What, gak salah?
Saya masih tidak percaya dengan apa yang saya baca di WA.
Saya terkesima dan terhenyak. Tiba-tiba, saya ditunjuk menjadi juri sebuah perlombaan
siswa teladan. Kebetulan, sekolah saya menjadi tuan rumah lomba Bina Kreativitas Siswa tingkat gugus. Yah meski masih berada di tingkat gugus, tapi tetap saja saya masih
gimana gitu.
Ini pertama kali saya menjadi sebuah juri dalam acara yang
cukup kredibel. Acara yang bukan main-main. Saya belum pernah mendapat
kesempatan berharga ini. Apalagi, lomba yang akan saya nilai adalah salah satu
mata lomba yang cukup bergengsi. Lomba ini tak hanya menilai siswa dari satu
aspek saja, namun dalam beberapa aspek yang bertujuan menggali kemampuan siswa
dalam berbagai bidang. Kalau boleh dibilang, mirip seperti lomba Kakang Mbakyu
dan lomba duta wisata sejenisnya.
Mengingat dan memutuskan banyaknya kriteria yang harus saya
nilai, maka saya harus banyak belajar masalah penjurian sebuah lomba. Bagaimanapun,
seobyektif saya dalam menilai sesuatu pasti ada sisi subyektifnya. Maka dari
itu, ketentuan dan kriteria lomba harus saya pelajari seksama.
Nah, lomba siswa teladan ini terdiri dari beberapa
penilaian. Pertama, tentunya adalah tes tulis yang memuat beberapa muatan
pelajaran. Muatan tersebut antara lain Matematika, IPA, Bahasa Indonesia, IPS,
Pengetahuan Umum, PKn, Bahasa Jawa, dan Bahasa Inggris. Bobot tes tulis ini
paling tinggi, yakni sekitar 50 %.
Tes selanjutnya adalah menyanyikan lagu Indoensia Raya. Tes ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar jiwa nasionalisme siswa. Terutama, bagaimana usaha mereka untuk menyanyikan lagu kebangsaannya dengan baik dan benar. Di tengah penjurian menyanyikan lagu ini, ada lho ternyata siswa yang belum hafal lagu Indonesia Raya. Bahkan harus sampai diulang 3 kali. Sungguh, saya cukup gimana gitu.
Tes terakhir yang harus dilalui oleh peserta adalah
wawancara. Ada 3 tahap wawancara yang harus dilakukan, yakni dalam Bahasa
Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Tagalog Jawa. Pertanyaan yang dilemparkan
ke peserta ya seputar kegiatan sehari-hari dan pengetahuan umum. Nah, diantara
sekian peserta yang saya nilai, ada satu peserta yang cukup berkesan di hati
saya. Saat itu, saya mencoba mengeksplorasi cita-cita dan usahanya untuk meraih
cita-citanya tersebut.
Jawaban yang saya terima ternyata cukup mengagetkan. Kalau
diringkas, obrolan kami seperti ini.
Saya : “Nanti kalau sudah besar mau jadi apa?”
Peserta : “Saya mau jadi Romo”.
Saya : (Lihat juri sebelah yang dari sekolah Katholik)
Juri sebelah : “Romo itu rohaniawan Katholik Pak, Pastor”.
Saya : : “Oh begitu. Kenapa kamu mau jadi Romo?”
Peserta : “Saya senang lihat Romo mengabarkan kebaikan”.
Saya : “Lalu, apa yang akan kamu lakukan agar cita-citamu tercapai?”
Dia : (diam sejenak) “Saya mau masuk sekolah frater. Saya harus rajin belajar terutama belajar alkitab agar bisa jadi Romo”.
Peserta : “Saya mau jadi Romo”.
Saya : (Lihat juri sebelah yang dari sekolah Katholik)
Juri sebelah : “Romo itu rohaniawan Katholik Pak, Pastor”.
Saya : : “Oh begitu. Kenapa kamu mau jadi Romo?”
Peserta : “Saya senang lihat Romo mengabarkan kebaikan”.
Saya : “Lalu, apa yang akan kamu lakukan agar cita-citamu tercapai?”
Dia : (diam sejenak) “Saya mau masuk sekolah frater. Saya harus rajin belajar terutama belajar alkitab agar bisa jadi Romo”.
Aduh, saya benar-benar takjub. Anak segitu ada lho keinginan
mengabdi untuk banyak orang. Meski saya bukan nasrani, sungguh saya terharu. Di
saat mayoritas anak-anak ingin sukses dalam artian lebiah banyak ke materi, dia
malah ingin sukses dengan jalannya yang, bagi saya asyik. Semoga tercapai, Nak.
Akhirnya, proses penjurian pun usai. Kami tikm juri harus
merekap nila-nilai tadi dan menjumlahkannya. Alhamdulillah, nilai yang saya
rekam tak beda jauh dengan juri yang lain. Artinya, saya masih bisa bernafas
lega, obyektivitas saya boleh dibilang sudah hampir sesuai prosedur. Apalagi,
dua siswa saya meraih juara 1 untuk siswa teladan putra dan putri. Dua medali
emas sekaligus. Saya sangat bersyukur mereka bisa maju lagi ke tingkat
Kecamatan. Mewakili gugus untuk bertanding pada awal Maret nanti. Dengan peserta
yang memiliki cita-cita mulia tadi yang menyabet juara ke-3.
Ah senangnya. Alhamdulillah.
Tags
Catatanku
Jadi, saya dapat juara berapa mas? Saya kan siswa mas juga yang ikut lomba. :)
ReplyDeletemasnya juara lomba ngeblog aja deh, tak doain.
Deletetapi jangan lupa, hadiahnya bagi2 :)
Keceh
ReplyDeleteterimakasih :)
DeleteKayaknya lebih cocok jadi peserta dibandingkan juri, hehehe
ReplyDeletehihihi iya ya, masih imut2 :)
DeleteBanggaaaa dadi juri....
ReplyDeleteBiasa wae cak !
Hahahaha
bangga dong, juri idol gituuu
DeleteBahasa tagalog 😂😂😂
ReplyDeleteAku pernah ikutan beginian pas sd hahaha
hahaha itu pendidikan karakter di sekolahku mbak , pembiasaan berbahasa Tagalog
Deleteoh ya, juara berapa mbak ?
Duh, saya kayaknya paling susah deh tuh jadi juri. Suka semaunya sendiri kalau udah nilai. Takut gak objektif. XD
ReplyDeleteAlhamdulillah muridnya ada yang juara. :D
Gak apa narsis, kan pengin eksis juga. :p
obyektivitasnya itu lho mas yang sulit ya
Deletealhamdulillah ya mas yg penting eksis, haha
Wehh... jarang-jarang ada anak SD yang cita-citanya jadi Pastor. Padahal jadi pastor itu nggak gampang. Prosesnya bertahun-tahun. Banyak yang gagal di tengah jalan.
ReplyDeletenah itu dia, sulit ya mas,,, salut deh pokoknya...
Delete