Empat hari kemarin, saya beserta Bapak KS mengikuti kegiatan
Evaluasi Diri Sekolah
Wah saya sudah membayangkan bakal ribet dan banyak sekali
hal-hal rebyek yang saya isi. Jadi, saya sudah mempersiapkan berbagai data pendukung
yang dibutuhkan, sampai-sampai saya membawa travel bag karena memuat berbagai
dokumen penting dari sekolah.
Memang sih, harusnya data sudah ada di laptop. Tapi saya
masih belum pas kalau belum membawa data yang sudah tercetak, apalagi masih
banyak data belum bisa tercover akibat menumpuknya pekerjaan. Singkat cerita,
saya sudah ada di sebuah SD percontohan, yang jauhnya minta ampun.
Selama empat hari, kami dijejali berbagai materi yang ada
hubungannya dengan tata kelola sebuah sekolah. Hahaha, saya jadi agak gimana
gitu, kayak penting banget. Tapi bagi saya, kegiatan ini bisa saya jadikan
bahan pembelajaran untuk ke depannya. Yah meskipun saya bukan Kepala Sekolah,
paling tidak bisa saya imbaskan ke teman-teman, minimal apa yang harus
dilakukan selama jangka waktu ke depannya bisa terprogram dengan baik.
Sebelum memulai materi EDS, ternyata ada materi pendahuluan,
yakni mengenai Standar Pelayanan Minimal (SPM). Pemateri menjelaskan berbagai
hal terkait bagaimana sekolah harus memiliki standar minimal dalam melayani
kebutuhan masyarakat, terutama kebutuhan siswa. Standar minimal ini mencakup 27
indikator pelayanan, mulai dari jumlah guru, jumlah siswa, jumlah buku teks
pelajaran dan lain sebagainya. Satu saja indikator tidak memenuhi standar, maka
sekolah tersebut dikatakan belum memenuhi SPM. Saat saya isi, ada 2 indikator
pencapaian di sekolah saya yang belum SPM. Keduanya adalah mengenai jumlah buku
teks yang tersedia dan jumlah alat peraga IPA. Lha mana bisa standar, buku teks
saja sering mengalami keterlambatan. Rasio
perbandingan antara jumlah buku dan jumlah siswa yang seharusnya 1:1 tidak bisa
terpenuhi. Malah, di kelas saya, satu buku buat bergantian 3 siswa. Saya
sebenarnya menilai ini tidak efektif, tapi mau gimana lagi? Mau beli buku
sendiri nantinya bakal ada buku drop-dropan. Sayang kan? Sedangkan untuk
peralatan IPA memang belum memadai dan belum bisa digunakan.
Nah selanjutnya, kami mulai mengisi instrumen EDS. Instrumen
ini memuat kondisi sekolah yang sebenarnya, termuat dalam 8 standar pendidikan.
Kedelapan standar tersebut antara lain standar isi, proses, lulusan, pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan
standar penilaian. Setelah kedelapan standar terisi, maka akan muncul
rekomendasi dari tiap indikator dalam 8 standar tadi. Nah, rekomendasi inilah
yang nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan untuk program jangka panjang
dan tahunan, yakni Rencana Kerja Sekolah (RKS), dan Rencana Kerja Tahunan
(RKT). Program-program tersebut nantinya juga akan terintegrasi dengan besarnya
anggaran yang harus disiapkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS).
Bagi saya, EDS itu asyik. Bukan hanya kita mengisi kedelapan
standar tersebut dan membuat program ini-itu, tapi kita bisa menilai oh sekolah
saya sudah melakukan ini, sudah melakukan itu. Oh sekolah saya belum melakukan
ini dan itu. Kira-kira, kegiatan mana yang harus segera dilakukan agar sekolah
bisa menyempurnakan kegiatannya. Dari rekomendasi itulah nantinya kepala sekolah
dan guru serta komite akan menyusun RKS dalam jangka panjang 4 tahunan dan RKT dalam jangka waktu 1
tahunan.
Pada akhir kegiatan, setiap sekolah diharuskan melakukan
presentasi mengenai rekomendasi EDS yang dihasilkan, beserta rencana kerja
dalam RKS, RKT, dan RKAS. Nantinya, pemateri dari Dinas Pendidikan Kota, akan
mencocokan apakah RKS, RKT, dan RKAS yang disusun sudah sesuai dengan
rekomendasi EDS. Intinya, sebenarnya KS dan sekolah tidak bisa ujug-ujug
membuat program tertentu yang tidak menjadi skala prioritas sekolah.
Rekomendasi EDS |
Setelah saya mengamati seksama beberapa sekolah yang tampil,
ada beberapa poin dalam standar tertentu yang menjadi permasalahan hampir sama.
Beberapa masalah tersebut antara lain:
Masih banyaknya jumlah guru honorer dan tenaga honorer jika
dibandingan dengan guru PNS. Masalah ini rata-rata dialami oleh sekolah negeri.
