Bagi anak-anak Malang Generasi 90an, berlibur ke Kebun
Binatang Surabaya (KBS) adalah sesuatu hal yang wah dan membanggakan.
Liburan caturwulan akan sangat berharga bila orang tua atau
sekolah mengajak anak-anak ke sana. Tentunya, destinasi lain seperti Pantai
Kenjeran dan Tugu Pahlawan menjadi tujuan utama. Berlibur ke Surabaya menjadi
hal yang sangat diidam-idamkan.
Terakhir kali saya mengunjungi tempat wisata ini sekitar
tahun 1999, saat duduk di bangku kelas 3 SD. Saat itu, saya sedang menghadiri
resepsi pernikahan sanak saudara di daerah Jagir, Wonokoromo. Selepas
menghadiri resepsi, keluarga besar mengajak anak-anak mengunjungi KBS. Hampir
seharian kami berada di sana. Melihat aneka satwa yang sangat memesona.
Ditambah lagi, banyak fasilitas yang ditawarkan membuat kami betah. Fasilitas
asyik yang paling saya ingat adalah permainan mandi bola. Sesuatu yang cukup
mewah pada saat itu.
Kini, sudah hampir 17 tahun berlalu sejak saya terakhir
mengunjungi tempat ini. Saat saya mulai jarang pergi ke Surabaya dan fokus
menata kehidupan di kota kelahiran. Di saat kehidupan saya hanya berkisar di
kota kelahiran, saya hanya mendengar desas-desus yang tidak mengenakkan mengenai KBS. Entah
masalah konflik kepentingan, aneka satwa yang mati dan kekurangan gizi, hingga
adanya masalah lain. Saya hanya mendengar dan membaca berita KBS. Menurut
berita yang saya baca, kondisi KBS lama-lama semakin memprihatinkan.
Liburan panjang akhir tahun 2016 memberi kesempatan saya
untuk mengunjungi Surabaya lagi. Tiba-tiba, saya berniat untuk mengunjungi KBS.
Saya hanya ingin tahu bagaimana sih kondisi KBS sekarang. Pagi itu, saya datang
sendirian. Ternyata, di sana sudah ramai pengunjung. Panasnya udara yang menyengat tak menyurutkan
langkah saya. Toh ini di Surabaya kan. Jadi, harap maklum.
Meski ramai, antrian di loket tak terlalu panjang. Atau
memang jumlah loket yang banyak membuat tak membuat antrian mengular. Dengan
15.000 ribu rupiah, saya mendapatkan sebuah tiket masuk berupa gelang yang
mirip dengan gelang di wisata aduhay, Jatim Park. Seorang Bapak menyapa saya.
Beliau membantu saya untuk memakaikan gelang. Dengan bahasa Surabaya yang khas,
Bapak ini mencoba membuat saya tertarik untuk segera masuk. Sebuah sambutan
yang membuat pengunjung merasa, tidak ada yang aneh di KBS. Tidak ada masalah
di KBS. Semuanya, baik-baik saja.
Baik, saja mencoba untuk berprasangka baik. Bukankah
prasangka baik adalah anjuran dalam agama? Saya mencoba menjadi wisatawan yang
belum pernah mengunjungi KBS. Mencoba menikmati setiap sisi dan mengeksplorasi
aneka satwa di dalamnya.
Memasuki bagian pertama, saya menemukan kembali memori saya
dengan para unggas dari aneka jenis. Ciutan unggas tersebut kembali mengulang
kenangan saya pernah terpeleset di depan sangkar burung hantu. Saat itu, saya
sangat antusias untuk melihat burung hantu dari dekat. Sesuatu yang sangat
mahal bagi saya. Meski tak menangis, memori itu tiba-tiba berputar lagi.
Sekarang, saya menemukan seorang anak yang hampir terpeleset lagi saat menaiki
anak tangga tempat pengunjung bisa selfie. Ah zaman memang telah berubah. Anak
sekarang lebih tak sabar memotret diri.
Pihak pengelola KBS rupanya juga mengikuti zaman dengan
menyediakan spot untuk berfoto. Meski sedikit dan bagi saya tak terlalu
istimewa, namun usaha ini saya acungi jempol. Berfoto adalah komoditas pokok
saat ini. Bukan begitu?
Saya lalu mengunjugi tempat lain. Ada aneka kura-kura,
burung merak, dan tiba-tiba saya memutuskan untuk melihat beruang madu yang
lucu itu. Memori saya berulang lagi. Saya pernah berontak dari ajakan ibu untuk
segera meninggalkan tempat itu. Saat itu, saya sangat terkesan dengan badan
beruang yang berwarna hitam. Sangat berbeda sekali dengan apa yang saya lihat
pada karakter tokoh Winnie The Pooh. Saya jadi tersenyum geli mengingat memori
itu. Tapi, saat saya mengunjungi ini lagi, tak banyak anak-anak yang antusias
dengan sang beruang. Malah, karena kandang beruang yang lembab dan berbau,
banyak pengunjung yang tak berlama-lama berada di sana. Entah karena memang
bekas hujan deras malam sebelumnya, tapi saya juga merasakan ada yang salah
dengan kandang beruang ini.
