. Wahaha.
Gue ngelihat Djakarta Tempo Doeloe aja gimana gitu. Setiap kota sudah banyak berubah. :)
itu ceritanya legend banget ya mas
Deleteini gaka da emang di buku sejarah umum
jakarta bagus sih mas menurutku museum kota tuanya
belum pernah ke sana soalnya, hehe
Kalau denger nama Ken Dedes pasti inget Nama Ken Arok,, terus keris empu gandring,, soalnya dulu sering liar filmnya hheheh
ReplyDeletempu gandring juga nyumpahin ken arok
DeleteNama Ken Dedes berarti sangat melegenda di malang maupun jawa timur pada masa itu.
ReplyDeleteKok gak ngeh ya patungnya, pdhl sering lewat bawah flyover arjosari.
iya mas ngehits
Deleteini dekete Hawai, habis patok batas Kota dan Kabupaten
Perumahan gw!!! Trus kali mewek e seng ndi mas? Bukan yg ada didalem riverside kan??
ReplyDeleteTrus trus itu kamu dioramanya liat dimana? Ada tempat khusus di Malang?
harah mbak
Deleteini sungainya ya di rver side
namanya river side kan maksudnya kali mewek, heuheu
yang di bawah jembatan KA itu lo
dioramanya di museum mpu purwa suhat
tapi museumnnya belum jadi, bagus2 dioramanya
Aku dulu hafal di luar kepala lho kisah dan nama2 silsilah raja2 Singosari. Jadi kalau pelajaran sejarah gak ambil pusing. Patungnya Ken Dedes pun sudah pernah lihat waktu ada pameran di Jakarta :)
ReplyDeleteaku juga hafal mas
Deletetapi belum pernah liat yg di jakarta
Legenda yg bermuara dari kisah "mengambil tanpa izin" berakhir dengan tragedi berdarah berketurunan....tragis tapi jadi pembelajaran bagi generasi selanjutnya
ReplyDeleteiya mas tragis bgt kisah singosari ini
Deleteastaga.... ini lokasi mah tempat lalu lalang dulu kalo pas kuliah dulu.. daerah polowijen juga masih rumah temenku sih. ahahaahha....udah ada muralnya juga... warna warni,,,,
ReplyDeletejadi kangen Malang. btw Desember aku ada rencana ke Malang sih...
eh mas ikrom kalo komen di blog orang pake name dan url aja.... jadi backlink ituh dan gampang bw baliknya... :)
lo kuiiah di malang dulu
Deletewah ayo main mas, hubungi aku
hehehe iy tar aku pakai url aja, keburu sih hihi
pengin juga diulas tentang pemandian yang ada di sana. candi mendut atau apa gitu, lupa aku, padahal penasaran banget :D
ReplyDeletecandi sumberawan mbak sama pemandian ken dedes
Deleteklo candi mendut kan di jawa tengah hehe
Baru tahu tentang ayah ken dedes. Ternyata itulah mengapa tunggul ametung bernasib sial, dia kena kutuk. Lagian gak bikah baik2 sih. Kasihan akhirnya 7 keturunannya juga kena apes. Eh keturunan ken arok sih itu ya
ReplyDeleteiya mbak MPu purwa ayahnya Ken Dedes
Deletemenurut cerita seperti itu
Selalu suka bacanya neh mas. Jadi tahu kisah ken dedes.
ReplyDeleteterima kasih mbak liswanti
DeleteKok malah jd kepo dh legenda tari mbok reni aku mas, maybe kpn2 diulas. Cz klo uda ada bahasan tari tradisional aku suka nganalisa kisah di baliknya, soalnya ada kesan magis di tari topengnya
ReplyDeleteusul diterima
Deletesudah ada draft tapi amsih 10-20%
harus banyak sumber mbak, semoga bisa segera rampung
Tiap mampir ke Blog ini aku bisa ngeliat dan tahu perkembangan Malang sekarang, udah super maju banget dan pesat sekali perkembangannya. Ntar aku mau maen ke Malang lagi dah kapan kapan
ReplyDeleteiya mas, yuk segera pulkam ke Malang
DeleteMasih menyisakan konflik ya
ReplyDeletelain konflik di masa lalu
konflik di era digital hehe
asyik baca ulasannya
konflik khas kota besar mbak
Deletehehe terimakasih mbak sudah mampir
Ya..ampun kangen sekali Saya sama kota Malang. Selalu suka sama latar sebuah tempat yg punya cerita legenda
ReplyDeletehayuk ke Malang
DeleteDekat banget dengan kantorku, tapi aku baru tahu tentang sejarahnya nih mas :)
ReplyDeleteNice post~
oh iya, kantornya mbak winda di arjosari ya
Deleteterimakasih mbak sudah mampir