Mengenal Gaya Bangunan di Jalan Rajawali, Denyut Nadi Kejayaan Kota Bawah Surabaya

Mengenang susah hati patah
ingat jaman berpisah
Kekasih pergi sehingga kini
belum kembali




Saya mendendangkan lagu ini ketika kaki saya menyusuri jalan setapak di Jembatan Merah. Rekan-rekan yang baru dari kondangan meminta berhenti sejenak di Taman Sejarah yang terletak tak jauh dari sana. Saya tak tertarik dan memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di Jalan Rajawali. Sebuah jalan di sisi barat Jembatan Merah.

Sayang rasanya sudah jauh-jauh ke Surabaya kalau tak mampir dan menikmati keindahan arsitektur di pusat kota lama Surabaya yang lebih dikenal dengan kawasan Surabaya Bawah. Kawasan ini merupakan kawasan pusat peradaban pertama Kota Surabaya untuk menjadi kota modern yang maju.

Jejak sejarah Kota Bawah Surabaya mulai berkembang sejak akhir abad ke-19. Lokasinya berada di kawasan Kembang Jepun, Ampel, dan Jalan Rajawali/Veteran. Kehadiran berbagai bangunan yang didirikan dalam periode berbeda, antara tahun 1870 sampai 1940an membuat pusat kota lama ini memiliki karakter yang khas.

Dimulai pada 11 November 1743, sebuah perjanjian antara Gubernur Jendral Belanda van Imhoff dengan Raja Mataram Pakubuwono II ditandatangani. Perjanjian ini berisi penyerahan penuh kedaulatan daerah Surabaya dari Mataram. Akibat perjanjian ini, VOC mendapat keleluasaan penuh untuk membangun Surabaya. Kesempatan ini tidak disia-siakan Belanda untuk membangun berbagai bangunan yang mendukung kegiatannya. Pada awalnya, sebuah tembok kota dan kanal yang mengelilingi pusat kota di kawasan tersebut dibangun terlebih dahulu.

Selanjutnya, pembangunan kawasan ini diatur dalam undang-undang Wijkenstelsel tahun 1843.  Pembangunan kota dibagi atas beberapa bagian yang dibatasi oleh Jembatan Merah. Bagian sisi timur Jembatan Merah diperuntukkan untuk masyarakat Tionghoa dan Arab, serta pribumi yang tersebar merata. Maka, saat ini kita mengenal daerah Kembang Jepun yang merupakan kawasan Pecinan Surabaya dan kawasan Ampel yang merupakan kawasan Kampung Arab. Tentunya, termasuk pula beberapa kampung masyarakat pribumi di gang-gang sempit yang saya datangi untuk acara kondangan.
Baca Juga : Kisah Kauman, Cerminan Toleransi Umat Beragama di Pusat Kota Malang
Pemukiman di Jalan Dukuh, sisi timur Jembatan Merah yang diperuntukkan bagi orang Tionghoa, Arab, dan Pribumi. Tampak samar-samar Klenteng Hong Tik Hian.
Nah, bagian barat dari Jembatan Merah ini dikhususkan bagi permukiman orang Eropa, diantaranya kantor dagang dan pemerintahan Belanda. Perkantoran ini umumnya dibangun antara tahun 1870-an hingga 1930-an. Terletak di sisi kanan dan kiri jalan, pola perkantoran ini mengikuti pola penataan kota di Belanda. Tak heran, banyak bangunan dengan arsitektur Belanda memenuhi Jalan Rajawali, yang berada di bagian barat Jembatan Merah.

Jalan Rajawali dengan bangunan yang menjulang
Yang unik, secara garis besar, bentuk bangunan di kawasan tersebut terbagi menjadi 4 macam gaya. Pembagian tersebut berdasarkan periode pembangunannya. Empat periode tersebut antara lain Indische Empire Style, Khas Belanda, Ekletisisme, dan De Amsterdam School.

Gaya Indische Empire Style sudah tak ditemukan lagi di Jalan Rajawali ini karena inti gaya ini adalah adanya halaman yang luas. Gedung Balaikota lama yang disebut-sebut berada di jalan ini mengikuti gaya arsitek klasik tersebut. Sayang, gedung bekas balaikota lama ini sudah sirna, tak berbekas. Hanya sebuah rumah yang berada di Jalan Sikatan, yang terletak beberapa ratus meter di sebelah selatan Jalan Rajawali masih menggunakan gaya Empire ini. Berhubung panas terik menyerang, saya tak mampu untuk sekedar berjalan di jalan itu. Contoh bangunan di Surabaya yang memiliki gaya ini adalah Gedung Negara Grahadi, pusat pemeritahan Provinsi Jawa Timur. Gedung ini memiliki beranda dengan proporsi klasik yang berakar pada arsitektur Jawa. Teras dibangun sedemikian rupa menyesuaikan kondisi iklim Surabaya yang panas. Gedung dan bangunan gaya ini biasanya dibangun pada periode antara tahun 1870 hingga 1900.

