Salah satu keunikan Kota Malang adalah memiliki dua buah
alun-alun.
Dua buah alun-alun ini hanya terpisah sekitar 1 km dan dibatasi
oleh Sungai Brantas yang mengalir diantara keduanya. Meski hanya terpisah
“sepelemparan batu”, namun tahukah anda bahwa kedua ini memiliki posisi yang
berbeda dalam sejarah perjalanannya? Kedua tempat yang instagramabel ini,
ternyata menjadi tempat eksistensi sesuatu yang disebut ruang terbuka untuk
rakyat. Sedangkan yang lainnya merupakan ruang eksklusif bagi penguasa. Mengapa bisa
demikian?
Sejarah panjang kedua alun-alun itu dimulai saat masa
penjajahan Belanda. Alun-alun Kotak yang
sering disebut Alun-Alun Malang lebih dahulu dibangun pada tahun 1882.
Pembangunan alun-alun ini, awalnya tak lepas dari simbol kekuasaan dari
kota-kota di Pulau Jawa. Meski begitu, ternyata alun-alun Malang memiliki
anomali dibandingkan dengan alun-alun lainnya. Anomali tersebut adalah letak
bangunan-bangunan yang mengelilingi alun-alun tersebut. Biasanya, sebuah
alun-alun akan dikelilingi oleh pendopo kabupaten yang langsung menghadap ke
alun-alun. Namun, alun-alun Malang ini menyalahi aturan tersebut. Kenapa?
Letak pendopo kabupaten berada di sebelah timur alun-alun
dan tidak menghadap tepat ke arahnya. Pendopo tersebut menghadap ke selatan, yakni ke pusat perbelanjaan Gajah Mada Plaza dan Malang Plaza. Anomali inilah yang
diyakini sebagai bukti bahwa alun-alun Malang tidak merepresentasikan kekuasaan
“bangsawan jawa”, melainkan merupakan representasi dari Pemerintah Kolonial Belanda.
Pemerintah Kolonial membangun berbagai bangunan khas Belanda,seperti rumah
residen, Javasche Bank, gereja, dan Sociteit Concordia (tempat para pembesar
Belanda berpesta di sekitarnya). Jadi, maksud awal dari pembangunan Alun-alun
Malang adalah untuk membentuk sebuah pandangan bahwa pusat kota sudah dikuasai Pemerintah Kolonial. Dengan adanya representasi dari bangunan kolonial tersebut, maka
kontrol ekonomi kolonial atas pribumi akan didapat.
Namun, ternyata maksud dari Pemerintah Kolonial ini tak bisa
tercapai. Alun-alun Kota Malang yang seharusnya menjadi sebuah cermin kontrol
penguasa ternyata dengan mudah dikuasai rakyat. Anggapan ini didasarkan pada
sebuah foto lama yang dikoleksi oleh A. Bierens de Haan. Foto hitam putih yang
diambil sekira tahun 1900an itu menggambarkan betapa mudahnya Alun-Alun Kota
Malang ditaklukan oleh rakyat jelata. Banyak pedagang makanan dan minuman yang
berjualan di bawah pohon beringin rindang yang berada di sisi barat dan selatan
alun-alun. Para pembeli pun juga terlihat banyak. Duduk dengan asyik menikmati
hangatnya sore di Malang yang saat itu sebenarnya masih terkungkung oleh
kekuasaan kolonial. Mereka tak peduli dengan para penjajah yang masih bercokol di Bumi Arema.
Meski tidak secara fisik, namun mereka melakan perlawanan “kultural”. Menguasai
alun-alun yang seharusnya bisa dilakukan
dengan mudah oleh Belanda. Lalu, mengapa bisa terjadi perlawanan kultural
semacam itu?
Suatu sore di alun-alun Kota Malang (www.kitlv.nl) |
Jawabannya kembali pada anomali tadi. Konsep filosofi dari pembangunan
Alun-Alun Malang tidak terlaksana. Tatanan simbolik untuk menguatkan citra kekuasaan
tidak bisa dicapai. Meski banyak bangunan kolonial di sekelilingnya, tak
satupun bukti menunjukkan eksistensi kolonial Belanda di Alun-alun Malang. Yang
ada malah sebaliknya, rakyat jelata begitu mudah menguasai alun-alun.