Perjalanan saya lanjutkan ke tempat istana para kera. Di
sini, para pengunjung sangat antusias melihat kera yang begitu banyak. Meski
lagi-lagi, kondisi becek dan bau yang cukup menyengat saya rasakan, tapi saya
cukup terhibur. Bagi saya, para kera adalah hewan paling semangat diantara
hewan lain di KBS ini. Mereka melompat, saling berguling, hingga mencoba
berenang di sekitar genangan air. Inilah salah satu daya tarik tempat ini.
Puas dengan sang kera, saya melanjutkan perjalanan ke sang
gajah. Binatang bertumbuh tambun ini masih menjadi favorit saya. Saya selalu
kagum dengan porsi makannya yang luar biasa. Di sini saya kembali bernostalgia.
Takut berfoto dengan sang gajah karena jarak saya dengan gajah cukup dekat.
Tapi, kini berbeda. Mungkin, karena untuk keamanan, kaki sang gajah dirantai.
Jadi, ia tak bergerak dengan leluasa sehingga saya bisa memotretnya.
Saya pun kembali melanjutkan ke tempat hewan lainnya. Ada
rusa, unta, kuda nil, dan yang paling saya suka adalah kangguru. Kangguru khas
Indonesia yang tinggal di Papua. Saat sekolah dulu, saya masih sering tidak
percaya kalau ada kangguru yang hidup di Indonesia. Meski guru saya sering
membahas hewan tipe Australia dengan kangguru salah satu diantaranya, saya
masih belum seratus persen percaya. Saya belum melihatnya langsung. Dan di KBS
ini, saya bisa menemuinya. Saat di Jatim Park II Batu dulu, sang kangguru
sedang tak tampak.
Lalu, sejenak saya melepas lelah di sebuah kursi panjang.
Melihat canda tawa anak-anak riang gembira menaiki sebuah rupa hewan. Ah, saya
juga masih ingat dulu senang sekali naik benda itu. Berfoto dengan kamera
klise, saya sering tak sabar saat mencetaknya. Kini anak-anak itu bisa dengan
mudah diabadikan oleh orang tuanya.
Sayang, saya tak bisa lama-lama duduk di sana. Lagi-lagi,
bau yang cukup menyengat membuat saya ingin segera pergi. Mungkin lagi, akibat
derasnya hujan semalam membuat kondisi becek dan tak enak. Sayapun bergegas
menaiki wahana perahu yang belum pernah saya coba. Wahana dengan tarif 10 ribu
rupiah ini akan membuat pengunjung merasakan sensasi berbeda. Dulu, saya belum
sempat menaikinya lantaran waktu yang terbatas.
Rupanya, penumpang harus memakai life jacket. Wah, saya agak parno, mungkin ada buaya di dalam danau.
Tapi tak apa, toh ini juga untuk keselamatan juga kan? Perahu yang saya naiki
akan memutari danau di dalam KBS. Di tengah danau terdapat tempat tinggal
semacam beruk (saya lupa namanya) yang bergelantungan. Asyik sih, sambil
melihat pemandangan unik itu, kita bisa naik perahu. Perahu yang saya naiki
juga menyediakan pemandangan berbeda. Ada semacam pepohonan rindang seperti
hutan di kiri kanan, namun nun jauh di sana, ada pemandangan gedung bertingkat.
Dan ini, ada di tengah Kota Surabaya. Membaca masalah KBS saya jadi sedih dan
berharap jangan sampai tempat ini ditutup dan berganti aneka tempat hedonis
yang merajalela.
Setelah menaiki perahu, saya pun harus mengakhiri perjalanan
nostalgia masa kecil saya. Sebelum pulang, saya melihat sebuah papan
bertuliskan wisata ini telah berusia satu abad. Usia yang spesial. Meski banyak
hal yang menurut saya KBS benar-benar dimakan usia, tapi KBS masih ingin
menunjukkan eksistensinya. Meski ada banyak saingan seperti Jatim Park II yang
jauh mentereng, mengunjugi KBS menyuguhkan suasana berbeda. Saya tak harus
melihat satwa dari balik kaca seperti di Jatim Park II. Saya tak harus
berdesak-desakan dengan pengunjung lainnya. Saya tak perlu merogoh kocek lebih
dalam. Saya bisa puas membawa makanan dari luar. Selain itu, saya kembali
bersnostalgia masa kecil saya. Saya juga menemukan kesederhanaan para
pengunjungnya. Dan, yang paling saya suka adalah, tempat ini tak hanya mengejar
keuntungan semata, tapi juga turut menyelaraskan alam yang berguna bagi anak
cucu kita.
Meski terlambat, selamat ulang Tahun KBS. Semoga tetap
berjaya.
Saya malah belum pernah ke KBS mas. Jatim Park malah pernah.
ReplyDelete