2B transit di Condongcatur Ganti 1B turun di De Britto.
“Apa, mas? Bisa diulang ?”
“Masnya naik jalur 2B. Nanti di Terminal Condongcatur turun untuk beralih
ke bus jalur 1B. Lalu masnya turun di Halte De Britto”.
Saya hanya bisa meng-ooooo. Antara paham dan masih belum. Maklum,
saya baru saja mengikuti salah satu tes di PT. Berasa calon maba gitu (ewww).
Tapi, ini kepala masih antara ya dan tidak. Iya sih, saya sekarang di Jogja untuk
meraih asa baru. Cuma ya itu, tidaknya, ini kepala kok pinginnya jalan-jalan
mulu, haha.
Rekan satu perjuangan tes menurunkan saya di halte
Transjogja Monjali. Saya sudah ke monumen itu berkali-kali. Jadi, saya tak
punya keinginan lagi ke sana. Masih ada cukup banyak waktu untuk menunggu
kereta. Maunya sih, saya menumpang mandi di hotel tempat teman saya menginap. Tapi,
masak iya, mandi jam 2 siang sedang kereta berangkat jam 9 malam?
Dan akhirnya, naluri jalan-jalan saya membawa satu tempat maha
asyik yang belum saya kunjungi : Museum Affandi. Berkali-kali ke Jogja, saya
belum pernah ke sini. Makanya, mumpung ada kesempatan, saya tak
menyia-nyiakannya. Saya kok kepingin lihat-lihat lukisan salah satu maestro
lukis Indonesia ini.
Singkat cerita, saya sudah sampai di Halte De Britoo. Di depan
mata, terbacalah tulisan SMA K Kolose De Britto. Kalau mendengar nama SMA K dan
ada kata “kolose”, saya jadi merinding. Pasti ini sekolah favorit banget nget. Ah,
lain kali deh saya mau lihat sekolah itu. Sayapun lantas mencari di peta, di
manakah gerangan museum Affandi yang katanya hanya sepelemparan batu dari
sekolah itu.
Saya tak menemukannya dengan mudah. Katanya sih, museum ini
ada di dekat sungai. Di seberang komplek UIN Suka (Sunan Kalijaga). Tapi, kok
yang ada kedai pizza ya. Setelah saya memutarkan tubuh beberapa derajat eh kok
ada tulisan “Museum Affandi”. Persis di belakang saya. Lah.
Ternyata, bangunan museum ini menjorok ke dalam di bantaran
sungai. Pantas saja tak terlihat. Daripada lama-lama, saya pun masuk dan
disambut mbak petugas loket yang ramah. Saya diminta membayar karcis 20 ribu
plus 10 ribu untuk izin memotret. Oke, saya bayar. Duh sombongnya.
Begitu masuk, suasana adem langsung saya rasakan. Banyak pepohonan
di halaman bangunan yang bagi saya mirip keong mas itu. Suara gemericik air
menambah segarnya suasana. Tanpa banyak kata, saya segera masuk. Wah, tempatnya
keren. Dengan perpaduan warna cerah lantai ruangan, ditambah warna tembok yang ngejreng,
semangat saya bangkit lagi. Ruangan yang disebut galeri 1 ini memajang aneka
lukisan hasil karya sang maestro dari
tahun-tahun awal karirnya hingga tahun akhir semasa hidupnya. Lukisan yang
dipajang merupakan sketsa di atas kertas, lukisan cat air, pastel, serta cat
minyak di atas kanvas.
|
Galeri 1 |
|
Hmmm, cari inspirasi dulu.... |
|
Barang peninggalan. Nanti bon-bon makan saya juga mau saya museumkan (lho?) |
Saat saya di sana, saya bertemu seorang pengunjung yang juga
mengagumi karya pelukis ini. Berbekal penjelasan salah seorang petugas, saya
menyimak banyak informasi menarik. Salah satunya, ternyata Affandi sering begitu
saja memasukkan banyak ide yang ia dapat di dalam lukisannya. Yang sering
terjadi, ia menggambar potret dirinya namun bernuansa lingkungan sekitarnya. Dan
itu benar-benar hidup meski hanya sktesa. Cerita ini diamini oleh pengunjung
tadi. Ia merasa, seabstrak apapun lukisan Affandi, baginya yang awam masalah
perlukisan justru ia bisa menangkap maksudnya dengan baik.
|
Favorit saya nih.Bung Karno mmeminta Sudjojono membuat poster untuk memberi semangat bagi para pejuang. Saat itulah, Affandi mendapat
tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang
yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah
pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu?