Bahkan ada sekolah negeri yang 60 % lebih gurunya adalah guru honorer.
Akibatnya, pos pembelanjaan dari dana BOS habis untuk belanja pegawai meskipun
memang sudah dibatasi sebanyak 15% dari anggaran.
Masih tidak jelasnya status tenaga administrasi (TU), tenaga
perpustakaan, dan tenaga laboran di sekolah dasar. Yang saya tangkap, tenaga TU
seringkali bongkar pasang di setiap sekolah karena alasannya tidak memiliki masa
depan cerah. Padahal tugas TU sangat penting, nyawa bagi sebuah sekolah untuk
mengerjakan berbagai administrasi. Pun demikian dengan tenaga perpustakaan yang
seringkali dirangkap oleh guru. Tugas tenaga perpustakaan pun juga tak kalah
banyak. Dan, tak ada satupun sekolah yang memiliki tenaga laboran.
Banyak sekolah memiliki masalah pada penilaian, terutama
ketika pengisian aplikasi rapor yang setiap semester berganti. Akibatnya,
banyak guru yang tidak melakukan penilaian semestinya karena mepetnya waktu antara datangnya
aplikasi rapor dengan tanggal penerimaan rapor.
Banyak sekolah juga mengeluhkan terlambatnya kedatangan buku
paket dan BKS tiap semester pelajaran. Yang gokil, kadang BKS baru datang
ketika 2 tema sudah berlangsung. Rata-rata, guru meminta murid mengerjakan BKS
sampai habis.
Di samping itu, ada juga masalah yang hanya dihadapi oleh sekolah-sekolah
tertentu, misalnya masih ada sekolah yang kekurangan murid. Ada sekolah yang
berdiri di lahan sengketa. Banyak kegiatan industri yang mengganggu kegiatan
belajar-mengajar, dsb. Ada juga masalah pedagang yang berjualan di depan
sekolah sehingga mengganggu aksebilitas warga sekolah, seperti yang sekolah
saya alami.
Meski dengan segala keterbatasan, para KS masih semangat
membuat program-program yang bertujuan memajukan sekolahnya. Bahkan, ada
beberapa program yang menurut saya unik. Salah satunya adalah program dari
sebuah sekolah swasta islam. KS sekolah tersebut memaparkan akan membuat gedung
bertingkat, lengkap dengan kolam renang di atasnya sebagai kegiatan
pembelajaran. Tak hanya itu, akan dibangun juga jembatan penyebrangan yang
menghubungkan dua bangunan utama. Jembatan ini akan dibangun agar siswa tak
kesulitan saat menyeberang jalan. Walaupun terkesan prestisius, pilot project ini mendapat apresiasi dari pengawas dan KS lain.
Presentasi dari KS dengan proyek prestisius |
Diantara sekian banyak pemaparan RKS-RKT-RKAS, saya paling
senang dengan pemaparan sebuah sekolah kecil yang seakan hidup segan mati tak mau.
Padahal, letak sekolah ini berada tak jauh dari pusat perbelanjaan. Sudah bertahun-tahun
sekolah tersebut sepi peminat. Selain bangunannya yang tak menarik, nilai ujian
sekolahnya paling rendah se-kecamatan. Dengan tekad kuat memajukan sekolahnya,
meskipun kondisinya memprihatinkan, KS yang baru membuat sebuah gebrakan. CSR
perusahaan digandeng dan mau menghibahkan sebagian dananya untuk keperluan sekolah,
semisal pengadaan komputer. KS tersebut juga melakukan jemput bola dengan
mendatangi rumah warga yang anaknya masih usia sekolah namun putus sekolah. Kerja
kerasnya berbuah hasil. Pada PPDB tahun ini, ada lebih dari 20an siswa yang
mendaftar. Pun demikian dengan hasil ujian sekolah tahun kemarin, meski tak
masuk papan atas di tingkat kecamatan, namun tak lagi di posisi buncit.
Dari sini saya semakin sadar, pendidikan di negara kita
masih banyak masalah. Okelah, ada memang sekolah yang benar-benar siap lahir
batin seperti yang mau membangun kolam renang. Namun, masih banyak sekolah yang
memiliki banyak masalah. Menurut saya, EDS ini bisa dijadikan para pengambil
kebijakan pendidikan untuk menyusun programnya. Jangan sampai berhenti di
kegiatan pelatihan ini saja. Saya yakin, jika setiap sekolah mengisi EDS dengan
jujur dan ditindaklanjuti dalam RKS-RKT-RKAS, serta diteruskan oleh pihak
terkait, saya yakin kok, masalah-masalah yang terlihat sepele tadi bisa
diatasi. Meskipun terlihat sepele, jika tak ditangani serius, masalah-masalah
tadi akan menjadi besar, dan pendidikan kita ya cuma gini-gini saja. Mau diapa-apakan
ya tetep saja. Sampek elek yo ngene-ngene ae. Bukan begitu?
Tags
Catatanku