Jika orang Belanda bisa berdansa dan nongki-nongki di Gedung Sociteit yang tak jauh dari
alun-alun, maka rakyat jelata juga tak mau kalah. Aneka seni lokal sering
dipentaskan di alun-alun, semisal seni ludruk. Pementasan ini sering dilakukan di sisi timur
laut alun-alun. Hiburan rakyat ini semakin ramai tatkala perlawanan kultural
semakin kuat. Bagi warga pribumi yang kebanyakan beragama islam, perilaku orang
Belanda yang berdansa ria dan mabuk-mabukan di Gedung Sociteit adalah perilaku dosa besar. Untuk menghindari hal
tersebut, maka hiburan rakyat adalah satu-satunya cara.
Panggung hiburan rakyat |
Pemerintah kolonial semakin mengabaikan keberadaan alun-alun
Malang. Mereka membangun jalur trem yang membelah alun-alun dari arah barat
laut menuju arah tenggara. Jalur trem ini menghubungkan Blimbing dengan Dampit
(Malang Selatan). Sebuah halte di bawah pohon beringin menambah keramaian
alun-alun Malang dengan segenap aktivitas rakyat jelatanya. Alun-alun Malang
semakin tidak diperhatikan pemerintah kolonial setelah Kota Malang lahir pada
tahun 1914. Pihak gementee (Pemerintah Kota Hindia Belanda) tidak
memasukkan alun-alun Malang sebagai bouwplan (rencana pembangunan) tata
kota.
Spot di bawah kandang burung adalah favorit saya di Alun-alun Kotak. Dahulu, jalur trem yang legendaris melintas di sana. |
Thomas Karsten, sang arsitek Kota Malang sejak “kemerdekaan”
kota ini dari Kabupaten Malang mulai menata ulang pusat pemerintahan baru.
Karsten mulai membangun kawasan Alun-alun Bundar dengan bangunan khas eropa yang
mengelilinganya. Alun-alun yang baru ini diharapkan tetap menjadi representasi
kekuasaan kolonial. Meski citra tersebut akan dibangun, Karsten tak begitu saja
melupakan filosofi kearifan lokal. Susunan tapak catur yang berpedoman pada
empat arah mata angin tetap digali. Walaupun, tetap saja, pembangunan alun-alun
Bunder masih menyisakan keanehan karena berbentuk lingkaran, bukan segiempat.
Berselfie dan narsis di alun-alun bundar tidak boleh sembaranagn |
Kearifan lokal yang dilakukan Karsten dalam menyusun alun-alun Bundar tidak serta merta membuat bangunan ini bisa menjadi milik rakyat seperti alun-alun kotak. Alun-alun Bundar tetap menjadi simbol hagemoni kekuasaan kolonial atas pribumi. Apalagi, konsep pembangunan alun-alun Bunder juga dikenal dengan istilah J.P. Coen Plien. Sudah kita ketahui bersama bahwa nama J.P. Coen sendiri adalah nama seorang Gubernur Jendral Hindia Belanda pada awal kekuasaan Belanda di Indonesia. Penamaan ini bermaksud agar hanya kaum Eropalah yang boleh melaksanakan kegiatannya di tempat ini. Salah satunya adalah parade militer Belanda untuk memperingati naiknya Ratu Wilhemina. Tak satupun aktivitas rakyat pribumi bisa dilangsungkan di sana.
Selain Gedung Balaikota, di sekitar alun-alun Bunder juga
dibangun sekolah elit dan eksklusif yang
hanya dikhususkan untuk kaum bangsawan dan eropa. Bangunan HBS/AMS itu kini masih kokoh
berdiri. Menjadi kompleks SMA Tugu (SMA Negeri 1, 3, dan 4 Malang). Bangunan sekolah-sekolah
ini juga menghadap ke alun-alun bundar. Adanya sekolah tersebut semakin
mencirikan stratifikasi sosial dan rasial di kawasan alun-alun bunder.
