Langkah kaki saya segera disambut seorang pria yang
tergopoh-gopoh membukakan pintu
Dengan senyuman hangat, pria tersebut mempersilahkan saya
masuk. Tak hanya itu, dia menanyakan kepada saya akan duduk di mana. Setelah saya
membuat keputusan penting, pria tersebut mengantar saya ke kursi kebesaran. Kursi
yang akan saya tempati ia geser agar saya bisa duduk dengan nyaman. Lalu,
rangkaian menu masakan khas Italia ia suguhkan. Saya jadi jumawa. Meski saya
bukanlah seorang raja, mendapat perlakukan istimewa juga membuat bahagia. Setelah
menimbang dan memutuskan, saya memilih untuk memesan pizza berukuran kecil dan
segelas cokelat hangat. Pria tesebut lantas mencatat pesanan saya dan meminta
saya untuk menunggu sebentar. Dia lalu pergi sambil tetap memberi senyuman
khasnya.
Si Masnya yang melayani saya |
Saya lalu mengamati ruangan yang saya tempati sekarang. Entah
kenapa, tiba-tiba saya merasa lapar dan harus ke sini. Sebuah tempat yang bisa
belum ngehits secara fenomenal. Tempat yang mungkin tak banyak orang tahu. Atau,
memang orang-orang tidak boleh tahu. Mata saya langsung tertuju pada detail
ornamen pada dinding kedai tersebut. Simpel dan kelihatan segar. Apalagi,
beberapa bagian dari ruangan tempat tersebut terdapat spot untuk berfoto,
layaknya tempat instagramabel lainnya. Saya merasa tentram berada di sana. Ketentraman
saya menjadi lengkap karena tak ada orang lain di tempat itu, selain saya,
pelayan tadi, dan sang kasir. Ya, keintrovertan saya menjadi maksimal saat
berada di situ.
Segera makan pizzamu atau kamua hanya ingin pamer. Ya, saya setuju ini. |
Pelayan tadi membawakan pesanan saya beberapa saat kemudian
dan membuyarkan lamunan saya. Saya segera menyantap pizza pesanan saya. Lumayan.
Tak terlalu buruk. Setiap santapan saya nikmati sambil terus menerka mengapa
tempat ini begitu sepi. Saya lalu menerawang, mungkin ada banyak hal yang
membuatnya demikian.
Si Pizzanya saya foto juga, Harganya 25 ribu. Bagaimana menurut anda? |
Pertama, tentu masalah promosi yang kurang. Saat saya
mengunggah foto sedang makan di tempat tersebut, teman saya banyak yang
bertanya di manakah gerangan saya. Saya pun menjelaskan lokasinya. Dan, banyak
dari mereka yang tidak tahu. Lantas, radar cenanyang saya membuat saya membuka
akun jejaring sosial milik kedai tersebut. Ternyata, kedai tersebut sudah
memikim akun IG dan cukup banyak juga pengikutnya. Tapi hati kecil saya masih
bertanya. Mengapa saya menjadi pengunjung satu-satunya saat itu. Padahal, saat itu
sedang sore hari menjelang magrib. Saat hari sabtu juga. Mungkin kedai ini baru
ramai selepas malam menjelang.
Kedua. Lokasi yang tak terlalu strategis. Bisa jadi demikian
bisa jadi bukan. Lho?
Meskipun dekat dengan pusat perbelanjaan dan berada di jalan namun entah kenapa orang sulit untuk menemukannya. Saya jadi ingat saat kedai
pangsit mie yang berada di depan rumah sakit tentara. Letaknya persis di tepi
jalan menanjak. Saat saya memarkir motor, saya cukup kesulitan karena harus
melawan gaya gravitasi.
Ketiga, mungkin ada faktor X yang membuat kedai ini sepi. Apalagi kalau bukan faktor mistik. Banyak kedai yang tutup gara-gara faktor ini. Sebagai umat
beragama, saya sih antara percaya dan tidak percaya dengan hal ini. Kadang, kedai
tersebut dibuat tidak terlihat oleh pesaing di dekatnya sehingga saat ada
pelanggan yang ingin membeli, kedai tersebut nampak tutup.
Keempat, mungkin ada faktor lain yakni belum ada rezeki dari
Yang Maha Kuasa. Saya juga masih ingat, warung nasi padang di seberang rumah
saya yang gulung tikar karena sepinya pengunjung. Padahal, saya sudah memberi 4
jempol masakan padang ini. Selain rasanya enak, sang penjual juga memberi sayur
dengan jumlah banyak. Pokoknya mantap. Sayang, usahanya hanya bertahan sekitar
3 bulan. Yah mungkin ada tempat lain yang bisa membuat warung nasi padang
tersebut laku.
Meski sepi, saya senang jika makan di tempat-tempat seperti
itu. Selain mendapat ketenangan, saya bisa dilayani dengan cepat. Tak perlu
menunggu lama untuk menikmati hidangan yang saya inginkan. Terutama, jika
sedang lapar. Dibandingkan makan di tempat yang sudah banyak pembeli, saya tak
harus mengantre dan merasa kesal karena tak segera terlayani. Malahan, saya
mendapat perlakuan istimewa bak seorang raja.
Yang terakhir, saya juga turut bahagia saat penjual di kedai
tersenyum karena kedatangan saya. Saya ikut bahagia menjadi sedikit perantara
atas rezeki mereka. Apalagi, jika setelah setelah kedatangan saya, muncul
pelanggan demi pelanggan yang ingin menikmati santapan di kedai tersebut. Mungkin
anda juga sering merasakan tatkala saat ada pedagang keliling yang awalnya tak
laku, namun kemudian anda membeli dagangannya. Tiba-tiba, tetangga anda juga
ikut membeli dagangan pedagang tersebut, apa yang anda rasakan?
Memori saya terulang kembali saat saya meninggalkan kedai
pizza tersebut. Saat saya membayar, sang kasir berulang kali mengucapkan
terimakasih. Sang pelayan masih dengan senyum ramahnya membukakan pintu agar
saya bisa keluar. Ucapan terimakasih kembali saya dengar. Rasanya, saya ingin
mengunjungi kedai itu lagi dan lagi.
In Frame :
Goodies Pizza Malang
Jl. Terusan Dieng 46 Malang
Goodies Pizza Malang
Jl. Terusan Dieng 46 Malang
Tags
Catatanku