“Pak, si I kesurupan lagi!” seru seorang murid kelas saya
yang baru saja pamit dari kamar mandi.
Alamak, saya langsung berlari pergi ke kelas sebelah. Kaki
saya sempat terantuk meja. Benar saja. Di kelas sebelah, anak-anak sudah
mengerubuti I, salah satu siswi yang kesurupan. Anak laki-laki mencoba memegang
tangannya. Yang lain, ada yang mencoba mengoleskan minyak kayu putih, memijati
kakinya. Ada pula yang malah tertawa seolah ada pertunjukan menarik.
“Sudah, yang lain minggir dulu. Kamu panggilkan Pak A (Guru
Agama)! Cepat!” saya menyuruh anak-anak untuk keluar kelas. Kondisi tenang
sangat diperlukan saat itu. Tak lama, rekan guru agama pun datang.
Alhamdulillah, saya tak terlalu was-was. Paling tidak, saya tidak sendirian.
Saya pegang kedua tangannya. Rekan saya memijit kedua
kakinya sambil membacakan surat-surat pendek. Si I masih meronta. Bukan pepesan
kosong, saya kewalahan. Ia adalah atlet renang junior yang sering menyabet medali
emas di berbagai kejuaran, bahkan pernah sampai tingkat nasional.
Jujur, perut saya ikut mual. Entah karena saya belum makan,
namun karena ini pertama kali saya menghadapi anak kesurupan, maka saya mecoba
untuk (gak ikutan) kesurupan. Sorot mata anak itu tajam menatap saya seolah
akan memberontak.
Hampir setengah jam ia kesurupan. Untunglah, setengah jam
kemudian, ia sudah siuman dan langsung lemas. Sayapun bisa bernafas lega. Air
putih segera saya berikan. Ia pulih seperti sedia kala. Namun, rupanya
kejadian kesurupan ini berlangung lagi beberapa hari kemudian. Bahkan,
teman sekelas si I, yakni si H, juga ikut kesurupan. Malah, kali ini lebih
parah. Sering si H merancu akan membunuh si I, dan hal itu ditanggapi oleh si I
dengan histeris. Sangat ketakutan kalau dia akan benar-benar dibunuh. Saya
lemas dan bergumam, “Apalagi ini?”
Yah meski bukan murid kelas saya sendiri, tapi saya juga
kepikiran. Anak-anak di kelas saya jadi gak konsen ketika dua anak di kelas
sebelah itu kesurupan. Belum lagi, kalau guru kelas sebelah sedang ada tugas
keluar, saya harus menunggu dua kelas, di mana kelas satunya berpotensi untuk
kesurupan. Bapak KS sudah berupaya untuk mengusir makhluk halus dari
tubuh kedua murid ini. Beliau mendatangkan ahli rukyah yang pernah diundang di
acara Trans 7. Kami para guru juga diberi kekuatan spiritual agar mampu
menghadapi anak-anak yang sedang kesurupan.
Proses rukyah pun dilakukan. Kedua anak langsung menjerit,
histeris, menangis, dan meronta-ronta. Memang, saat itu sang makhluk halus bisa
diusir pergi, namun beberapa hari kemudian datang lagi dengan perilaku kedua
anak yang semakin aneh. Ketika si I batuk, maka si H juga batuk. Ketika si H
ingin ke kamar mandi, si I juga ingin melakukannya. Aduh, saya semakin gagal
paham.
Atas saran dari perukyah, maka kelas yang ditempati kedua
anak tadi harus dipindah. Alasannya adalah ada dua makhluk jin yang cukup
mengganggu. Mereka senang dengan mural di tembok belakang kelas. Kebetulan,
tembok di belakang kelas tersebut bergambar anak-anak yang berpakaian adat.
Kalau dilihat seksama sangat hidup. Oh, jadi ini biang keroknya.
