Jujur sih, sebenarnya saya kurang begitu mengikuti up date
perkembangan demo hari ini.
Apalagi, pagi tadi ada salah seorang anak Kelas 4 yang
tertabrak sepeda motor dengan luka yang cukup parah. Jadi, pikiran saya
sebagian besar di situ. Tapi entah kenapa, rupanya Allah SWT kok membuat saya
harus “mengikuti” demo tersebut, meskipun tidak secara langsung.
Saat perjalanan menuju ke sana, saya melihat barisan polisi
berjajar di pinggir alun-alun. Pemandangan lalu memutih dengan ribuan orang
yang berada di dekat sana. Saya sempat ragu apakah saya tetap Sholat Jumat di
sana atau mencari masjid lain. Bukan apa-apa, hati saya masih belum sreg karena
saya memang tak terlalu suka dengan keramaian massa yang banyak.
Akhirnya, saya pun memarkir motor di perbelanjaan Sarinah. Di
sini juga banyak para pendemo yang memarkir motornya. Setelah selesai urusan
memarkir motor, saya lalu bergegegas menuju Masjid Jami’. Tak seperti biasanya,
jamaah masjid ini didominasi oleh para pendemo yang berbaju putih-putih, bukan
para pekerja kantoran dan sekolah yang berada di dekat sana. Saya merasakan
seperti mengikuti pengajian Riyatul Jannah atau Ar-Ridwan, dua pengajian akbar
di kota saya yang pernah saya ikuti semuanya. Yah seperti layaknya pengajian
pada umumnya. Mereka bergerumbul dalam satu kelompok sesuai daerah/komunitas
masing-masing. Yang membedakan, mereka membawa spanduk berisi tulisan untuk
melawan penistaan agama islam. Simbol-simbol perlawanan ini mereka simpan pada
pojok-pojok di sekitar alun-alun. Karena akan beribadah, saya yakin, urusan itu
pasti dinomersekiankan dulu.
Memasuki pelataran Masjid Agung Jami’ suasana semakin riuh. Tanpa
dikomando, ribuan pendemo menyesaki bagian dalam masjid. Dalam sekejap, masjid
ini sudah penuh sesak, tak tersisa sejangkal pun. Bahkan, banyak yang sholat di
luar masjid. Alhamdulillah, saya masih mendapat tempat di serambi lantai 2. Posisi
yang tepat untuk melihat keadaan dari luar.
Pemandangan dari serambi lantai 2 masjid |
Khutbah pun dimulai. Khutbah kali ini bagi saya yang paling
berkesan. Sang khotib menyerukan bahwa umat muslim saat ini sedang mengalami
ujian kesabaran yang luar biasa. Ujian ini berupa dinistakannya agama islam
untuk kepentingan tertentu. Ujian ini sebenarnya bisa menjadi tolak ukur
keimanan umat islam. Maka dari itu, kita harus bisa menyikapinya dengan sabar
luar biasa.
Nah sabar luar biasa ini yang saya tangkap bukan berarti
kita pasrah dan sabar sesabar-sabarnya. Kita harus bisa mengendalikan emosi. Emosi
adalah jurang kekalahan umat islam pada perang yang pernah terjadi, semisal
perang Uhud. Pada perang itu, kita sudah tahu umat islam mengalami kekalahan
karena tak bisa mengendalikan emosinya. Labil dengan keadaan sehingga kaum
kafir Quraisy dengan mudah mengalahkan umat islam. Nah maka dari itu, umat
islam harus bisa sabar sambil melakukan tindakan yang cerdas. Tindakan ini tak
lain adalah mempererat ukhuwah islamiyah, karena bagaimanapun satu umat muslim
dengan umat muslim lainnya adalah bersaudara. Jika umat islam bersatu, segala
apapun masalah akan bisa dihadapi. Jangankan masalah penistaan agama sekecil
ini, masalah perang dengan manapun umat islam akan bisa menang.
