Setelah akreditasi, saya kalap untuk jalan-jalan.
Ditambah lagi, saya berada di lingkaran orang-orang yang
juga lagi suntuk dan ingin jalan-jalan. Satu hari setelah akreditasi, saya
langsung cabut ke dua tempat yang bisa dijadikan alternatif jalan-jalan, yakni
Coban Rondho dan Paralayang. Awalnya sih, saya cuma kepingin ke Paralayang,
secara, meski saya tinggal di sana, belum pernah ada tebengan yang mau mengajak
saya. Akhirnya, saya beserta 3 cewek cantik memutuskan untuk menghilangkan
penat. Oh ya, masalah 3 cewek cantik ini akan saya bahas kemudian, yang jelas
bukan istri-istri saya, haha.
Tujuan kami yang pertama adalah Coban Rondho. Sebenarnya,
kami ke sini bukan mau ke air terjunnya. Tak lain dan tak bukan adalah ingin
tahu dan foto-foto di labirinnya. Kalau dipikir, mengingat usia kami yang sudah
hampir kepala 3, kok rasanya gimana gitu. Tapi berhubung kata teman yang sama-sama (belum)
menikah, jadi ya daripada nanti bisulan ketika sudah menikah gegara tak
bisa melapiaskan hasrta yang terpendam, akhirnya niat narsis harus
dilaksanakan.
Kami tiba agak siang gegara semua pada KO setelah menghadapi
asesor akreditasi. Di pintu masuk, kami harus membayar tiket masuk sebesar
18.000 per orang. Saya jadi agak “antara ya dan tidak” untuk masuk. Bukan apa-apa,
seingat saya dulu, tiketnya hanya 5 ribu. Tapi saya mengingat lagi, itu kan
zaman SMA, saat saya diklat PMR. Lha sekarang, usia saya berapa? Haha.
Memasuki area wisata, tujuan kami adalah labirin tempat
narsis. Ternyata, sekarang di Coban Rondho sudah ada banyak fasilitas tambahan,
seperti permainan anak, taman labirin, tempat memanah, dll. Untuk masuk
berbagai wahana, pengunjung harus dikenakan biaya lagi. Contohnya untuk masuk
ke dalam taman Labirin, pengunjung dikenakan biaya 10.000 per orang. Hmmmm.
Meski harus bayar, ternyata banyak juga wisatawan yang
datang. Tak hanya dar Malang saja, tapi juga dari luar negeri, seperti Bogor,
Jakarta, dll. Terlihat dari bahasa asing yang mereka gunakan. Nah di labirin
ini ternyata memiliki spot pemotretan yang bagus, yakni di puncak menara. Dari puncak
menara, kita bisa mengambil gambar. Pantesan, gambarnya bagus-bagus. Ini mungkin
juga yang membuat daya tariknya. Apalagi, kalau sudah diunggah ke instagram. Bisa-bisa,
orang-orang se-Indonesia Raya dan se-Majulah Singapura datang. Ujung-ujungnya,
pengelola harus menambah fasilitas ini-itu. Akhirnya, harga tiketpun mahal. Sesuai
dengan prinsip ekonomi.
Ini lho labirinnya |
Begitu pula saat saya melanjutkan perjalanan ke wisata
paralayang. Allahu akbar, rasanya seperti mencari baju lebaran di Pasar Besar
Malang. Gak hanya rame, tapi sampai gak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meski
begitu, saya masih bisa memandang alam dari atas bukit, sejauh pandang
kulepaskan.
Cekrak-cekrek dan cekrekrekkrek |
Memandang masygul dari atas bukit |
Seminggu setelah akreditasi, saya menyambangi salah satu
candi favorit saya, yakni Candi Sumberawan. Ini kunjungan kedua saya, setelah
sebelumnya saya jalan horor lewat pematang sawah. Saat itu, saya hanya bertemu orang
yang sedang pergi ke sawah. Sudah. Masuk ke candi, saya menjadi pengunjung
pertama dan terakhir di hari itu.
Kali ini, saya mencoba mencari jalan lain. Jalan yang bisa
dilalui kendaraan bermotor. Di sebuah persimpangan, saya bertemu segerombolan
anak muda yang ber ah-uh karena harus
membayar tiket. Saya jadi bertanya dalam hati, kok jadi bayar gini?
Ternyata benar, setelah saya memasuki area parkir, saya
langsung dihampiri seorang ibu-ibu. Beliau meminta saya membayar karcis sebesar
6000, termasuk parkir. Eh, iya lho, bayar. Bahkan di pintu masuknya, ada
tulisan gede bahwa, secara kasarnya “tempat ini udah dibangun, makanya kalau
mau narsis bayar dong”, hahaha. Di kiri-kanan pintu masuk sudah mulai dibangun
tempat parkir mobil dan aneka bangunan lain.
Eh iya lho, disuruh bayar |
Mungkin karena instagram pula, tempat ini juga ikutan
ngehits. Banyak motor terparkir dengan indah. Artinya, meski harus bayar, tapi
karena untuk narsis, ya apa boleh buat. Kalau saya sih, tujuan datang ke candi
untuk bersemedi, seperti prabu Hayam Wuruk, hehe. Cuma, yang saya sayangkan,
kok, tempat-tempat instragramable seperti Coban Rondho, Paralayang, dan Candi
Sumberawan ini terlihat hanya mementingkan bagaimana menarik wisatawan
sebanyak-banyaknya. Yang penting narsis. Entah ini hanya perasaan saya atau
bagaimana. Yang jelas, saya kok, kehilangan tempat-tempat yang seharusnya bisa
dinikmati. Bagaimana bisa nikmat kalau tempat yang asalnya hening, menjadi rame
seperti pasar. Tak hanya itu, kadang, saya kok kurang melihat “sesuatu” yang
wow, yang seharusnya menjadi trademark tempat-tempat itu. Contohnya paralayang
tadi. seharusnya, saya bisa menyimpan memori dalam otak kalau tempat ini
asyik sekali untuk kegiatan paralayang. Atau Candi Sumberawan yang bisa saya
ingat dari kenangan zaman kerajaan Hindu-Buddha. Melihat banyaknya acara bernarsis
ria, akhirnya jadi nothing.
Candi favorit saya yang sudah ter-IG, hiks |
Yah, mungkin ini sisi lain dari ngehitsnya tempat wisata. Yang
jelas, saya masih berharap ada tempat yang instagramable tapi tetap menyimpan
kenangan setelah saya mengunjunginya. Meski itu akan sangat sulit, mengingat
sifat dasar manusia yang tak pernah puas.