Dan saya ke candi-candi lagi.
Entah setan apa yang masuk di tubuh saya. Entah
makhluk gaib apa pula yang selalu menuntun saya ke tempat yang bernama candi.
Bagi saya, ada sesuatu yang membuat saya betah berada di candi. Mungkin, saya
bisa merasakan spirit semangat baru saat di sana. Ketika saya memasuki pintu
utama candi, saya selalu terkesima dengan bangunan besar yang menjulang di
depan saya.
Betapa tidak, bangunan besar itu sudah ada sejak
zaman manusia belum mengenal teknologi canggih. Zaman ketika manusia belum
memiliki banyak cara untuk melakukan berbagai hal. Dan zaman manusia masih
belum bebas untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya.
Di kota kelahiran saya sendiri, banyak tersebar
puluhan candi. Tersebar dari ujung utara, barat, timur, dan selatan. Tertata
rapi mengikuti lini masa dari zaman Kerajaan Kanjuruhan, Kerajaan Singosari,
hingga Kerajaan Majapahit. Meski termakan waktu yang mengegrogoti tubuh, tapi
masih elok untuk dinikmati. Belum lagi, jika sang candi terletak di tempat yang
memiliki alam yang eksotik.
Namun, saya masih ingin menjelajah lebih jauh ke
candi-candi yang ditinggalkan oleh Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan bercorak
Hindu-Buddha yang bagi saya masih terselimut kabut misteri. Para raja yang
berkuasa, istana yang digunakan, proses akulturaasi, hingga satu pertanyaan
penting yang masih menjadi bahan perdebatan : keruntuhan kerjaan ini.
Saya menjejakkan kaki di Kota Yogyakarta, pada pekan
pertama libur lebaran. Pekan tersibuk kota ini, saat menyambut ribuan wisatawan
yang datang untuk sekedar melepas penat. Hari ketiga saya di kota ini, saya
segera meluncur ke tempat yang sudah saya tentukan. Didampingi guide saya, kami
melintasi bagian utara Kota Yogyakarta menuju wilayah Kalasan dan Prambanan.
Dua kecamatan di Sleman yang menyimpan banyak situs purbakala.
Candi yang saya datangi adalah Candi Sambisari.
Candi yang terletak di bawah permukaan tanah ini menjadi daya tarik tersendiri.
Dengan dikawal oleh diinding tebal yang mengitarinya, membuat candi ini seakan
malu-malu untuk dilihat. Dengan satu candi utama dan tiga candi perwira
(pendamping), saya mengitari candi ini sambil menikmati semilir angin yang
berhembus dari atas.
Candi Sambisari yang selalu di hati |
Setelah puas, saya berlanjut ke Candi Kalasan yang
berada tak jauh dari Candi Sambisari. Di sini saya langsung menuju kaki candi
untuk melihat lebih jauh bagian dalamnya. Sayang, pengunjung tak diperbolehkan
masuk ke dalam candi. Kunjungan kedua di candi ini masih menyisakan tanda
tanya, mengapa candi ini jarang sekali dikunjungi orang. Candi Buddha yang
memiliki 52 stupa ini memiliki keistimewaan berupa lapisan penutup candi yang
diukir dengan batu cukup halus, yang disebut Bajrelepa. Menurut para peneliti,
tak sembarang pemahat dipekerjakan untuk membuat ukiuran candi ini sehingga hiasan
ukiran di tubuhnya sangat rapi.
Candi Kalasan yang selalu biki hati tenang |
Candi ketiga yang saya kunjungi adalah Candi Sari.
Pada jalan-jalan edisi sebelumnya, saya tidak ke sini. Sebenarnya, dari candi
kalasan kita hanya perlu menyeberang jalan sejauh 400 meter. Dan setelah
memasuki sebuah gang, tampaklah candi dengan bentuk seperti persegi panjang di
depan saya. Wow, Amazing.
Candi Sari yang masih kokoh berdiri |
Candi ini dibangun pada masa Rakai Panangkaran, yang
masih diperdebatkan apakah raja ini termasuk Dinasti Sanjaya atau Dinasti
Syailendra. Sebenarnya, candi ini terkait dengan Candi Kalasan. Menurut sumber
dari Wikipedia, candi ini dibangun untuk biara pendeta Buddha, semacam asrama.
Sehingga, ketika saya masuk ke bagian dalam candi hanya ada ruang-ruang kosong,
tak ada tempat pemujaan seperti kebanyakan candi lainnya.
