Jancuk!
Tidak jelas betul dari mana awal
kata ini. Tapi hampir setiap orang Jawa-terutama yang bermukim di wilayah Jawa
Timur-sangat familiar dengan kata ini. Levelnya mungkin sama dengan kata FUCK
atau SHIT dalam bahasa Inggris. Kata Jancuk umumnya diucapkan oleh masyarakat
Jawa Timur kawasan Arek. Seperti diketahui, masyarakat Jawa Timur tidak
sehomogen masyarakat Jawa Tengah dan DIY. Masyarakat Jawa Timur terbagi menjadi
4 kluster wilayah budaya berbeda, MATARAMAN, TAPAL KUDA, KAWASAN AREK, dan
PULAU MADURA. KAWASAN AREK meliputi Kota Surabaya, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo,
Pasuruan Barat (Bangil), Malang Raya, dan Jombang. Wilayah Mataraman (wilayah
pengaruh kultur buadaya Kerajaan Mataram, meliputi Karasidenan Madiun, Kediri,
Pacitan, dan sekitarnya) ataupun daerah Tapal Kuda (wilayah percampuran budaya
Jawa dan Madura meliputi Probolinggo, Pasuruan Timur, Jember, Situbondo, dan
sekitarnya) lebih jarang menggunakan pisuhan ini.
Setiap kata pasti mengandung makna.
Termasuk juga pisuhan, tidak terkecuali Jancuk. Kata ini memang sedikit unik.
Ia tidak diambil dari nama binatang yang biasanya menjadi kata dasar caci maki
(seperi asu, wedhus). Dan uniknya, hari ini, Jancuk tidak lagi hanya dipakai sebagai makian atau ungkapan
kekesalan tapi juga sebagai teguran akrab dan bahkan ungkapan rasa syukur.
Namun, apa makna sebenarnya dari Jancuk?
Cara menafsirkan makna dari sebuah kata adalah melekatkan makna dari kata-kata
yang terdekat. Salah satu kata yang paling dekat dari Jancuk adalah Ngencuk
atau bersetubuh. Arti kata ini rasa-rasanya sesuai dengan makna jancuk sebagai
sebuah ungkapan kata-kata kotor. Namun, ketika kata Jancuk berkembang menjadi
sebuah sapaan akrab memuji dan bahkan ungkapan rasa syukur, makna Jancuk yang
mengacu dari kata Ngencuk pun gugur.
Jancuk menjadi nirmakna (tanpa makna). Makna Jancuk kemudian kembali
kepada siapa yang menafsirkan teks atau kata tersebut. Sehingga, seperti kata
Roland Barthers, penulis telah mati ketika teks sampai pada pembaca. Makna
menjadi otoritas, hak prerogratif nan absolut dari pembaca. Kita tidak bisa mencegah orang bersyukur
dengan kalimat “Jancoooook, alhamdulillah aku lulus rek!”
Jancuk memang lahir dari kalangan abangan
di KAWASAN AREK, bukan kalangan priyayi kelas atas di wilayah MATARAMAN atau
kalangan santri taat kyai di wilayah TAPAL KUDA. Jancuk menggambarkan
keegaliteran, blak-blakan, sama rasa sama rata. Selain itu kata Jancuk, pasti
mengandung wacana. Dan wacana, meminjam Foucoult tidak akan lepas dari wacana.
Dengan demikian, dalam teks Jancuk sendiri
pasti mengandung relasi kuasa. Sebagai daerah yang jauh dari pusat kekuasan
(Mataram), KAWASAN AREK memang tidak memiliki pusat kekuasaan absolut. Perasaan
setara lebih hidup di KAWASAN AREK
daripada wilayah MATARAMAN dengan kekuasaan raja (bupati/wali kota) dan
segala bentuk feodalismenya, dan wilayah TAPAL KUDA dengan pusat kekuasaan kyai
serta pemujaan absolut bagi para kyai.
