“Wis, menengo. Jare kate mbadhok. Ojok kakean cocot!”
(Sudah, diam. Katanya mau makan. Jangan banyak bicara!
Sontak. Suara menggelegar saya mendapat tatapan tajam dari
beberapa orang di sebuah halte Trans Jogja. Terutama, seorang ibu
paruh baya yang membawa barang dagangan dengan jumlah banyak. Sang ibu heran. Beberapa
saat sebelumnya saya berbicara dengan beliau menggunakan bahasa jawa kromo inggil yang amat sangat
halus sekali.
Baca juga: Mana yang Benar? Inggih atau Injih?
Selepas saya menutup telepon, sang ibu tersebut bertanya kepada
saya asal muasal saya. Mendengar jawaban saya, sang ibu maklum. “Oh wong ngetan
toh, yo ora kaget aku”. Saya hanya bisa tersipu malu. Aduh, saya benar-benar
lupa. Ini kan bukan di kamar kos-kosan.
Mengenal Kawasan Arek
Saya lahir di sebuah daerah persilangan kebudayaan yang cukup unik.
Kawasan Arek. Kawasan metropolitan Provinsi Jawa Timur. Membentang dari pantai utara Gresik, Kota Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, sebagian Pasuruan, dan berakhir di Malang Raya. Meski memiliki luas tak
lebih dari 17 persen dari total luas provinsi ini, daerah ini mengendalikan
hampir separuh perekonomiannya.
Baca juga: Apa Beda Malang dengan Batu?
Maka, tak ayal lagi, bak Jakarta, pendatang
membanjiri kawasan ini sejak dahulu kala. Keberadaan mereka membetuk identitas
kebudayaan baru yang cukup berbeda dengan daerah di sebelah baratnya yang
sering disebut Mataraman (daerah pengaruh kerajaan Mataram yang memiliki budaya
mirip dengan Jogja/Solo).
Selain pendatang, jaunya dari pengaruh kekuasaan Mataram
membuat apa yang menjadi kegiatan sehari-hari cukup berbeda meskipun sama-sama
suku Jawa. Selain tata bicara, perilaku yang beberapa tabiat orang-orang dari
kawasan ini sering mendapat tanda tanya besar. Orang Jawa kok kasar?
Baca juga: Mendalami Kata Je dan Jeh
Tapi, ya memang begitulah keadaannya. Sejak kecil saya
memang terbiasa berbicara bahasa yang “Lek iyo yo iyo lek ora yo ora (kalau iya
ya bilang iya kalau tidak ya bilang tidak)”, dan memiliki sifat “Duh kesuen
selak gak telaten aku (duh kelamaan, sudah tak sabar aku)”. Ceplas-ceplos dan
dinamis. Mbah-mbah, bapak ibu dan orang sekitar mendidik saya sebagai Arek Jawa
Timur dengan gaya seperti itu. Berbeda sekali kan dengan pandangan terhadap orang
Jawa pada umumnya?
Namun, jangan salah. Dari luar memang kelihatannya kasar dan
menyeramkan. Namun, orang-orang dari kawasan Arek memiliki beberapa keistimewaan
tersendiri.
Keistimewaan orang dari Kawasan Arek
Pertama, dengan lugasnya mereka berbicara, konflik sosial sering bisa diredam.
Alhamdulillah,
sejak saya menghuni kawasan Arek sedari kecil, jarang sekali saya mendapat
berita keributan massa akibat ini itu. Yah meski namanya juga kehidupan ada
kalanya perselisihan, namun dengan satu kalimat umpatan (J*****), amarah itu
bisa mereda. Saya antara percaya dan tidak. Dua teman lelaki saya pernah
berselisih paham masalah sepele. Mereka berdua lalu men-J*****-i satu sama
lain. Aduh, telinga saya saat itu sakit mendengarnya. Lalu dengan satu ungkapan
keras saya berbicara,”Wis mari a begedegane?” (Sudah kah bertengkarnya?) Mereka
langsung diam. Katanya capek. Dan akhirnya sama-sama minta maaf dan mencari
cara “Yok opo se penake” (Bagaimana enaknya).
Kedua, orang-orang di kawasan Arek juga bisa berbahasa krama inggil.
Sejak kecil, meski saya diajari oleh ibu dengan bahasa arekan “koen dan awake dhewe”, tapi ada satu pesan ibu yang sangat saya ingat. “Bicara dengan orang
yang lebih tua harus dengan bahasa krama inggil!” Wajib.
Ibu sering mengingatkan itu berulang. Ketika saya belum
sekolah. Ketika saya TK, SD, SMP, bahkan ketika saya akan merantau ke
Yogyakarta ini. Hati-hati kalau bicara dengan orang yang lebih tua. Pesan itu
sangat tergambar jelas.
Tak hanya di lingkungan keluarga, pengajaran bahasa jawa
krama inggil juga menjadi pelajaran mulok wajib di sekolah sejak SD. Apapun etnisnya,
anak-anak di kawasan Arek harus belajar bahasa Jawa yang pakem sesuai aturan. Meski
itu sangat sulit.
Pengalaman selama tiga tahun mengajar bahasa Jawa, saya
harus sabar dan telaten memberikan arti kosa kata bahasa jawa standar kepada
murid-murid. Mereka sering tidak paham dan kesulitan maksud dari banyak
kata-kata di buku bacaan.
Baca juga: Umak Tekan Ngalam, Sam?
