Api kita sudah menyala. Api kita sudah menyala. Api, api,
api, api, api. Api kita sudah menyala.
Gambar diambil dari |
Secara eksplisit, memang tak terlalu terlihat. Namun, jika
anda pernah mengikuti kegiatan pramuka, terutama kemah, pasti benda satu ini
pasti akan ditunggu. Ya, api unggun. Saat di mana kita, sebagai anggota pramuka
bersama-sama untuk saling menghangatkan diri, saling introspeksi , dan saling
berbaur dalam sebuah acara yang meski sederhana tapi sarat makna.
Pramuka. Praja muda karana, begitu bunyinya. Diantara sebuah
semangat, sebuah cita-cita, dan hanya sebuah formalitas semata. Sebuah
semangat, di dalamnya terkandung semangat pantang menyerah dalam berusaha,
semangat kebersamaan untuk bekerja keras. Sebuah cita-cita, untuk mewujudkan
generasi yang unggul di berbagai bidang. Dan, sebuah harapan untuk meraih masa
depan gemilang. Namun, bisa hanya menjadi sebuah formalitas semata menjadi
sebuah rasa yang bisa timbul tatkala gerakan pramuka tak diimbangi dengan
keseriusan untuk senantiasa membuatnyab tetap ada, tetap maju, dan tetap
berkembang.
Di dalam gerakan Pramuka sebenarnya sudah tercakup berbagai
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai ini tercakup dalam sebuah
pemgamalan nyata yang bisa diambil pelajarannya, terutama generasi muda.
Pengajaran nilai-nilai ini menjadi lebih menyenangkan ketika diaplikasikan
dalam berbagai permainan dan sederet aktivitas lainnya. Tali-temali, simbol
morse, semaphore, hingga bentuk penjelajahan menjadi keunggulan gerakan
pramuka. Para generasi muda, yang mengikiti pramuka akan belajar menjalani
kehidupan secara nyata melalui kegiatan-kegiatan tersebut.
Memang, kegiatan pramuka, baik dari tingkat sekolahan maupun
nasional sudah digalakkan sejak dulu. Namun, dari kacamata saya, gerakan
Pramuka hingga saat ini masih belum banyak diminati oleh generasi muda. Entah
apa alasan utamanya, yang jelas, mengikuti Pramuka bagi sebagian siswa/siswi
hanyalah sebagai formalitas semata, yang tujuan utamanya agar tidak mendapat
hukuman dari pihak sekolah.
Saat siswa duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah
menengah pertama, kegiatan Pramuka menjadi kegiatan ekstrakulikuler wajib.
Biasanya, kegiatan diadakan setiap hari
sabtu siang sepulang sekolah. Itupun, saat SMP, biasanya kegiatan wajib Pramuka
hanya diharuskan bagi siswa kelas 7. Saat memasuki bangku SMA/SMK/MA, tidak semua
sekolah mewajibkan siswanya untuk mengikuti kegiatan Pramuka. Bahkan, di SMA
tempat saya belajar, saat itu tidak memiliki gugus depan. Tidak hanya di SMA
saya, tapi juga beberapa SMA lainnya.
Melihat kegiatan Pramuka yang banyak memiliki manfaat
sebenarnya cukup disayangkan jika “hanya diikuti oleh anak-anak itu saja”.
Artinya, dibandingkan dengan kegiatan ekstrakulikuler lain seperti basket,
dance, sepak bola, dan sederet ekstrakulikuler lainnya, peminat Pramuka jauh
lebih sedikit, terkecuali di beberapa sekolah yang memang cukup antusias. Nasib
yang serupa dengan kegiatan Palang Merah Remaja (PMR). Apa yang salah?
Tidak pasti apa penyebabnya. Namun, menurut opini saya (hanya
sebuah opini, bisa benar bisalah) ada beberapa penyebabnya.
Pertama, adanya
mindset (pemikiran) di sebagian bahwa mengikuti Pramuka tidak terlalu
prestisius dibandingkan mengikuti kegiatan lainnya. “Ngapain sih ikut Pramuka?
Hanya baris-berbaris dan kemah gitu”, kata teman SMP dulu saya saat menunggu
pembina Pramuka datang.
Kedua, kurangnya support dari pihak lain, yang
sebenarnya bisa menjadi penggiat Pramuka. Jika dibandingkan kegiatan perlombaan
lain seperti basket dan sepakbola, dengan support sponsor yang gila-gilaan,
kegiatan perlombaan Pramuka biasanya tak terlalu banyak mendapat perhatian
sponsor, terlebih jika even Pramuka diadakan di daerah. Memang, pihak sponsor
haruslah yang masih mengikuti aturan yang berlaku, tapi dengan kehadiran
mereka, maka akan menambah semangat untuk lebih memajukan kegiatan ini.
Ketiga,
kadang kegiatan Pramuka dilakukan oleh banyak siswa dengan rasa terpaksa karena
takut mendapat hukuman dari pihak sekolah. Akhirnya, mereka hanya datang saat
kegiatan wajib, namun untuk kegiatan yang lebih lanjuta lagi, hanya sedikit
siswa yang mau mengikuti. Padahal, jika ada bentuk pengertian yang baik
mengenai manfaat gerakan pramuka, maka tak mustahil akan banyak siswa yang
ikut. Keempat, ada sebagian orang tua yang tak terlalu rela jika anaknya aktif
mengikuti Pramuka. Sama halnya dengan PMR, kegiatan Pramuka juga membutuhkan
waktu dan energi yang cukup banyak, terutama jika akan menghadapi lomba.
Jangankan mengikuti lomba, saat kegiatan Persami (perkemahan sabtu minggu) di
sekolah, orang tua banyak yang cukup parno melepas anaknya untuk berlatih
mandiri. Sebentar-sebentar akan dijenguk dengan membawa makanan berlimpah.
Kalau sudah begini, apa bedanya dengan pindah tidur saja? Memang sih bagi
beberapa anak yang memiliki penyakit khusus wajar, tapi kalau yang baik-baik
saja dan tetap semangat kok rasanya cukup berlebihan.
Dari beberapa alasan tadi maka kegiatan Pramuka meski masih
terdengar gaungnya, tapi tak terlalu banyak diminati. Penilaian ini berdasarkan
pengalaman saya saat sekolah dulu dan melihat kegiatan pramuka di beberapa
sekolah saat ini. Semoga saja penilaian saya salah dan berharap api yang masih
menyala semakin menyala untuk kemajuan generasi penerus bangsa.
Sekian. Mohon maaf jika ada kesalahan. Salam Pramuka!
Tags
Catatanku