Ilustrasi (ciptacendekia.com) |
Surat tugas itu tergeletak di atas meja.
Menunggu untuk saya bawa pulang. Saya mendesah pelan. Kenapa saya jadi yang keluar?
“Ini terakhir buat Bapak. Kan tahun depan Bapak sudah tak di sini. Anggap saja sebagai kenang-kenangan”.
Saya masih mengingat kata-kata Bapak Kepala Sekolah seminggu sebelumnya. Saya hanya tak mengerti, biasanya segala administrasi pelaksanaan ujian di sekolah saya yang banyak mengerjakan. Kalau saya yang tugas keluar, lantas bagaimana?
Hari Pertama
Saya datang beberapa menit sebelum pukul setengah tujuh pagi. Gerbang sekolah masih terbuka separuh. Saya harus membuka gerbang dengan sempurna lantaran kecilnya pintu masuk. Selepas memarkir motor, saya lalu mencari letak ruang pengawas. Tak jauh dari parkiran motor, saya menemukannya.
Baca juga: Begini Cara Menghitung Gaji Guru Honorer
Suasana masih sepi. Tak ada siapapun. Hanya suara anak-anak kelas 6 yang sayup-sayup saya dengar sedang mengikuti tambahan pelajaran. Dengan rasa heran, saya lalu duduk di sebuah kursi sofa yang saya yakini itu adalah kursi tamu. Di depannya, ada sebuah kertas bertuliskan nama-nama pengawas ujian. Termasuk, nama saya.
Sepuluh menit kemudian, saya memainkan gawai. Lalu, munculah seorang ibu separuh baya tergopoh-gopoh membawa toples berisi makanan ringan. Beliau lalu menyalami saya dan meminta maaf jika tak ada siapapun yang menemui dan menyambut saya. Saya hanya bisa tersenyum ramah. Respon yang (cukup) diplomatis.
Tak lama kemudian, muncul tiga pengawas lain. Ah, mungkin saya yang terlalu pagi. Tapi, pengalaman di sekolah saya tahun lalu, paling tidak pukul 6 pagi, di sekolah sudah banyak yang datang. Selain anak-anak Kelas 6 tentunya.
Baca juga: Jejak Sekolah Model Barat Pertama di Yogyakarta
Beberapa saat kemudian, sang kepala sekolah datang. Seorang ibu, yang saya lihat dari nomor induk pegawainya beberapa tahun lagi akan purna. Beliau lalu menyalami kami. Tanpa banyak kata, beliau membuka pengarahan kepada pengawas ujian.
Pukul setengah delapan saya bersama satu rekan pengawas dari sekolah lain masuk ruangan. Saya mendapat kejutan. Bukan karena apa, sebagian besar rambut anak-anak peserta ujian berwarna kemerah-merahan. Saya yakin, itu bekas cat rambut. Namun, saya masih menyimpan kejutan saya. Tugas besar dimulai.
Selepas membagikan LJK dan soal, saya mulai mengisi daftar absen dan identitas peserta. Lagi-lagi, saya mendapat kejutan. Di sebuah nama, tertera tahun kelahiran sang anak yang bagi saya tak lazim. Tahun ini, siswa yang mengikuti ujian, rata-rata berangka kelahiran tahun 2004 dan 2005. Sang anak memiliki tahun kelahiran 2000. Saya mengernyitkan dahi. Berarti, 17 tahun. Sontak saya melihat foto peserta dan melihat sang anak.
Baca juga: Pengalaman Menemani Siswa Ikut Olimpiade
Benar, seorang remaja laki-laki asyik duduk di bangku belakang. Asyik memberi tanda silang pada LJK. Memang, sepintas tak ada yang salah. Namun, melihat ukuran tubuhnya, saya menemukan perbedaan jauh dengan teman-temannya.
Sudah esema kan harusnya? Batin saya. Tapi, saya tak mau memikirkan lagi. Yang penting, ujian bisa berjalan lancar.
Hari kedua, ketiga, dan keempat
Saya masih bosan dengan dua jam tanpa melakukan apapun. Kadang, saya berkeliling kelas. Melihat gerak-gerik mereka yang sepertinya aman-aman saja. Selepas dua jam, pekerjaan mengurutkan LJK pun dimulai. Selepas LJK kembali tersegel, saya segera memberikan kepada Ibu Kepala Sekolah.