Perjalanan saya berlanjut melintasi batas
Provinsi DIY dan Jawa Tengah, menembus
kemacetan yang terjadi di sekitar Candi Prambanan. Untuk efisiensi, saya
memutuskan tidak mengunjungi Candi Prambanan. Maka, saya melanjutkan perjalanan
ke Candi Plaosan. Di tengah perjalanan, saya menemukan papan penunjuk candi.
Namanya Candi Gana. Tak jauh dari pintu masuk Candi Prambanan. Saya meminta
guide saya untuk mengikuti arah candi tersebut. Ternyata, candi tersebut masih
dalam proses pemugaran. Jadi, saya hanya mengembil foto sebentar.
Bekas reruntuhan Candi Gana |
Sesampainya di Candi Plaosan, panas terik matahari
tak menyurutkan langkah saya menjelajah bagian candi. Bagi saya, candi ini unik
karena merupakan perkawinan antara candi bercorak Hindu dan Buddha. Meski
secara dominan candi ini bercorak Buddha, yang bisa diamati dari arca Buddha
dan stupa di sekelilingnya, tapi pengaruh Hindu juga tampak dari bangunannya
yang menjulang tinggi. Konon, Candi ini adalah hasil kekuatan cinta pasangan
Rakai Pikatan, raja Mataram Kuno dengan Pramudya Wardhani.
Bagian dalam Candi Plaosan |
Selepas dari Candi Plaosan, saya segera berlanjut ke
Candi Sojiwan, yang terletak tak jauh dari Stasiun Kereta Api Brambanan.
Melewati perkampungan penduduk, hingga tibalah di sebuah tempat lapang. Dari
kejauhan, saya melihat sebuah candi besar nan elok. Inilah Candi Sojiwan. Di
candi ini kita bisa melihat relief mengenai dongeng fabel seperti angsa dan
kura-kura, harimau dan singa, serta ulat dan tikus. Perlahan tapi pasti, candi
ini akan segera menajdi destinasi wisata baru, berintegrasi dengan candi
Prambanan. Berbagai fasilitas sudah mulai dibangun, seperti lahan parkir yang
luas dan warung-warung yang mulai buka. Di candi ini juga terdapat petunjuk
trip ke candi-candi di sekitarnya.
Candi Sojiwan yang menawan |
Candi Sojiwan selesai, saya berlanjut ke Candi Banyunibo.
Tak lama saya berada di sini karena saya berkejaran dengan waktu. Saya hanya
masuk ke dalam dan meotret bagian dalam yang tak sempat saya jelajahi lebih
jauh pada kedatangan saya sebelumnya. Selepas dari Candi Banyunibo, saya menuju Candi Barong. Sebenarnya, saya
sudah berkata ke guide saya agar mencari jalan ke Barong tanpa melewati jalan
ke Candi Ijo, karena seperti pengalaman saya dulu, jalan dari Candi Ijo sangat
buruk. Tetapi, guide saya tetap melewati jalan itu. Jadi, saya kembali
bernostalgia dengan jalan penuh kenangan. Bertemu lagi dengan simbah yang kali
ini membawa pikulan berisi rumput. Tapi kali ini karena motor yang digunakan
cukup kuat akhirnya kami berhasil sampai di Candi Barong.
Ternyata, perjalanan panjang kami tak sia-sia. Dua buah
candi besar sudah menanti kami. Teriknya matahari kembali bukan menjadi alasan
untuk menjelajah. Dan sayapun mulai melangkahkan kaki saya ke setiap bagian
candi. Untuk mencapai candi ini, saya harus melewati tiga buah teras yang
berundak. Dua teras pertama hanya tersisa bekas reruntuhan candi. Sedangkan dua
buah candi besar berada di teras paling atas. Keunikan dari candi ini adalah
candi ini merupakan candi untuk pemujaan Dewa Wisnu, tak seperti kebanyakan
candi lain yang merupakan pemujaan bagi Dewa Siwa.
Candi Barong |
Puas menjelajahi Candi Barong saya memutuskan untuk
mengakhiri sementara perjalanan saya. Guide saya mencari jalan pulang lain yang
ternyata berakhir di Candi Sojiwan. Jadi, jika kita ingin ke Candi Barong, kita
bisa menuju ke arah resort bernama Sumberwatu yang juga merupakan situs
bersejarah. Dari situ telah ada papan menuju Candi Barong. Jalan menuju ke sana
juga sangat baik.