Setelah kemerdekaan, rupanya kedua alun-alun itu masih
menyimpan fungsi kultural seperti masa penjajahan. Alun-alun Kota Malang
(alun-alun kotak) tetap menjadi sarana rekreasi yang murah meriah bagi warga
Malang. Warga Malang bisa menikmati air mancur di tengah alun-alun, duduk-duduk
manis di rerumputan, memakan sempol di pinggir alun-alun, atau sekedar selfie
untuk memanjakan hati. Tak ada banyak larangan ketika warga menjejakkan kaki di
sana. Hanya peraturan untuk tidak membuang sampah sembarangan, larangan merokok, dan tak membuat
keonaran. Meskipun petugas satpol PP
tetap mengawasinya 24 jam, rasa memiliki alun-alun sangat kental.
Berbeda dengan alun-alun kotak, hingga kini alun-alun bundar masih terkesan tertutup untuk dinikmati masyarakat lebih luas. Pagar besi yang menutup tugu membuat tak banyak aktivitas bisa dilakukan di sini. Memang, taman di alun-alun ini sangat bagus. Karena sangat bagusnya itu, maka aktivitas narsis dan sebagainya cukup terbatas untuk dilakukan di sana. Tak hanya itu, tak seperti alun-alun kotak yang sering digunakan warga berkspresi dan membuat panggung hiburan, alun-alun bunder berada pada sisi yang berbeda. Panggung hiburan dan acara seremonial hanya bisa dilakukan oleh pemerintah kota. Jika pemerintah kota berselera untuk membuat pertunjukan wayang, maka pertunjukan wayang semalam suntukpun digelar. Jika pemerintah kota berkenan bershalawat massal, maka shalawat massal akan digelar.
Meski saling beroposisi, kedua alun-alun tetap menjadi
komposisi biner yang saling melengkapi sejarah panjang Kota Malang dan
kehidupan warganya.
Sumber :
Basundawan, Purnawan. 2009. Dua Kota Tiga Zaman : Surabaya dan Malang. Yogyakarta : Penerbit Ombak.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang. 2013. Wanwacarita, Kesejarahan Desa-Desa Kuno di Kota Malang. Malang : Disbupar Kota Malang.
Handianoto dan Soehargo, Paulus H. 1996. Perkembangan Kota dan Arsiterktur Kolonial di Malang. Surabaya-Yogyakarta : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Univ. Kristen Petra dan Penerbit Andi.
Tags
Sejarah
MasyaAllah, saya tidak berpikir sampai di sana eh. Tapi ya memang beda dengan kota asal saya, Sidoarjo, di mana tata letak pusat kotanya 'sesuai' dengan adat di mana ada alun-alun, masjid, dan bangunan" pemerintahan pusat.
ReplyDeleteA really great info pak :)
nah itu yang unik, keren kan Malang ;)
DeleteWalau belum pernah singgah ke Malang atau melihat langsung alun-alunnya, dari gambaran diatas nampak nuansa masyarakat begitu menikmati keasrian alun-alunnya ditengah penatnya aktifitas harian...
ReplyDeletemonggo ke Malang mas....
DeleteBertahun-tahun tinggal di Malang belum pernah foto apalagi nongkrong di alun--alun bundar, padahal yang alun-alun kotak hampir setiap bulan pasti maen disitu.
ReplyDeleteElit beneran deh alun bundarnya hehehe
sekarang tambah keceh mbak,..
DeleteHuiiii, saya baru tau kalo malang punya dua alun2 yang beda banget
ReplyDeleteSoalnya saya kalo ke malang gak begitu nyimak alun2nya, pernah mampir cuma sekali, itupun masih belum paham. Kurang leluasa, belum menikmati alun2nya
Ehya, saya jadi pengen bikin tulisan tentang alun2 lumajang dan jember. Cukup greget sih hahaha
lha, ke mana aja mbak? hihi
Deleteayo ditulis, saya juga pernah liat alun2 jember asyik sih rameee gitu
sangat sungguh lengkap ruang terbuka hijau yang ada di Malang teh yah...ada khusus untuk rakyat jelata, ada juga RTH yang dikhususkan untuk para petinggi kota Malang,kurang apalagi coba?....tinggal pada istiqomah deh warga Malang teh atuh.