Di hari keempat, sang ibu kepala sekolah mulai bercerita kepada kami tentang sang anak yang menjadi misteri. Sang anak yang memiliki inisial A, memang mengalami masalah yang cukup pelik. Sang ayah, pernah tertimpa kasus pencurian yang sebenarnya bukan murni kesalahannya. Kebetulan, sang ayah bekerja sebagai tukang rombeng (tukang pengumpul barang-barang bekas). Suatu ketika, sang ayah mendapat sebuah barang besi rongsokan dengan harga yang lumayan.
Naas, ternyata barang tersebut adalah bekas hasil curanmor. Sang ayah terkena pasal pencurian sebagai penadah dan harus diganjar kurungan penjara selama beberapa bulan. Mulai itulah, si A menjadi tidak lagi terurus karena ibunya juga bingung dengan kasus yang menimpa.
Si A lalu bergabung dengan komunitas punk. Mengamen dan melakukan kegiatan negatif lain. Jarang masuk sekolah karena malu, hingga tak naik kelas. Pihak sekolah masih mempertahankan si A lantaran bisa dibilang memiliki potensi akademik yang cukup baik. Hingga tahun ini, dengan bimbingan yang cukup intensif, si A bisa mengikuti ujian.
Hari Kelima
Baru saja diceritakan hari sebelumnya, Si A tak datang hingga beberapa menit sebelum bel tanda ujian dimulai. Guru Kelas 6 panik. Beliau meminta izin untuk menjemput A di rumahnya. Sang kepala sekolah meminta kami untuk bersiap jikalau kondisi terburuk harus mengawasi si A di rumahnya. Pihak sekolah hanya ingin si A bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya. Tidak tertunda lagi.
Untunglah, si A muncul selepas bel berbunyi. Rupanya, keterlambatan si A lantaran ia tak memiliki bawahan baju pramuka. Entah ke mana, sebagai gantinya, ia memakai bawahan merah. Kombinasi seragam yang aneh karena ia memakai atasan pramuka lengkap dengan hasduk merah putih. Tak apa, yang penting si A bisa mengikuti ujian terakhir.
Bel tanda mengerjakan soal usai. Kami segera mengurutkan LJK lagi dan menyegelnya. Memberikannya kepada sang kepala sekolah. Di akhir pertemuan ini, beliau terus memohon maklum atas kekurangan sekolahnya. Beliau tak bisa berbuat banyak lantaran sekolahnya cukup miris keadaanya.
Penjelasan yang saya amini dalam hati ketika menengok plafon yang cukup mengerikan, kamar mandi siswa yang jorok, dan kelas-kelas yang kusam. Tapi, saya maklum. Satu-satunya dana dari sekolah adalah dana BOS. Apesnya, tahun ini, dana BOS tak kunjung cair.
Selepas menerima nasi kotak kenang-kenangan terakhir dari sekolah yang saya awasi, saya bergegas pulang. Memacu motor keluar dari gang sekolah tersebut. Tak berselang lama, saya melihat keceriaan anak-anak sekolah sebelah. Sekolah negeri favorit yang selalu bersaing dengan sekolah saya (yang juga favorit).
Memiliki fasilitas lengkap dan aneka prestasi yang layak dibanggakan. Tak lama juga, mata saya memandang sebuah pusat perbelanjaan maha besar. Bersanding dengan aneka tempat hiburan, restauran, hingga aneka spanduk hiburan bertebaran di jalan.
Saya hanya bisa menatap nanar dan memendam dalam hati, kenapa kasus seperti si A bisa terjadi. Di sebuah sekolah kecil yang seperti terabaikan. Padahal, sekolah ini berdiri di sebuah kota yang katanya kota pendidikan.
Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.
Kalau bicara dana bos, apa kabarnya sekarang, masih adakah?
ReplyDeletemasih tapi seret huhu
Deletewah pengalamannay begitu ay, aku juag banyak pengalaman yang menarik saat ujian anak2
ReplyDeletemungkin bisa diceritakan bu
DeleteLJK.....