Anak-anak melihat para pendemo. Bagi anak-anak, histeria massa adalah sesuatu yang menyenangkan |
Isi khutbah ini membuat saya tidak mengantuk. Membuat pemikiran
“sekuler” saya berkurang. Bukan apa—apa, saya termasuk tipe orang malas
berdebat. Pasti kalah karena kemampuan saya seberapa. Mengapa saya sebut
pemikiran saya “sekuler”? Karena saya ingin menempatkan agama yang saya anut
pada porsi sesuai tempatnya. Hidup pada masyarakat yang heterogen, saya tak
bisa sedikit-sedikit membawa nama agama. Meski begitu, ketika agama saya
dilecehkan, saya juga marah. Tapi, saya punya cara marah yang lain. Sebagai seorang
guru di sekolah negeri yang (alhamdulillah) 100% siswanya beragama islam, saya
berusaha semaksimal mungkin mendidik anak-anak menjadi geberasi islam yang
berkualitas. Penerapan nilai-nilai islam bisa dengan leluasa saya ajarkan di
samping kemampuan di bidang pengetahuan umum. Saya ingin, anak-anak saya nanti
bisa menjadi generasi islam yang luar biasa sehingga tak dilecehkan lagi oleh
orang/umat nonislam. Tak ada lagi generasi islam yang korupsi, maling, teroris,
urakan, mudah diadu domba, dll. Itulah cara marah saya. Saya bukan tidak mau
ikut membela islam dengan demo karena bagi saya, tindakan itu sia-sia. Bagi saya,
lho, bukan bagi para pendemo. Berapa waktu yang saya korbankan untuk
meninggalkan anak-anak dan meninggalkan pekerjaan untuk anak-anak? Inilah jawaban
bagi teman-teman yang alhamdulillah pernah mengecap saya sekuler dan liberal.
Pendemo bersiap-siap |
Seusai khutbah, para pendemo mulai menata diri. Beberapa dari
mereka membagikan pin 4 November. Teriakan Allahu akbar mulai menggema. Saya tambah
merinding. Inilah islam sesungguhnya. Demo pun dimulai. Sayang, beberapa
diantara pendemo masih tidak tertib dan harus diperingatkan berkali-kali oleh
pemimpin mereka. Banyak yang keluar dari jalur yang seharusnya mereka lewati. Akibatnya,
pengguna jalan menjadi korban.
Seruan pendemo anti-Ahok. Lho ada bapak guru pakai PGRI. Pak, kita demonya nanti tangal 25. (Siapin yel-yel naikkan Gaji GTT) |
Inilah yang saya sesalkan karena masih banyak umat muslim
yang bertindak primitif. Tindakan yang mencedarai umat islam lain. Sama halnya
dengan ungkapan kebencian yang terus mengalir. Saya mengapresiasi teman-teman
yang mendukung gerakan ini namun dengan cara yang baik. Tapi, saya sangat benci
dengan umpatan, makian, hasutan, dan sejenisnya. Itu semua tak pernah diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Bagi saya, para oknum tersebut bukanlah umat Rasulullah
SAW. Selain itu, saya juga tak suka dengan para pengolok-olok demo, apalagi
yang terlewat batas, seakan-akan dirinya sebagai “Allah SWT”. Tunggulah, azab
pedih akan menimpamu, Nak. Kelakuan semacam ini juga bisa menimbulkan
perpecahan. Beda pendapat silahkan, tapi mengolok-olok jangan.
Pendemo mulai bergerak lagi |
Alhamdulillah, demo berjalan lancar. Dari layar kaca dan
medsos, banyak aksi pendemo yang membuat saya bangga, semisal mereka memungut
sampah dari buangan yang mereka hasilkan. Belum lagi, tindakan simpatik lain. Semoga
kasus ini bisa segera selesai. Kita tak mau kan terus larut dalam masalah ini
dan lupa untuk maju ke depan?
(Mohon maaf tidak mengutip ayat)
(Ternyata demonya ada yang rusuh, ya sudah saya mau tidur,
sudah capek)
Sekian, mohon maaf lagi jika ada kesalahan karena tempatnya
kebenaran adalah Allah SWT. Terima kasih.
Tags
Jepretanku