Perjalanan pun berlanjut selepas ishoma. Kali ini kami
kembali ke rute asal menuju Desa Sambirejo, Prambanan, Sleman, untuk menuju
Candi Ijo. Tak seperti kunjungan saya sebelumnya, kali ini jalan menuju ke
candi sudah bagus. Tak hanya itu, candi ini sudah mulai banyak dikunjungi
wisatawan. Lahan parkir mulai penuh. Banyak pedagang makanan berjualan. Dulu saat
pertama kali saya ke sini, saya heran, candi sebagus dengan pemandangan alam
seindah ini kok tak ada yang mengunjungi. Ternyata, menurut guide saya. Kekuatan
media sosial seperti instagram telah mampu menarik banyak wisatawan datang. Tak
hanya pesona alam yang menjadi daya tariknya, pesona kala matahari terbenam
juga menjadi alasan pengunjung betah datang ke Candi Ijo. Apalagi, posisi candi
yang berada di bagian barat membuat saat matahari terbenam pancaran sinarnya
sangat istimewa. Belum lagi, candi ini berada di atas bukit.
Saya sengaja berlama-lama di candi ini. Setiap detail
candi saya jelajahi. Seperti Candi Barong, candi ini memiliki teras
berundak-undak yang mengikuti kemiringan bukit. Ada candi induk yang paling
besar. Di depannya ada tiga candi perwara (pengiring) yang merepresentasikan
tiga dewa tertinggi dalam agama Hindu. Saya lebih tertarik dengan relief-relief
yang ada di candi ini. Salah satunya adalah relief Burung Bayan. Selain itu,
saya juga tertarik dengan deretan pahatan dengan pola berselang-seling antara
sulur dengan gana (makhluk kerdil). Sulur yang saya amati ternyata mirip dengan
sulur motif Mataram yang sering saya ajarkan pada anak-anak. Sambil mengamati
pola sulur candi, saya sesekali mendengarkan percakapan antara guide saya
dengan wisatawan yang datang. saya cukup senang, para wisatawan mulai melirik
ke wisata sejarah semacam ini, tak hanya wisata alam saja.
Candi Ijo yang membuat kangen |
Puas bereksplorasi, saya melanjutkan ke tujuan akhir
yakni Istana Ratu Boko. Situs ini juga sudah mulai banyak dilirik wisatawan. Sebenarnya,
energi saya sudah mulai habis. Tapi, demi menuntaskan hasrat saya mendalami
kehidupan masa Kerajaan Mataram Kuno, saya tetap semangat. Sama seperti
kunjugan saya sebelumnya, saya langsung terkesima dengan pintu gerbang kompleks
istana ini. Saya masih bisa membayangkan betapa megahnya Kerajaan Mataram Kuno
pada masa kejayannya dulu. Berada di atas ketinggian 196 m dpl, situs ini layak
dikunjungi.
Meski namanya Istana Ratu Boko sebenarnya, secara
keseluruhan fungsi utama dari tempat ini belumlah dapat diketahui dengan jelas.
Ada yang mengatakan bekas istana, ada yang mengatakan tempat pemukiman
penduduk, dan ada pula yang mengatakan tempat pemujaan. Namun, bagi saya yang
melihat banyaknya kompleks bangunan dengan berbagai fungsi masing-masing, saya
menduga bangunan ini mirip Pentagon di Amerika Serikat. Sebuah pusat kekuatan
yang terdapat berbagai macam fungsi bangunan di dalamnya. Entahlah, yang jelas,
saya bisa merasakan kemegahan Mataram di dalamnya.
Amazing Ratu Boko |
Bangunan yang diyakini dibangun oleh Ratu Boko, ayah
Loro Jonggrang ini juga menjadi jujugan wisatawan yang ingin menikmati
pemandangan matahari terbenam. Sayang. Saat saya ke sana, langit mendung dan
akan segera turun hujan. Jadi, saya memutuskan kembali ke Kota Yogyakarta untuk
beristirahat. Selamat tinggal Istana Ratu Boko.
Tags
Sejarah
Waa bisa dicoba. Sudah bosan dengan Prambanan dan Borobudur. Kelihatannya pengunjungnya gak terlalu banyak ya
ReplyDeletesilahkan mbak....
DeleteKalau mau blusukan masuk-masuk hutan, di sekitar Candi Barong sebetulnya masih banyak situs purbakala lain lho. Seperti Situs Dawangsari, Arca Ganesha, sama Candi Miri.
ReplyDelete