ReplyDeleteGILAK. udah berapa tahun ya nggak ngisi itu LJK. hahahaha
ketauan udah tua ya xixixi
Delete(terdiam cukup lama)
ReplyDeleteAh pak Ikrom, melihat sesuatu yang kontras dalam suatu ranah itu rasanya......campur aduk. Ya itu, karena berada dalam satu ranah, berada dalam satu naungan.
MasyaAllah, astaghfirullah. Semoga si A mendapatkan sesuatu yang lebih baik di hidupnya, semoga diberi Allah kekuatan utk menempuh hidup, semoga berkah hidupnya, semoga kelak ia menjadi manusia yang inspiratif bagi sekelilingnya.
Dari cerita A saya hanya bisa hamdalah berkali". Setidaknya kondisi keluarga tidak seperti itu, harusnya saya bisa lebih baik lagi mengusahakan pendidikan. Bukannya mernyerah m=pada kemalasan.
Smeoga kisah si A bisa menjadi pelajaran bagi kita semua agar menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bisa bersyukur, amin :)
itu yang saya rasakan mbak
Deletenyesek tapi gimana lagi
semoga ada hikmahnya,
amiiiin
inget aku duluuu, saat anak2 lain pakai baju merah putih, aku pake rok ijo, seragam tk. ahahaha inget banget gimana rasanya :D
ReplyDeletewaduh itu fatal!
DeletePak, isiin LJK saya dong...
ReplyDeleteisi sendiri,. mau lulus gak?
Deletekasian tuh gambar pertama dedenya udah tepok jidat gatau mau isi apalagi, bukan masalah jawabannya, dia bingung mau isi dimana ckckkc
ReplyDeletehahaha benar!
Deleteoh dana bos masih ada ya, aku kira sekarang biaya sekolah diurus dari pemkot :)
ReplyDeleteklo dari pemkot namanya BOSDA mbak
DeleteYa, Allah. Pelik banget itu kisah hidup si A. :') Semoga kelak dia bisa menjadi orang sukses dan berkah hidupnya. Aamiin.
ReplyDeleteUdah lama nggak baca atau denger soal BOS lagi. Jadi itu masih ada, ya? Ingetnya cuma soal KJP. :|
amiiin ya robbal alamin
Deleteada mas, klo di sini namanya bansos, sma sih kyk KJP gitu
Kalau dana BOS nggak turun banyak cerita pastinya yang kena langsung ke muridnya. Mirisnya kalau itu terjadi di kota pendidikan.
ReplyDeleteiya benar jadi terganggu banget dan miris
Deletesemoga dunia pendidikan semakin baik mas aamiin
ReplyDeleteamin ya robbal alamin
Deletemembaca artikel panjenengan jadi semakin tau sisi lain tentang dunia pendidikan di negeri ini mas....
ReplyDeleteya begitulah keadaannya mas
DeleteSaya termenung cukup lama sambul membayangkan punya murid seperti si A. saya dulu juga punya nasib yang 11 12 sama si A. Ayah saya juga pernah dipenjara. Pernah dibuli juga saya di sekolah.
ReplyDeleteSaya sedih sekali membaca cerita ini, seriously sampai berkaca-kaca, karena mungkin saya tahu perasaannya.
Tolong Pak, anak seperti si A itu ditolong, dia sebenarnya hanya butuh satu: Perhatian!!!
saya juga seperti itu dulu, nakal, mbrandal, dan awut-awutan, bahkan sempat tawuran.
Tapi lihatlah, anak seperti A versi yang lain, yaitu saya sendiri yang punya masa lalu kelam, kini bisa sekolah di Jerman, bisa hidup layak, tak malu bergaul dan membuktikan kepada siapapun yang dulu menghinanya bahwa kehidupan itu seperti roda yang berputar.
Tolong sampaikan salam saya kepadanya, mungkin bapak bisa menceritakan kisah saya, dan memotivasinya agar tetap sekolah. Guru-guru seperti bapak ini yang saya dan semua anak seperti si A perlukan di Indonesia.
Terima kasih, pak :)
Salam
mbak, mungkin nanti suatu saat bisa bercerita kisah mbak secara langsung kepada anak2 juga, kalau berkenan dan di Indonesia
Deletekita juga butuh mbak2 kisah2 inspirasi seprti mbak
akan saya sampaikan, terimkasih sekali