Kebetulan datang penyair Chairil Anwar (1922-1949). S Soedjojono
menanyakan kepada Chairil, maka dengan ringan Chairil menyahut: “Bung,
ayo bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis
siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Darimanakah
Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan
pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu. Bang ayo bang. Ke mana neng? |
Saya paling senang dengan salah satu potret diri Affandi
yang terlihat acak adut. Potret ini pernah saya lihat di sebuah majalah saat
saya membacanya di bangku SMP. Alhamduliilah, saya diberi kesempatan melihatnya
langsung. Potret ini ternyata adalah hasil berbagai ide ketika ia berada di
Bali dan melihat aneka kebudayannya. Barong, Rangda, Leak, dll. Itu semua
dimasukkan dalam potret dirinya. Mungkin saja, potret ini menggambarkan manusia
ya begitu. Ada banyak sisi yang bisa dilihat. Namanya kehidupan kan?
|
Potret diri |
Favorit saya yang lain adalah potret berjudul “Ibu Marah”. Saya
tak habis pikir, kenangan masa kecil benar-benar membekas di benak Affandi. Kebayang
kan kalau emak lagi marah? Aura itu tergambar jelas. Saya sampai merinding
lihat potret ini. Ampun mak ampun.
|
Mother Angry |
Puas berjalan-jalan di galeri 1, saya melanjutkan ke Galeri
2 yang banyak berisi lukisan tinta di kanvas. Ya Tuhan, ini juga keren. Simpel sih
gambarnya, cuma pesannya itu lho dapet banget dan jelas. Kalau saya suruh
gambar, yang ada gambaran SD-able.hehe. Coretan ini sebenarnya ditentukan
secara spontan oleh Affandi. Pada umumnya, yang ia hadirkan adalah kesan dan
isyarat, bukan menampilkan obyek secara nyata. Artinya, ia hanya menampilkan
sebagian dari potret yang ia lihat.
Affandi yang sering mengamati kehidupan sosial akan segera
menuangkan garis-garis tegas dan kuat, berpadu dengan garis ringan yang kadang
menghilang. Namun tetap saja, semuanya menyatu sesuai ekspresinya walau
gambar-gambar itu meskipun tanpa warna. Diakhiri dengan arsiran, membuat
gambarnya terlihat sempurna. Iya, keren. Lagi-lagi saya melongo.
|
Perjalanan ke India |
|
Galeri 2 |
Berlanjut ke galeri 3, ada 3 lantai yang berada di dalamnya.
Namun, pengunjung hanya boleh masuk ke lantai 1 tempat lukisan dipajang. Yah, saya
sendirian di sini. Tak ada siapa-siapa. Saya terus menjelah lukisan demi
lukisan. Yang paling menarik adalah sebuah lukisan kereta api. Kereta ini
melewati sebuah tempat dengan pemandangan indah, ditambah sedikit pemanis
berupa anak-anak yang bermain. Ah, persis seperti apa yang saya lihat di dalam
Kereta Api Malioboro Ekspres.
|
Galeri 3 |
|
Lukisan Kereta Api |
Puas melihat lukisan, saya menuju anak tangga yang membawa
saya ke sebuah tempat yang bisa merasakan sepoinya angin. Berpandang Sungai
Gajah Wong. Duh, nikmat banget dunia ini, semoga saya tak terperosok di
dalamnya. Saya hanya merenung mungkin harus bisa menikmati kehudupan fana ini
seasyik Affandi, yang ya mengalir gitu yang penting tetap berkarya dan
bermanfaat bagi banyak orang. Harus belajar banyak nih.
|
Sungai Gajah Wong |
|
Alm. Affandi dan istrinya, almh. Maryati. |
Sebenarnya, masih banyak bangunan di Museum ini. Ada kafe,
guest house, studio kursus lukis, kolam renang, perpustakaan, dan masih banyak
lagi. Ada juga makam sang maestro beserta istrinya diantara bangunan galeri 1
dan 2. Peristirahatan mereka dikelilingi lukisan hasil karyanya serta rimbunnya
tanaman.
