Kan, saya punya titipan aneh lagi.
Add caption |
Kalau kemarin oleh-oleh yang harus saya cari adalah
Akang-akang Sunda (baca di sini), sekarang titipannya adalah salah satu putra
mahkota kerajaan. Sebuah kadipaten pecahan Kerajaan Mataram. Apalagi kalau
bukan Kadipaten (Praja) Mangkunegaran Solo. Waduh, berat jeng.
Lah saya masih gak PD kalau masuk keraton selain Keraton
Jogja. Pengalaman pernah diusir ketika masuk salah satu keraton pecahan Mataram
lain, yakni Puro Pakualaman masih membekas di ingatan saya (baca di sini lagi). Maka dari itu,
saya mencoba sehati-hati mungkin ketika memasuk tempat terhormat ini kalau tak
ingin berakhir tragis.
Siang itu, di teritorial Kota Surakarta pimpinan Bapak F.X.
Hadi Rudyatmo, sang driver gojek menurunkan saya di sebuah pintu gerbang kecil.
Kok gak meyakinkan gini? Tapi, menurut sang driver, ini adalah pintu samping. Kalau
ke pintu utama, dia harus berputar dulu. Berat di bensin cin.
Pintu samping yang saya masuki. Kalau ke sini jangan lewat sini ya. |
Ya sudah. Saya lalu masuk saja. Ada dua ibu-ibu beserta
seorang bapak yang saya yakini adalah pegawai kraton duduk-duduk manja di
sebuah kursi panjang. Saya lalu menyapa mereka dan bertanya apakah boleh masuk.
Sang bapak mempersilahkan saya untuk masuk ke gedung yang ada jam besar. Gedung
itu adalah kantor utama Pura Mangkunegaran.
Saya lalu menuju gedung itu dan disambut oleh mbak-mbak yang
mirip sekali dengan Putri Indonesia. Asyik! Beliau meminta saya membeli tiket
seharga 10.000 rupiah. Nanti tiket itu belum termasuk tip kepada guide yang
akan memandu kita. Jadi, untuk masuk ke area Pura Mangkunegaran, kita harus
dipandu oleh seorang guide. Bagi saya ini penting karena kita akan tahu batasan
mana yang boleh kita lakukan. Bagian mana saja yang boleh dipotret dan yang
dilarang. Selain itu, kita jadi lebih mengerti makna-makna dalam bangunan
tersebut daripada jalan sendiri eh lalu
tiba-tiba diusir.
Calon Kanjeng Pangeran Haryo. Menunggu Gusti Raden Ajeng yang entah di mana. |
Setelah membayar tiket, lalu seorang mbak-mbak mahasiswa
mengenalkan diri sebagai pemandu saya. Duh, alhamdulillah ya. Dia menanyakan
saya apa akan berfoto dahulu di depan bangunan Puro. Saya ya langsung bersedia.
Beberapa potret lalu terekam di ponsel saya.
Kami lalu berjalan menuju bagian bernama Pendopo Ageng. Di sini
kami harus melepas alas kaki kami dan memasukannya ke dalam tas kresek. Si mbak
menjelaskan bahwa pendopo ini terdiri dari empat tiang utama. Kayu-kayu yang
digunakan tiang ini berasal dari Alas Kethu. Sebuah hutan yang dahulu dimiliki
Mangkunegaran. Bangunan pendopo ini dan bangunan lainnya didominasi warna hijau
dan kuning yang merupakan warna kebanggaan Kadipaten Mangkunegaran. Warna-warna
ini juga menjadi warna bendera mereka.
Dominasi warna hijau kuning yang menjadi kebesaran Mangkunegaran |
Mbak-mbak tadi lalu menjelaskan filiosofi warna pada bagian atap
di bangunan tersebut yang bernama Kumudawati.