Lalu, dari relasi kekuasaan yang seperti
apa kata Jancuk itu lahir? Sebagai wilayah dengan penduduk yang tidak memiliki
kekuasaan absolut, KAWASAN AREK menjadi bebas bagi siapapun. Egaliter, terbuka,
dan nekad, adalah ciri masyarakat di KAWASAN AREK. Sikap-sikap seperti inilah
yang melahirkan kata Jancuk. Sebuah ungkapan makian, namun seklaigus memuji,
bahkan rasa syukur.
Selain itu, ungkapan makian Jancuk menjadi
penanda bahwa adanya keterbukaan orang-orang di KAWASAN AREK. Hal ini dipercaya
dapat meredam konflik sosial yang lebih luas. Sebab dengan memaki, kejengkelan
dapat sedikit dilepaskan. Kemangkelan tidak lagi ditahan, tetapi keluar dari
dalam diri. Sehingga kemudian, banyak yang melihat konflik sosial di KAWASAN
AREK tidak seramai di kota besar lain, seperti Makassar, Jakarta, Medan,
meskipun KAWASAN AREK merupakan daerah metropolitan Jawa Timur.
Namun dalam hal ini, konflik Bonek dan
Aremania menjadi pengecualian. Dua
kelompok suporter terbesar di Jawa Timur bahkan di Indonesia ini berkonflik
karena kefanatikannya terhadap timnya dan tanah kelahirannya. Sebagai sesama
warga KAWASAN AREK, Bonek dan Aremania sama-sama terbuka dan sama-sama nekad.
Mereka sama-sama menJANCUKI satu sama lain. Tidak ada yang dominan antara Bonek
dan Aremania menjadi bukti bahwa memang tidak ada relasi kuasa yang dominan di
KAWASAN AREK. Pun demikian, hingga hari ini KAWASAN AREK masih menjadi front
terbuka perang Bonek dan Aremania meskipun diselingi gencatan senjata.
Kata Jancuk dengan demikian menjadi kata
yang luwes untuk dipakai, sekaligus menunjukkan bahwa tidak ada relasi kuasa
tirani dari satu pihak kepada pihak lain. Jancuk kemudian bertransformasi dan bahkan didekonstruksi menjadi wacana yang
lain. Tidak hanya sekedar pisuhan tanpa makna, tapi telah menjadi sapaan akrab,
pujian dan ungkapan rasa syukur.
Saat ini, kata Jancuk dengan lantang
diungkapkan di forum-forum resmi, acara televisi, dan media sosial, utamanya
didengungkan oleh Sudjiwo Tedjo. Jancuk tidak lagi tabu untuk diungkapkan,
tetapi bahkan menjadi ciri khas bagi warga Jawa Timur, khususnya di KAWASAN
AREK. Hotel Plaza Surabaya bahkan menggunakan kata Jancuk sebagai merk kuliner
unggulan yang mereka jual: Nasi Goreng Jancuk.
Berbagai hal tersebut menjadi bukti bahwa
Jancuk adalah kekayaan budaya Jawa
Timur. Bahkan Sudjiwo Tejo (Presiden Republik Jancukers) dengan nada guyon
menyebut saat Bung Tomo memimpin perlawanan Arek-arek Suroboyo pada 10 November
1945, kata JANCUK adalah salah satu kata yang lantang diucapkan untuk
mengungkapkan permusuhan dengan Belanda, selain kata ALLAHU AKBAR untuk membangkitkan
semangat.
Sebagai penutup, karena saya seorang
AREMANIA saya tutup tulisan ini dengan : BONEK
JANCOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOK!
Tulisan diambil dari : https://ekopangkapi.wordpress.com/2013/03/14/jancuk-relasi-kuasa-yang-egaliter/
Tags
Catatanku
Kata yang unik: makian sekaligus rasa syukur, :)
ReplyDeleteTak ada daerah lain kata seunik ini. Kalo makian biasanya memang benar menggunakan nama binatang.
Tulisan sampeyan juga keren, jancuk tenan, hehehe...
salam
bener kan C*k #eh
Delete