Gedung Grahadi, dengan gaya Empire
Perkembangan ekonomi pada awal abad ke-20 yang semakin maju akibat dampak revolusi industri membuat pembangunan berbagai macam usaha terus dilakukan. Termasuk, di kawasan Jalan Rajawali ini. Pabrik, bank, kantor asuransi, rumah sakit, hingga sekolah pun didirikan. Pembangunan bangunan-bangunan tersebut juga turut dimotori oleh arsitek profesional lulusan Belanda. Diantaranya adalah M. J. Hulswit, Ed Cuypers, dan Prof. W. Lemei. Tangan-tangan arsitek itu memberi pengaruh bangunan Gaya Belanda di Jalan Rajawali. Penggunaan gavel, dormer (jendela di atap), dan menara yang menyatu pada gedung berbentuk segi empat dan ramping dengan atap lancip pendek menjadi ciri khasnya. Contoh bangunan Gaya Belanda di Jalan Rajawali ini cukup banyak. Diantaranya adalah kantor PTPN X dan Kantor Bank Mandiri. Contoh lain dari gaya ini adalah bangunan Bank Jatim dan SMP Negeri 5 Surabaya. Gedung dan bangunan Gaya Belanda ini dibangun antara tahun 1900 hingga 1910.

Kantor BNI 46
Kacapem Bank Jatim Rajawali. Perhatikan jendela di bagian atapnya. Ciri Khas Gaya Belanda,
Bank Mandiri, yang sedang dicat oleh salah seorang pekerja
Perkembangan selanjutnya, pada kurun waktu tahun 1910 hingga 1925, banyak gedung yang dirancang dengan gaya eklektisisme. Gaya bangunanini berupa bangunan satu lantai yang memiliki menara ringan dan lubang ventilasi. Yang khas dari bangunan  ini adalah penggunaan elemen-elemen berbagai gaya secara bebas. Artinya, ada penggabungan antara unsur klasik dan  modern. Contoh dari gaya bangunan ini adalah sebuah gedung ekspedisi, bekas gedung PPN di sebelah timur BRI yang memiliki ukiran khas jawa di bagian kanopinya.
Ukiran jawa di kanopi.
Gaya terakhir adalah Gaya De Amsterdam School. Gaya ini memiliki kekuatan garis-garis horizontal yang ditata sedemikian rupa sehingga tampak tegas bersatu dengan elemen vertikal. Artinya, penataan pintu dan jendela dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk sudut siku-siku yang hampir sempurna. Penggunaan gaya ini banyak dipakai pada akhir masa pendudukan Belanda, yakni antara tahun 1925 hingga kedatangan Jepang tahun 1942. Contoh dari bangunan ini adalah kantor PTPN XII yang berada di bagian utara Jalan Rajawali.
Gedung PTPN XII (sebelah kiri) dengan sudut siku-siku pada jendela dan pintu yang paripurna
Sayang, karakter khas bangunan di Jalan Rajawali yang merupakan pusat kota bawah Surabaya harus berkonflik dengan pembangunan gedung baru. Ledakan properti di tahun 1990 membuat banyak bangunan yang berganti dengan bangunan modern. Bank BRI adalah contohnya. Tak hanya itu, perawatan bangunan tua di Jalan Rajawali juga belum maksimal, tak seperti di Jalan Tunjungan yang sudah mengalami restorasi. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, keberadaan kawasan ini lebih dahulu ada sebelum perkembangan berlanjut ke Jalan Tunjungan yang lebih dikenal sebagai  kota atas.
Baca Juga : Menikmati Restorasi Jalan Tunjungan, Menikmati Sisa Guyubnya Orang Surabaya
Kusam
Tak terawat

Penuh coretan
Jika tak mampu mengimbangi arus zaman, akan seperti kamera film yang termakan zaman
Jembatan merah sungguh indah
berpagar gedung megah
Sepanjang hari yang melintasi
silih berganti

Jembatan Merah yang berpagar gedung indah. Sayang jika keindahan gedung-gedung itu sirna
Memang, gedung-gedung kuno di sisi barat Jembatan Merah ini sangat megah. Tapi, apakah kemegahannya akan tetap eksis atau akan berganti kemegahan gedung baru? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

Sumber :
Luar jaringan
Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Colombijen, F, dkk. 2005. Kota Lama, Kota Baru. Sejarah Kota-kota di Indonesia Sebelum dan Setelah Kemerdekaan.  Yogyakarta : Perbit Ombak.
Dalam jaringan
(1) (2) 



41 Comments

  1. BW mas, wah mantap ya...kaya balik ke tahun 70 han, apalagi di tambahlagu jadoel. mantap

    ReplyDelete
  2. mirkisip banget saya bisa jalan-jalan menikmati arsitek Londo yang masih terawat asri di seputar Jembatan Merah sambil diiringi lagu nan indah merdu rasane