ReplyDeletemang akun disqusnya di kasih URL blognya biar gampang BW in baliknya
sip itu yang diharapkan mang,,
Deleteoke siap biar lebih mudah/../
Alon2 ini sekarang jadi tempat nongkrong murah meriah yaaaa
ReplyDeletebenget bang Cumiii
DeleteBerkali-kali ke Malang, tapi belum pernah sekalipun berkunjung ke Alun-alun MAlang. Hanya ke tempat wisata mainstream saja.
ReplyDeletesilahkan ke Malang mas, sekaramg asyik banget lho/.
Deletewah baru tau kalo di Malang ada 2 alun2 :D
ReplyDeleteiya mbak,,, ada 2
DeleteAda kasta2an gitu ya alun-alunnya, dan ada sejarahnya pula. Aduh itu ada yang kongkow sambil nginjek rumput :D
ReplyDeletesekarang udah bebas sih mbak kedua2nya
Deletecuma di alun2 bunder2 gak bisa bebas mbak
wah iya sedih yaa
Sungguh indah sekali, alun-alun yang rapi. Jadi pingin main ke sana.
ReplyDeletemonggo ke malang mbak...
DeleteBiasanya pendopo Bupati kan sebelah selatan alun-alun ya kalau Jawa
ReplyDeletetepat mas, tapi ini di timur, gak menghadap alun2 pula...
DeleteSuka banget liat foto taman kota di berbagai daerah, masih cakep-cakep, terawat dan bersih banget.. Semoga bisa terus berfungsi dengan baik ya mbak taman kota tersebut.. Soalnya memunculkannya susah, tapi merawatnya jauh lebih susah ya..
ReplyDeleteiya sepakat, semoga bisa seperti itu
Deletebtw saya mas lho :)
Itu cewek-cewek yang nginjak rumput sexy banget yak. #gagalfokus
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
Deletehayo mas...
DeleteBuat sore-sore bersama keluarga pasti asik, alun2 skrang mah rame dan lebih nyaman kalau buat duduk-duduk santai :)
ReplyDeleteiya, enak banget kalo di alun2...
DeleteAh malang. Selalu kangen dengan jajanannya yang murah.
ReplyDeleteAyok sam! Nang ngalam! Njajan sempol dek alun2
Deleteayo mas Riza. tak golekno mas2 engkok ndek Malang, uakueeeh lho karo mangan sempol haha
DeleteAda sedikit cerita yang berbeda soal alun alun tugu dengan pengetahuan saya mas. Barangkali berbeda sumber ya. Bookmark dulu deh untuk nanti di kunjungi kembali. :)
ReplyDeletewah iya mas? kalo dari 3 sumber literasi yg saya baca ya yang saya tulis ini. mungkin lain kali bisa ditulis sebagai pembanding. namanya sejarah kan banyak versi :)
DeleteOhhhh jadi gitu. Pantesan... Terjawab dah sekarang.
ReplyDeleteBtw malang tambah kipa yo sam? Mariki ayas balik ngalam 💃🏼💃🏼
nah kejawab mbak
Deleteayo mbak lek nang Malang kabar2 cek iso dulin bareng...
artikelnya bagus ,
ReplyDeleteini referensi darimana ya nulisnya ?
Saya juga punya blog tentang Pengetahuan sistem Listrik bisa di lihat2 artikelnya gratis > Pengetahuan Listrik < pengetahuan-listrik.blogspot.com
terimakasih
Deleteada di bawah mas, lain kali dibaca sampai tuntas ya :)
Ooh Malang punya dua alun-alun toh. Baru tau saya hehe.
ReplyDeleteBagus nih mas postingannya selain sbg referensi destinasi juga nambah wawasan sejarah
Dua alun-alun yg kami singgahi krn murah meriah hehe.. Tak pernah dilupa karena emang cantik-cantik tatanannya
ReplyDeleteMakasih Mas sharingnya, kalo saya prefer di Alun2 kotak sebab bisa sekalian ngemong anak karena di sana ada playgroundnya.
ReplyDelete