Saya lalu melihat kelas saya sendiri. Wah, ternyata ada
gambar anak-anak bermain layang-layang, namun dalam bentuk foto, itupun sangat
kecil. Tak apalah, semoga tak ada yang mengganggu. Akhirnya, kelas sebelah saya
berpindah dengan kelas lain. Meski sudah pindah, kedua anak itu masih saja
kesurupan. Dengan polah yang juga sama. Akhirnya, Bapak KS sepakat untuk
memisahkan salah satu anak ke kelas saya. Pilihan jatuh kepada si I.
Oke, tak apa. Bismillah, semoga tak ada kejadian kesurupan
lagi. Si I saya beri perlakuan khusus. Bukan karena apa, karena kondisinya yang
belum stabil. Saya ajak anak-anak untuk menerima I dengan tangan terbuka. Dan
saya tekankan agar kami tetap bisa kuat menghadapi hal-hal yang tidak terduga
kapanpun itu. Alhamdulillah, sejak dipindah ke kelas saya si I sudah tak
kesurupan lagi. Ia mulai bisa kembali normal seperti sedia kala.
Dari cerita yang saya dengar darinya, ia memang cukup tak
nyaman dengan kondisi teman-teman di kelasnya dulu. Banyak yang tak menyukainya
lantaran mungkin ia dianggap menjadi anak emas di sekolah dari prestasi
kejuarannya. Padahal, sekolah ya tak terlalu bersikap berlebihan terhadap
prestasinya. Kalau sedikit apresiasi, ya wajarlah. Inilah mungkin yang menjadi
awal petaka ia dan temannya mengalami kesurupan. Si I juga jarang sekali
mendapat perhatian orangtuanya lantaran sibuk dengan pekerjaannya. Belum lagi,
kondisi psikis anak kelas 5 yang masuk pubertas awal, saat ada perubahan sifat
seperti terpengaruh jika ada teman/kelompoknya yang menonjol, membuat mereka
berdua sering kesurupan. Intinya, kesurupan juga banyak dipengaruhi kondisi
mental yang sedang tidak baik. Maka pertebalah iman saudara-saudara.
Saat ini, ia sudah duduk di kelas 6. Saya sesekali memantau
kondisinya. Alhamdulillah, ia sudah tak lagi mengalami kondisi seperti saat
kelas 5 dulu. Yah, semoga ia tak lagi mengalami hal itu.
Epilog :
Saya : “Pak, gimana awalnya si I kok bisa kesurupan?”
Perukyah : “Ia lihat orang bertubuh besar di belakang kelas. Ia
lalu ke I,Pak, mau mencekiknya”
Saya : (ngetes) : “Kalau di kelas ini, ada gak?”
Perukyah : “Ada Pak. Kemungkinan di atas lemari, Pak.
Lemarinya kotor ya”
Saya : “Oh iya,
kemarin habis akreditasi banyak sampah di situ.”
Saya pun segera membersihkan lemari. Tempat kotor kan
kesukaan begituan. Kalaupun ada, baik-baik ya. Jangan ganggu anak saya. Atau
situ yang malah takut sama saya? Xixixixi.
Tags
Catatanku
Menangani anak yang lagi kesurupan memang agak kewalahan sih. Saya pernah membantu teman yang lagi kesurupan, ia meronta-ronta, tenaganya jadi kuat.
ReplyDeletebenar, rata2 yg masuk cowok mas jadi tenaganya besar
DeleteSekolah emang banyak yg jagain ya, termasuk makhluk halus hoho
ReplyDeleteGa bayangin kalo aku yg jd gurunya, bakal banyak yg mampir wong aku ga bs rapi kalo sama berkas2 😁
iya mbak, yg gak asyik kalo ganggu anak2
Deleteeh tapi ganggu kita juga gak asyik sih
Untung hantunya gak minta duit ya mas?
ReplyDeletewah iya kalau itu saya yang pusing mas haha
Delete