Ornamen dan warna tersebut melambangkan astrologi Hindu-Jawa. Saya hanya
bisa manthuk-manthuk. Bangunan jawa memang banyak simbolnya. Ada pula aneka benda
seperti lampu hias hingga patung yang merupakan pemberian dari luar negeri. Berbicara
patung, ada 4 patung singa, yang saya mirip-miripkan dengan singa Arema Singo
Edan tapi kok ya tidak mirip juga karena badannya lebih kecil. Patung singa ini
memiliki mata yang mengarah ke empat penjuru mata angin.
Patung Singa yang unik |
Di dalam Pendopo Agung juga ada tiga perangkat gamelan yang
bernama Kyai Seton, gamelan Kyai Kanyut Mesem, dan gamelan Lipur
Sari. Gamelan ini ada yang dimainkan bersama para penari dan ada juga yang
hanya dimainkan gamelannya saja pada hari-hari tertentu. Biasanya, permainan
gamelan dilangsungkan pada hari rabu. Tak sembarang orang boleh memainkan
gamelan dan menarikan tarian. Hanya orang dalam alias keturunan bangsawan dan
abdi dalem yang terpercaya. Itupun mereka harus menjalani puasa dulu.
Lalu kami menuju bagian utama yang disebut Dalem Agung. Di sini
kita tak boleh mengambil gambar dan harus memelankan suara karena merupakan
tempat yang dianggap khusus. Di dalamnya terdapat singgasana raja dan aneka barang
pusaka peninggalan masa lalu mulai zaman kerajaan Majapahit hingga Kadipaten
Mangkunegaran. Ada mahkota, aneka perhiasan, tempat makam, dan beberapa lukisan
raja-raja Mataram, Jogja, dan Kasunanan Surakarta. Kadipaten ini masih
memiliki keterkaitan sejarah dengan kerajaan-kerajaan tersebut.
Di sini pula sering dilakukan berbagai kegiatan penting,
semisal penobatan raja hingga pernikahan putra-putri raja. Oh ya, mas Paundra
kok belum kelihatan ya? Mungkin nanti bertemu di ruangan lain. Masih kepikiran
oleh-oleh nih saya, haha.
Potret KGPAA Mangkunegara IX (paling kanan), ayahanda Mas Paundra dari ibu Sukmawati Soekarnoputri |
Dalem Agung juga menyimpan aneka keris dan pedang yang
digunakan oleh Praja Mangkunegaran. Sebuah satuan militer milik kadipaten ini. Satmil
imi dibentuk dari sisa-sisa perang perebutan tahta kerjaan Mataram yang bagi
saya mbuletnya naudzubilah. Lha gak mbulet, satu kerajaan besar jadi empat
kerajaan kecil dengan aneka permasalahan yang mengikutinya. Ah tapi itu kan
masa lalu. Harus move on dong. Nikmati
saja dulu bangunan asyik ini.
Keluar dari Dalem Agung, ada sebuah bangunan serambi yang
saya lupa namanya. Maklum, saya fokus sama mbak pemandu yang kalemnya masya allah,
orang solo banget, hehe. Bangunan ini tempat para putri yang sedang santai. Aneka
furnitur unik menghiasi bangunan ini seperti seprangkat meja dan kursi untuk
bersantai. Jika kita duduk di sana, kita akan menghadap ke sebuah taman yang
sangat indah. Waduh, mau dong saya jadi putri juga.
Tempat santai para putri |
Taman yang asyik |
Nah, di dekat bagunan ini ada sebuah ruangan dengan foto idola
rekan saya. Siapa lagi kalau bukan Mas Paundra. Pemilik nama lengkap G.R.M
Paundrakarna Sukmaputra Jiwanegara ini
benar-benar menjadi idola beberapa rekan kerja. Setelah saya baca biografinya,
ternyata memang beliau multitalenta. Penyanyi, bintang film, bintang iklan, koreografer, mantan
anggota DPRD, hingga model. Putra raja juga. Cucu mantan Presiden Soekarno
pula. Pantes rekan saya termehek-mehek. Katanya kalau nanti berjodoh, bakal ganti nama
menjadi Gusti Raden Ayu. Eh atau Kanjeng Raden Ayu ya. Apasih. Mimpi kali ye.
