Bekerja dengan tim kerja yang solid dan diisi para pemuda
adalah impian saya sebelum lulus kuliah. Berfoto bersama, dengan seragam gagah
dan partner kerja yang rupawan.
Tapi itu dulu. Pada kenyataannya, saya bekerja di lingkungan yang diiisi oleh para (maaf) emak-emak yang rata-rata
berusia di atas kepala 5. Meskipun beberapa berusia hampir sama dengan saya,
namun para emak-emak masih mendominasi kehidupan saya di tempat kerja.
Sebenarnya sih, saya asyik-asyik saja karena secara tidak
langsung, saya bisa menimba ilmu dari mereka. Secara, dari sisi pengalaman,
saya mah jauh dibandingkan mereka. Pengalaman mendidik anak selama puluhan
tahun menjadi ilmu yang bisa saya ambil dari mereka. Namun, ada juga beberapa
sisi, entah baik atau buruk saat saya bekerja dengan mereka.
Pertama, tentunya dari sisi IT mereka memang tertinggal
jauh. Ya iyalah, wis tuek, apa lagi yang dicari. Meski rata-rata mereka sudah
bersertifikasi sebagai pendidik dan seharusnya dituntut bisa juga menguasai IT
untuk menyokong pekerjaan mereka, namun faktor U adalah penghambat utama. Daripada
belajar IT mending waktunya buat masak atau ngurus suami, kan? Nah masalah ini
menjadi serius bagi saya. Kenapa?
Segala pekerjaan yang menyangkut IT alhasil akan melimpah
ruah kepada saya, dan beberapa teman muda lainnya. Yang bikin gengges, sekarang
ini apa-apa berbau IT. Apalagi, segala bentuk tetek bengek mengenai
administrasi sudah terintegrasi dalam IT. Maka tak heran, jika ada informasi
mengenai pengumpulan data yang “berbau IT”, saya yang pertama kali terkena
getahnya. Para emak-emak akan datang kepada saya bak saya ini seorang dokter
spesialis anu. Haha.
Saya sih antara happy dan males. Happynya pasti ya
kecipratan dana hibah. Lha gimana, hari ini mana ada gratisan? Meski saya tak
memasang tarif, tapi mereka sadar diri kok. Ada saja cipratan rejeki anak soleh
yang mengalir ke saya. Malesnya, kalau pas kerjaan numpuk ditambah rempongnya
emak-emak bak esok akan kiamat. Duh, rasanya kepala mau pecah.
Kedua, gap usia kami yang terlampau jauh membuat apa yang
kami bicarakan gak nyambung. Ya iyalah, kalau saya dan teman-teman muda lain
bicara rencana traveling, mereka baka bicara kredit panci. Kalau kami bicara
grup band yang lagi hits, mereka bakal bicara acara dangdut marathon yang
disiarkan di TV swasta. Yang garing, kadang mereka membahas hal-hal yang
menurut mereka wow tapi sebenarnya .... yasudahlah... haha. Tapi ada juga
emak-emak yang berusaha mengimbangi gap usia kami yang jauh. Ikutan eksis.
Ketiga, entah karena sudah memasuki masa menapouse atau apa,
saya kok, melihat muncul lagi sifat kekanak-kanakan pada diri mereka. Kadang apa
yang mereka mau harus dituruti, dan tak jarang akhirnya pecah konflik. Kalau sudah
gini, kami yang muda-muda jadi melipir, bak daerah netral diantara daerah
konflik. Mau ikutan nanti malah runyam, mau diem kok lama-lama jadi ilfel. Tapi
akhirnya perang para emak-emak reda sendiri, kalau ada sesuatu hal yang
membuatnya berhenti, apalagi kalau bukan acara makan-makan. Jadi setuju sama
pepatah “Makan gak makan penting kumpul”. That’s true.
Keempat, sering saya mendapat aliran cerita emak-emak yang too much of herself. Ampun, gak
berhenti-berhenti ceritanya. Kadang kalau kita cerita tentang A, eh si emak
rempong bakal nyambung dan ke cerita B, yang isinya tentang diri dan
keluarganya. Mau di-cut kok ya sungkan. Tapi mau didengerin ini kuping
lama-lama kok berdengung kencang. Tahan saja deh kalau nemu kayak gini. Kalau saya,
mending sambil ngerjain apa gitu, lama-lama akan berhenti sendirinya.
Kelima, tingkat kepo mereka sudah naudzubillah. Kalau kami
para pemuda sedang asyik jalan-jalan dan haha-hihi, pasti dikepoin dari A-Z. Apalagi
emak-emak sekarang sudah eksis di medsos. Tak hanya FB, mereka sudah punya IG. Jadi,
kami kadang antara ya dan tidak saat mau mengunggah foto nongkrong atau
liburan. Hanya Path yang bisa menampunh unggahan foto kami karena masih aman
dari emak-emak itu. Haha.
Keenam, meski banyak yang gengges, tapi kadang emak-emak itu
gak tegaan. Kadang suka membelikan makan, memberi pakaian, dll. Pokoknya,
melihat kami yang GTT mereka kayak melihat masa lalu yang penuh penderitaan,
halah. Jadi, sering kami mendapat rejeki anak soleh lagi. Ini lho yang membuat
saya kadang merasa bersyukur bekerja dengan emak-emak. Meski rempong, kalau udah
gini mana bisa nolak, ya kan?
Bagi saya sih, selama gak benar-benar horor dan seperti
cerita ibu tiri, bekerja dengan emak-emak juga mengasyikkan. Paling tidak, saya
bisa melihat banyak sisi seorang ibu saat saya berada di tempat kerja. Gak banyak
kan tempat kerja yang berisikan emak-emak?
Whenever you are, love what the people there are
Tags
Catatanku
Senasib kita mas, punya rekan kerja yang lebih tepatnya serasa hubungan emak sama anaknya hahah.
ReplyDeleteNo 1 dan 2 saya banget juga tuh. Waktu pertama kali dateng di sekolah, bener-bener saya doang yang bujangan. Sekarang mending udah ada dua temen guru muda.