Saya pun punya trik yakni menyuruh mereka membuat
catatan khusus kata-kata baru yang harus mereka terjemahkan ke dalam dialek Jawa Timuran. Murid saya yang rajin bahkan
sempat membuat kamus kecil untuk menerjemahkan kedua dialek bahasa yang berbeda
tersebut.
Pengajaran bahasa krama ini sangat membantu. Identitas orang
jawa tak luntur. Proses adaptasi dengan lingkungan baru bisa dijalankan meski
kadang itu sulit. Apalagi, kalau saya sedang menerima telepon dan begitu saja
berbahasa arekan.
Ketiga, meski kelihatannya kasar, namun sebagai orang jawa juga menjunjung tinggi tradisi jawa.
Meski tak sekompleks orang Jogja/Solo,
unggah-ungguh juga menjadi prioritas dalam kehidupan. Lha isih wong jowo toh? (Lha masih orang jawa kan?)
Bagaimanapun, mengubah kebiasaan itu sulit. Meski terdengar
kasar dan tidak njawani, namun percayalah, orang-orang dari kawasan Arek memiliki
daya juang tinggi dan pantang menyerah. Termasuk juga, tipe orang yang selalu
dikangeni. Halah.
Sekian, Mohon maaf bila ada kesalahan.
Tags
Catatanku
Kayaknya saya tau yang J***** itu apa.
ReplyDeleteAda benerya juga sih. Biasanya yang ceplas ceplos gitu supel bergaul. Ga grogi ga gengsi dan fleksibel
Haha hayo apa mas
DeleteBener rata2 orang arek supel2
itu kata apaan kang j******??kok aku salfok sama itu yah jadi berasa kek tebak kata xixixi
ReplyDeleteHayo tebak mbak
Deleteemang selalu kaget sih kalo ke surabaya ketemu temen.... apalagi yg kerja kasar. ya, tapi biasanya mereka baik.... malah kalo ada apa2 suka sharing... padahal aku suku madura aahahaha....
ReplyDeleteWah madura Mana sam?
DeleteKalau keluar daerah, lebih amannya menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga tidak ada rasa beban pikiran, tidak ada rasa enak dengan lawan bicara. Sama yang lebih tua, memang wajib berbahasa halus.
ReplyDeleteIya lebih amannya sih gitu, tapi lah kebiasaan mas, he
DeleteItu yang dibintangi j*ncuk, ya? Hahaha. Jadi inget Mbah Tedjo. :)
ReplyDeleteKalo saya lahir di Ponorogo tuh, Mas. Nggak termasuk Arek, ya? Masuknya mana tuh? Mataram? Saya dulu pas kecil pernah diomelin sama Mbah, karena sok-sokan ngomong Jawa. Eh, ternyata itu yang kasar. Baru tahu kalau sama yang lebih tua kudu pakai bahasa yang halus. Lah, pas main sama temen-temen yang digunain bahasa itu. Nggak tau bahasa halus kayak gimana. Dan karena lama tinggal di Jakarta, jadi lupa udahan bahasa Jawa. XD
Mbah tedjo is de bes lah
DeletePonorogo masuk Mataraman mas, Ada reog kan? Itu khas Mataram bgt
Iya klo ga biasa lama2 lupa ya
Hahaha iyo bener sam. Rasae kyok teges lugas. Tak kiro aku dewe seng ngeroso ngono tibae riko pisan haha. Ncen nek wes kenek ja**** iku enak. Lego. Masalah mari 😂
ReplyDeleteJan Wis luego yo mbak
Deletewahhh betul adanya jangan liat buku dari sampul nya begitupun menilai orang jangan lihat gaya dan bicaranya namun hatinya wakakaka cie ciee kok malah ngomongin ati ya
ReplyDeleteIya benar sekali don't judge a book by its cover
Deletekalo merubah kebiasaan itu susah. tapi kalo berasama dgn orang laun di nusantara bisa mlebur. kalo saya sih percaya aja kalo orang indonesia ini pada baik hati. sy sering bertemu orang yg bicaranya keras seperti marah marah tapi ternyata baik baik
ReplyDeleteOrang INDONESIA memang harusnya baik2 mang
DeleteSaya jg lama tgl dilingkungan betawi, klo ngomong suka kenceng eh disangka marah sm orang sini hehehe
ReplyDeleteIya mbak Ada beberapa steoretip memang begitu
DeleteJd inget dulu ditangerang tetangga org betawi ngobrol sm orang batak eh disangka ribut hehehe padahal biasa aja
ReplyDeleteNah. Iyakan
Deletesemenurutku yahh klo orang jawa tengah itu kalem2, and jawa timur ada aja yang kasar mah, apalagi madura. ya walaupun gak semua jg.
ReplyDeleteSteoretip nya memang begitu mas
DeleteSemua orang baik kok, tegantung dari mana sudut pandang menilainya
ReplyDeleteNah benar sekali mas andrie
Deleteenak kali ya kalau tinggal di daerah yang adem ayem
ReplyDeleteMasing - masing wilayah punya setandar kesopanan. Tinggal bagaimana menyesuaikan saja. Oh iya saya dari Tulungagung, dulu pas awal kuliah di Malang sempat kaget dengan arek2.nya. Kayak kasar gitu tp sebenarnya biasa aja. Yang pasti untuk kata j**cuk memang terkesan kasar bagi orang mataraman tp levelnya bisa nambah kalau pakai da*c*k ya pakai "d" silahkan dicoba ehehehehe
ReplyDelete