Akhirnya ketemu |
Tapi, kalau bagi
saya, beliau itu istiqomah lho melestarikan budaya jawa di pura Mangkunegaran
ini. Menurut mbak guide, beliau masih aktif di berbagai even kesenian Pura
Mangunegaran bahkan sering menjadi pemimpin beberapa even besar. Beliau tak
segan turun langsung dalam nguri-uri kebudayaan luhur ini agar tetap lestari. Beberapa kali saya melihat video yang beliau unggah di youtube saat sedang memimpin latihan menari di dalam Pura Mangkunegaran ini. Salut.
Oh ya, selain tiga bagian
bangunan tadi, ada juga bangunan khusus keluarga kerajaan yang tidak boleh
dimasuki pengunjung. Ada juga toko sovenir dan beberapa bangunan untuk praja
Mangkunegaran dan abdi dalem. Keseluruhan bangunan ini berdiri di atas tanah
seluas 3.500 meter persegi.
Setelah tur berakhir
dan tip saya berikan ke mbak guide, mata saya memandang ke bangunan besar yang
anggun ini. Menyadari, di balik bangunan indah ini, ada bara perselisihan yang dulu
terjadi. Perjanjian Salatiga yang ditandatangani oleh VOC, Pakubuwono
III, HB I, dan RM Said (Mangkunegara I) menjadi saksinya.
Sumber Tulisan : Wikipedia
Tags
Sejarah
Tempatnya keren banget, ya? Kalau buat foto pasti hasilnya bagus. :)
ReplyDeletekalau yang bisa motonya, kalau yang nggak bisa mah tetep ajah hasilnya butut
Deletehehe iya tergantung yg moto juga
Deletesayang saya gak begitu ahli haha
Asik dong dilayani sama mbak yang mirip putri Indonesia. :D :D
ReplyDeleteasyik dong
DeleteKalau guide nya cantik cantik malah bagus itu mas, memasuki tempat bersejarah dan sakral musti hati hati mas
ReplyDeleteiya mas makanya ada guide saya jadi tenang
DeleteAku lo drg nate mlebu. Padahal sering liwat nek dolan solo.
ReplyDeletemblebu o, akeh kodew sinam
DeleteAsik donk jalan2nya ditemenin mba2 hehehe bagus tempatnya
ReplyDeleteasyik mbak
DeleteJd pengen ngajak anak2 kesana jg :D
ReplyDeletehayuk diajak
Deletebayanganku tour guidenya bakalan bapak-bapak abdi dalem yang sudah sepuh hehehe ternyata mbak mbak mahasiswa, rejeki banget ,,,
ReplyDeletealhamdulillah, rejeki mbak
Deletekerenn ihh kota Solo. Kaapan2 main kesana ahh
ReplyDeletekunbal: www.molzania.com
monggo mbak
DeleteWah senangnya kalau aku punya kesempatan seperti ini, baru tahu ada tempat-tempat yang disakralkan, hingga hrs lepas alas kaki dan memelankan suara
ReplyDeletememang peraturannya seperti itu mbak
Deleteadanya tebang patung mas Phoundra ya...nama anak pertamaku ngambil dari nama beliau...Phaundraka Anggaraditya
ReplyDeletewah iya mang semoga yg baik2 dari mas Paundra niru ya
DeletePengen deh bisa masuk keraton. Ini keren banget, semoga punya kesempatan kesitu juga, sambil mengenal sejarah ya.
ReplyDeletesilahkan mbak
DeleteWe'eee, sudah mampir ke Solo aja mas, ke Mangkunegaran pulak.
ReplyDeleteSaya yang hampir 5 tahun di Solo, belom pernah masuk kesini. Pol-polan cuma lewat depannya doang XD
Lagi ngerti enek mas Paundra yang ternyata populer seantero Indonesia Raya.
wah disegerakan ke sini mas
Deletegak rugi kok
jangan hari jumat aja mas, tutup
Bangunannya terlihat adem. Suma suka terkesan kayak gelap dan kurang terawat, ya
ReplyDelete