    ReplyDelete
  3. Pas ke Surabaya ga ngeh deh sama gedung-gedung bangunannya hehehe..waktu itu karena uda kecapean dari pasuruan ke gubeng yang lumayan jauh makanya jadi tidur di mobil terus..tapi memang pembangunan peninggalan Belanda punya ciri khas khusus serta kokoh bangunannya y dulu di kampung sodara menempati rumah khas bergaya Belanda jendelanya besar-besar bikin serem tapi buat aku sih :p

    ReplyDelete
  4. di jalan asia afrika bandung juga mirip2 kayak gini, mas. banyak gedung warisan londo dan ada batu2 bulatnya gitu benamakan negara2 di wilayah asia afrika. bagus ya, dan patut dilestarikan ^^

    ReplyDelete
  5. beberapa kali lewat sini, yg keliatan menonjol hotel ibis itu.

    ReplyDelete
  6. Aku belum sama sekali ke Surabaya. Pengen kesana, semoga kesampaian.
    Oh, ya, Mas. Foto2 diiatas ko rasanya begitu enak kalau buat gowes, terlihat suasanya yang sepi..

    Batu-batu bulatnya seperti di Jogja n Bandung mas..

    ReplyDelete
    Replies
    1. yuk ke surabaya mas
      banyak bulat2an di sini
      buat gowes juga asyik

      Delete
    2. sepanjang jalan protokol, banyak dipasang batu2 bulat itu mas
      yuk ke surabaya mas, buat gowes asyik lho

      Delete
    3. Pengen, Mas, semoga kesampaian .. :)

      Delete
  7. semoga gedung-gedung tersebut selalu terawat dan tidak digantikan oleh arsitektur modern. sayang sekali, karena unik dan bernilai sejarah... betewe pilihan aransemen lagu jembatan merahnya klop sama artikelnya...asik..

    ReplyDelete
  8. Semoga jembatan merah
    Gedung-gedung megah
    Tetap terjaga indah
    Agar awet dan tidak musnah

    ReplyDelete
  9. Di kampung halaman saya juga ada kang Jembatan Merah, di kota tapi di Bogor.. saya juga suka nyanyi lagu yang diatas itu.. suka terkenang masa lalu kalau lewat JM saat masih SD...

    ReplyDelete
  10. jieeeeeeer, mantap bener time machine banget ini pastingan. :D wakkakak musiknya itu lho.... jadi inget umur dah

    ReplyDelete
  11. Bangunan tempoe doeloe yang musti kita jaga... Sbg warisan budaya....

    ReplyDelete
  12. pernah lewat kesana dan serasa seperti jaman dulu,,,semoga bisa kesana lagi nanti.

    salam dari bandung

    ReplyDelete
  13. sha tinggal di kabupaten bandung, sekarang bahkan di kabupaten dah ada apartemen! di gunung dah ada perumahan.. sampe takjub. wkwk

    gedung-gedung terus menggerogoti tanah indonesia.

    sha terkahir ke surabaya jaman sd, liat gedungnya kok kaya di "pause" ga berubah dari jaman itu..

    ReplyDelete
  14. jembatan merah memang tilas sejarah perjuangan di surabaya iya mas.

    tempat2nya bekarakter dan khas jaman dulu, semoga terus dijaga ya tempatnya.

    pengen lihat langsung sih, soalnya ak belum pernah ke surabaya

    ReplyDelete
  15. Gedungnya kuno, penuh nilai seni tinggi. Arsitekturnya sungguh luar biasa.
    Wah kekuasaan Mataram sampai jauh juga ya ? hebat. Tapi sayang kini hanya tinggal kenangan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di kampung tempat saya juga banyak bangunan kuno seperti ini mas, kapan-kapan saya pengen juga ah foto-foto buat bahan postingan seperti disini, kereennn...

      Delete
    2. iya ini keren banget bangunannya
      sayang sudah banyak yg rusak

      Delete
  16. Museum fatahillah di jakarta nggk terlalu setempoe doeloe kalau di bandingin sama yg ini.. ini mahh kece pisan ihh bangunannya..

    Kaya di kota tuanya semarang.. hihihi.

    ReplyDelete
  17. ini kayak di Bandung. Di sini juga ada kawasan kauman yg bangunannya sudah tua, peninggalan jaman dulu.

    ReplyDelete
  18. Daerah tunjubgan di restorasi, haruse smua di restorasi yo biar apik dan layak kunjungi

    ReplyDelete
  19. Cita rasa bangunan2 kuno memang memiliki sense tersendiri. Semakin tua semakin indah ..

    ReplyDelete
  20. Kalau bangunan tua bisa terawat pasti lebih indah ya, wisatawan bisa semakin meningkat. Di daerahku juga ada bangunan tua, sayang ga terurus juga.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post