Ponpes Al-Munawir yang hanya berada beberapa meter dari Panggung Krapyak. Jogja juga masih memiliki banyak pondok pesantren hingga sekarang. |
Sekolah model barat atau formal di Yogyakarta sebenarnya sudah ada sebelum abad ke-20.
Sejarah mencatat, keinginan untuk menimba ilmu secara formal atau lazim disebut mengikuti model barat secara masif mulai tampak ketika adanya usaha untuk melakukan kegiatan
sertifikasi bagi pejabat di lingkungan Keraton Yogyakarta. Sultan mewajibkan
setiap pejabat keraton harus memiliki sertifikat dari sebuah lembaga
pendidikan.
Sekolah pertama di lingkungan keraton
Maka, didirikanlah sebuah sekolah di pendopo keraton yang bernama
Srimanganti pada tahun 1890. Sebenarnya, sekolah di Srimanganti bukanlah
sekolah pertama di Yogyakarta. Jauh sebelum itu, pada pertengahan 1832, sekolah
dengan model Barat didirikan oleh tentara Belanda. Namun, sekolah tersebut tak
berkembang lantaran kurangnya kompetensi guru kala itu.
Sekolah di lingkungan keraton tersebut pada mulanya hanya
berjumlah sekitar 100 murid. Itupun pasti hanya dari kalangan bangsawan yang
boleh bersekolah di sana. Seiring berjalannya waktu, sekolah tersebut
membuka kesempatan bagi para anak abdi dalem untuk bisa bersekolah di sana.
Kemunculan sekolah kaum partikelir
Semenjak pendirian sekolah di dalam keraton, mulai muncul
sekolah-sekolah bagi kaum partikelir lain di luar keraton. Beberapa diantaranya
didirikan di daerah Kalasan, Kejambon, Wonogiri, Bantul, Kreteg, Sleman, dan
Godean. Yang unik, pendirian sekolah tersebut disponsori oleh dua pihak, yakni
Pemerintah Kolonial dan Kesultanan Yogyakarta.
Pemerintah Kolonial membantu
pengadaan kayu bangunan dan kapur tulis, sedangkan Kesultanan membantu
pendanaan untuk kegiatan operasional lainnya. Dengan adanya pembukaan di
sekolah-sekolah baru tersebut, maka jumlah murid di Jogja mulai meningkat sejak
tahun 1891. Penambahan gedung pun dilakukan.
Minat untuk menimba ilmu di Kota Gudeg terus bertambah secara signifikan tampak
pada kurun 1898-1905 atau pada penghabisan abad ke-19. Dengan kenaikan jumlah
murid yang semakin tinggi, pemerintah kemudian membuak Tweede Klasse Scholen di Mergoyasan, Jetis, Ngabean, Pakualaman,
dan Gading. Selain itu, di daerah Wates pun juga didirikan sebagai sekolah
pertama model tersebut di luar ibukota.
Perlahan tapi pasti, sekolah demi sekolah didirikan. Tak
hanya di ibukota, namun juga di Gunung Kidul, Sleman, Bantul, dan Kulon Progo.
Mengingat masih menjadi permulaan, sekolah-sekolah tersebut hanya mengajarkan
calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Setelah bergulirnya waktu,
didirikanlah sekolah untuk latihan calon guru yang bernama “sekolah extern”.
Lulusan dari sekolah tersebut diharapkan mampu untuk mendidik kembali para
murid baru yang akan menimba ilmu. Guru-guru pada waktu itu digaji sekitar fl
15,00. Sedangkan bagi calon guru yang belum mendapat sertifikat digaji
separuhnya.
Gedung SMP Negeri 5 yang berada di bundaran Stadion Kridosono. Gedung ini termasuk cagar budaya yang dilindungi. |
Kaum priyayi rendah mulai menyekolahkan anaknya
Lambat laun, anak dari kalangan priyayi rendahan seperti
abdi dalem mulai banyak yang bersekolah. Meskipun, tak semua dari anak-anak
tersebut dapat bersekolah. Hal ini disebabkan karena selain masih kurangnya
jumlah sekolah, para orang tua belum menyadari pentingnya manfaat pendidikan
dan lebih memilih menyuruh anaknya untuk membantu mereka bekerja di rumah atau
kebun.
Kegiatan pembelajaran model barat semakin berkembang ketika
digulirkannya program pemberantasan buta huruf. Program ini membuat banyak
sekolah ABC didirikan, yang tentunya menyasar para bangsawan dan abdi dalem.
Para lulusan sekolah ABC ini akan mendapat sebuah ijazah dengan nomor induk.
Persepsi masyarakat terhadap pendidikan pun mulai bertambah. Mereka mulai
beranggapan, dengan bersekolah, setidaknya status sosial mereka di masyarakat
bisa naik dibandingkan tak bersekolah.
Sekolah swasta bermunculan dengan ciri khas masing-masing
Tak hanya dari pemerintah kolonial dan kesultanan, pihak
swasta juga membuka sekolah-sekolah yang berciri khas masing-masing. Maka, di
era 1920-1930 mulai muncul sekolah-sekolah yang berlatar belakang agama
tertentu, semisal sekolah Muhammadiyah, sekolah kristen, dan sekolah Katholik.
Lorong menuju SD Muhammadiyah Kauman. Sekolah terakreditasi A ini berada dekat dengan Masjid Kauman, Keraton Jogja dan tepat di depan kompleks makam Nyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. |
Sepuluh tahun
setelah Muhammadiyah berdiri dengan sekolah-sekolahnya, lahirlah organisasi pendidikan Taman Siswa di Yogyakarta.
