Masih cerita di Bali
Pada awalnya, Bapak KS meminta saya untuk mencari sebuah
sekolah di Kota Denpasar. Tujuannya, tak lain dan tak bukan sebagai obyek untuk
studi banding. Mulanya, saya menemukan sebuah sekolah swasta berciri khas
muslim di tengah Kota Denpasar. Sekolah tersebut menurut saya cukup
representatif dijadikan obyek studi banding. Namun, Tuhan berkata lain. Hingga hari-H
keberangkatan, sekolah yang saya tuju tak kunjung memberikan infromasi. Jangankan
informasi, nomor telepon sekolah tersebut sangat susah dihubungi.
Nah, karena terlanjur izin ke Diknas karena guru-guru libur
1 hari, maka kami harus mencari 1 obyek yang sekiranya bisa dijadikan alasan
untuk studi banding. Dan, pilihan jatuh kepada Museum Bajra Sandhi.
Sekitar tengah hari, kami tiba di pusat Kota Denpasar. Saya sudah
siap mental akan berjibaku dengan panasnya kota itu. Di sebuah jalan bernama
jalan Puputan, sebuah bangunan seperti candi berukuran ebsar terlihat di tengah
hijaunyan tanah lapang. Setelah turun, saya segera menuju ke pintu masuk. Biar harus
mengelilingi lapangan, tapi tak apa. Tempat ini kelihatannya asyik.
Memasuki pintu masuk, saya harus menaiki beberapa anak
tangga. Di bagian depan, terdapat taman yang sangat indah. Di tengahnya, ada
jalan setapak yang bisa digunakan sebagai foto sebelum menikah. Ketika langkah
kaki saya menuju bangunan utama, jejeran beberapa arca tegak berdiri seakan
menyapa saya. Pancaran air dari kolam besar di sisi kanan kiri menambah
kesegaran.
Salah satu arca |
Memasuki bagunan utama, saya seakan takjub dengan ornamen
khas Bali yang begitu indah. Bangunan utamanya sendiri terdiri dari 3 bagian,
yakni lantai bawah (Nistaning Utama Mandala), Lantai tengah (Madyaning Utama Mandala), dan
lantai atas (Utamaning Utama Mandala). Di lantai bawah terdapat ruang
informasi, ruang perpustakaan, dan ruang pameran. Nah, inti dari monumen ini
terdapat sekitar 33 diorama yang menceritakan sejarah Pulau Dewata dari masa
prasejarah hingga sekarang. Sayangnya, diorama di museum tersebut tidak
mengeluarkan suara seperti pada Museum Tugu Pahlawan Surabaya. Meski begitu,
saya sudah cukup puas dengan fasilitas diorama tersebut karena sudah lengkap
menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi di Pulau Bali sejak dahulu kala.
Dari diorama tersebut, saya jadi baru tahu kalau banyak
sekali pertempuran melawan penjajah yang ada di Bali, selain Puputan Margarana
yang terkenal. Diantaranya adalah Pertempuran Jagaraga dan beberapa pertempuran
lainnya. Saya juga bisa banyak tahu jika unsur animisme dan dinamisme pada
masyarakat Bali berangsur-angsur menyatu dengan kepercayaan Hindu secara
perlahan. Semua digambarkan dengan apik dalam diorama yang terdapat informasi
dalam 3 bahasa (Inggris, Indonesia, dan Bali).
Diorama Perang Jagaraga |
Puas melihat diorama, saya lalu ke bagian atas. Untuk menuju
ke sana, saya harus menaiki anak tangga yang melingkar. Lumayan juga, karena
lantai atas adalah puncak museum tersebut. Meskipun dengan susah payah,
akhirnya saya sampai di atas. Dan, perjuangan saya tidak sia-sia. Saya bisa
melihat panorama Kota Denpasar dari ketinggian. Rasanya, hati saya sangat
tenang. Saya bisa merasakan kedamaian di sana. Belum lagi, ruangan yang terlalu
panas membuat saya betah. Sayang, saya tidak sendirian dan ikut bersama
rombongan sehingga saya harus lekas turun.
Bapak KS sedang berpose di puncak museum. Tahun depan Bapaknya sudah pensiun, jadi beliau mengajak kami ke Bali |
Pemandangan Kota Denpasar dari atas |
Asyik kan? |
Sesampainya di bawah, saya seperti enggan beranjak. Saya terus mengambil foto. Dan, saya bisa membuat kesimpulan jika berlibur ke Bali, rasanya tak lengkap tanpa pergi ke sini.
Masih narsis |
Dan bintangnya narsis lagi |
pingin jalan-jalan ke bali, tapi blm keasmpaian
ReplyDeletesilahkan ke Bali mas,
Deleteasyik2 kok tempat wisatanya