Ah, so sweetnya.
Lokasi Museum Affandi
Bun ayo bung, aku tertarik dengan potongan kata ini, ternyata lucu juga asal-muasal ide tersebut. Ayo neng, siap nih :D
ReplyDeleteMuseum ini sering aku lewati, tapi entah kenapa aku belum bisa kesana.
Lain waktu harus bisa berkunjung nih.
bang ayo ke sini bang xixi
Deletesepertinya kita akan dibawake masa-masa kehidupan maestro lukis Indonesia nih kalau berkesempatan hidup di museum Afandi...sedal jepitnya dijual nggak tuh?
ReplyDeletesandal jepitnya tak ternilai mang...
DeleteJadi pengin main ke museum-museum yang berbau seni gini. :D Jadi, kalau gak motret, gak perlu bayar 10 ribu? Kalau motretnya pakai DSLR, tetep 10 ribu? Kalau di salah satu tempat, kan ada tuh yang boleh motretnya sebatas kamera hape aja. Pakai DSLR bisa bayarnya sampai ratusan ribu atau jutaan. Ehe.
ReplyDeleteDSLR 30 ribu mas
Deletewah kalo sempe segitu ya mikir dulu deh saya, hehe
tiap hari berangkat kerja dan pulang kerja saya melewati tempat ini tapi entah kenapa saya blm kepikiran untuk mampir hahahha...
ReplyDeletekadang saya juga gitu mas, sering lewat tapi gak mampir...
DeleteSaya ngakak baca tulisan: Acak adut,,,tapi memang sih acak adut banget (haaha malang banget)...enak ya jadi guru bisa nglencerrr
ReplyDeletehahaha iya mbak acak adut banget
Deletewah ini bukan dalam rangka nglencer mbak...
kayaknya kalo gatau itu kuburan bisa selfi2 deh, backgroundnya baguuus
ReplyDeleteah tapi nggak deh, takut X_X
saking bagus tempatnya mbakkk
Deletelah baru tau kalau tempatnya deket uin jogja, sering lewat tapi nggak ngeh wkwkw
ReplyDeleteada berapa galeri emang mas totalnya? cuma 3 itu kah?
Kalo yg pameran ada 3, tapi ada lagi buat yg mau belajar
Deletecuma bayar 75 ribu, jadi saya pikir2 deh haha
Pernah di Museum di Solo juga harus bayar buat bawa kamera, hp juga diitung kamera loh haha
ReplyDelete-M.
https://inklocita.blogspot.co.id/2017/04/7-kota-dalam-9-hari-di-jepang.html
iya sekarang kalau mau cekrek bayar -_-
DeleteOh ini semacam museum lukisan gitu ya mas? atau museum apa sih?
ReplyDeleteatau museum nya pak affandi?
yah masnya lihatnya kayak gimana ya
Deletehabis campu2 gitu, cuma ya paling banyak koleksi lukisan
almarhum kan asyik gitu hidupnya hehe
Museum ini, dulu tempatku mampir saat pulang sekolah waktu SMA Mas. Kost ku dekat situ, secara aku suka banget melukis, jadi nggak bosen2 juga ke musium ini. Pantengin karya Affandi. Padahal gaya lukisnya aku nggak begitu suka. Tapi torehannya lain, ini yg ngangenin. Hehehe sekarang udah banyak berubah ya. Bertahun2 nggak ke situ setelah nggak di Yogya
ReplyDeleteNah!
Deletebanyak yg bilang gitu mbak, affandi ini nglukis apa sih eh tapi herannya pesannya masih dapet
bakal kangen Jogja dong
dari dulu pengen kesini tapi nda kesampaian, mudah2an punya waktu yang tepat untuk bisa berkunjung kesana. terimakasih sudah memberikan info sangat lengkap
ReplyDeleteayo mas ke sini...
Delete