Taman Siswa muncul sebagai reaksi dari model pengajaran barat.
Baca juga: Rekomendasi Lima Cerita Anak TVRI
Dasar
penyelenggaraan pendidikan Taman Siswa didasarkan pada kebudayaan sendiri dan
kebudayaan asing yang berguna bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Pada
tahun 1924, Taman Siswa baru tercatat dalam data statistik pengjaran di
Yogyakarta dengan jumlah murid 38 orang dan 17 guru.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah juga mencetak mental para siswanya. Melalui kegiatan Milad Tapak Suci di Alun-Alun Utara ini, mereka bersiap untuk menjadi genarasi emas Indonesia. |
Meskipun banyak
sekolah yang sudah berdiri, hanya sekolah yang didirikan pemerintah saja yang banyak diminati oleh
masyarakat di Yogyakarta. Hal ini karena kurikulum di sekolah – sekolah
pemerintah dianggap lebih sesuai dalam perkembangan zaman.
Meskipun jumlah
sekolah yang didirikan pemerintah saat itu berjumlah 278 buah, tetap saja jumlah tersebut
tidak mencukupi untuk menampung jumlah murid yang tidak mendapat tempat. Maka
hal inilah yang dimanfaatkan golongan Mason,salah satu paham yang banyak bergerak di bidang sosial untuk membentuk lembaga yang bernama
Neutrale Onderwijs Stichting.
Beberapa siswa les penulis sedang berpose di depan sekolahnya, SMA Negeri 11 Yogyakarta. Bisa bersekolah dan menimba ilmu di Kota Jogja adalah sebuah kebanggaan. |
Lembaga inilah yang nantinya akan mendirikan
sekolah – sekolah netral (tidak berpijak pada agama). Sekolah netral
mendapat perhatian dari masyarakat Yogyakarta karena Bahasa Belanda dijadikan
salah satu mata pelajaran dan bahasa pengantar di sekolah ini.
Sesuai dengan namanya, sekolah netral tidak memberikan pelajaran agama
tertentu kepada murid – muridnya. Dalam menerima siswa, mereka memperbolehkan siswa berasal dari agama apapun. Tujuan pengajaran hanya untuk memberikan ilmu
pengetahuan.
Walaupun sekolah-sekolah pionir di Jogja menggunakan tradisi pengajaran
barat, namun mereka tidak mengabaikan pendidikan yang bersifat Indonesia.
Sistem model pengajaran barat dirasa penting untuk mengikuti perkembangan
zaman. Dengan mengikuti arus tersebut, maka pendidikan model ini sangat
berharga bagi rakyat Indonesia, terutama dalam pergerakan melawan penjajah.
Sumber :
Luar Jaringan
Suryomihardjo, A. Kota Yogyakarta Tempo Doeloe : Sejarah Sosial 1880-1830. Depok : Komunitas Bambu.
Dalam Jaringan
(1)
Tags
Sejarah
Suka dengan tulisan mas ikrom, menyajikan cerita sejarah yang menarik untuk disimak....
ReplyDeletesilahkan disimak
Deletemelihat sekolah sekarang bagaimana saya jadi kepikiran kenapa kita harus berseragam, sepatu, disiplin, formal, banyak tugas, sistem nilai, sepertinya karena berawal dari meniru sistem model barat..dan sebagai mantan pelajar, saya masih merasa bahwa model sekolah yang seperti itu kurang efektif buat orang-orang Indonesia..justru malah membuat tertekan.
ReplyDeleteheheehe spakat
Deletecuma ya mau gimana lagi
Nah aku baru tahu kalau yang pengajaran barat ini mas. Tulisan yang keren
ReplyDeleteiya mbak trims
DeleteMakanya yogya kan dikasih julukan kota pelajar, di tempatku sendiri di Pangandaran sudah berdiri sebuah sekolah Multikultural, semua agama bisa sekolah disitu,didirkan oleh para pemuda, awalnya sih ditentang oleh banyak masyarakat tapi sekarang sudah bisa berjalan dengan baik...
ReplyDeleteini sih asyiknya jogja
DeleteAku selalu pengen tinggal di jogja. Asik kayaknya. Ngangenin banget kota ini. Dah gitu, masyarakatnya ramah banget, gak kayak di jakarta rata-rata pada jutek. Nyebelin. Tapi sekolah ini bagus juga yah... Mayan nih buat rekomendasi nanti kalo aku dah punya anak...
ReplyDeletewah iya semoga keinginannya terkabul mbak
DeleteOh seperti itu ternyata cerita sejarah kota pendidikan Jogja. Tapi yang saya tanyakan adopsi model barat yang mana yang dikembangkan oleh sekolah-sekolah tersebut karena model barat banyak sekali jenisnya. Contohnya model belanda, jerman dan finand saja sudah berbeda, apalagi amerika ? :D..Mungkin Belanda ya :D
ReplyDeleteberhubung kita dijajah belanda ya model belanda mbak
Deletebahasanya kan bahasa belanda
secara umum ya disebut model barat karena sekolah belanda, menurut literasi yg saya baca saat itu masih bisa disamakan dengan model jerman, inggris, meski ada pula bedanya dan pengaruhnya antara satu model dengan model lainnya
kalau sekarang ya beda antara model2 itu
lorongnya keliatan banget kalau itu sekolah udah lama yaa
ReplyDeletepaparan sejarah di tiap postingan mas ikrom ini selalu bikin sha takjub :)
iya mbak ngeri ya
Deleteterima kasih