Tiba-tiba saya kepingin ke keraton.
Tapi bukan Keraton Kesultanan Yogyakarta yang berada di
Alun-alun Utara. Melainkan Puro Pakualaman yang berada di sebelah timur kawasan
Jalan Malioboro. Keinginan saya ini bermula saat melintasi Jalan Agung dan
melihat kompleks istana yang cukup megah. Kata driver Gojek yang saya sewa, ini
adalah Puro Pakualaman, satu dari dua kompleks istana yang masih eksis di
Jogja.
Kadipaten Pakualaman sendiri dibentuk pada tanggal 18 Maret
1813. Saat itu, Pangeran Notokusomo, putra dari Sultan HB I dengan selir
Srenggowati dinobatkan oleh Gubernur Jendral Inggris Sir Thomas Stanford
Raffless sebagai Adipati Paku Alam yang pertama. Penobatan ini juga termasuk
dalam politik devide et impera yang dijalankan para penjajah untuk memecah
kembali Kerajaan Mataram Islam menjadi 4 bagian. Namun, dalam perjalannnya,
pihak Keraton Yogyakarta memandangnya bukan sebagai perpecahan karena adanya
komitmen untuk menyatukan dinasti Mataram. KGPAA Paku Alam sendiri secara
otomatis menjadi Wakil Gubernur Provinsi DIY sesuai dengan keistimewaan
provinsi ini.
Setelah mengetahui sedikit sejarah Pakualaman (nantinya saya
singkat PA), maka saya bergegas menuju ke pintu masuk Puro Pakualaman. Di sana
sudah ada dua orang abdi dalem. Saya lalu permisi minta izin masuk. Setelah mengisi
buku masuk, saya lantas diwejangi agar tidak memotret di dalam sana, hanya
boleh sampai di pintu masuk. Lalu saya memotret bagian dalam dari luar dan
kedua orang abdi dalem yang sudah sepuh tersebut.
Saya lantas memulai dari arah samping kiri bangunan. Ada banyak
ruang-ruang di sana yang terkuci rapat. Ada juga perpusatakaan yang saat saya
akan masuk ternyata sudah mau tutup. Saya lantas menuju bangsal utama tempat
dilaksanakannya berbagai peristiwa penting. Ada seperangkat gamelan yang sangat
terawat dan tentunya yang bikin saya takjub adalah lampu hias yang megah. Di
sampingnya berjejer mobil mewah dan motor sport yang terbungkus rapi.
Lalu saya mendapati sebuah bangunan yang terdapat taman
indah di depannya. Ada tulisan Batas Memotret. Lha ternyata boleh gitu. Lalu saya
mulai mengambil kamera dan memotret. Tak lama, abdi dalem yang ada di pintu
masuk dan mengatakan “Mboten pareng (tidak boleh)”.
Keluar juga seorang yang memakai baju adat yang cukup bagus
yang saya yakini adalah pembesar di lingkungan istana sambil menyuruh saya
pergi. Ya sudah, saya meminta maaf dan mohon pamit.
Sambil masih bingung, saya menuju halte Trans Jogja yang
berada tak jauh dari Puro Pakualaman. Entah tiba-tiba perasaan saya gak enak
atau karena sugesti tapi saya masih merasa ada sesuatu saat berada di depan
bangunan cantik tadi.
Berbeda dengan Kesultanan Jogja yang cukup terbuka dalam
menyambut wisatawan, saya mendapat sesuatu yang terkesan tertutup di
Pakualaman. Saat saya tanya ke guide saya, dia berkata bahwa tak boleh
sembarangan saat masuk ke sana. Saya belum puas dengan alasannya. Maksud saya,
sebagai wsiatawan saya cukup menghormati dengan paugeran yang ada di keraton. Hanya
saja, kok ada sesuatu yang kurang jelas dan ditutup-tutupi. Misal, jika
wisatawan tak boleh mengambil gambar, silahkan kamera yang dibawa wisatawan
dititipkan. Lalu wisatawan dipersilahkan masuk dan diberikan keterangan
mengenai apa yang ada dan yang boleh diketahui wisatawan. Jadi, sebagai tamu,
kami tahu betul tatanan yang ada di sana dan tak akan melakukan hal-hal di luar
batas yang telah ditentukan.
Bagi saya yang hidup di kawasan Arek yang tidak secara
langsung terpengaruh oleh kekuasaan Kerajaan Mataram dan segala hal yang berbau
feodalisme, mungkin ada kaitannya dengan konflik yang melanda Pakualaman. Proses
pelantikan KGPAA Paku Alam X, yang memiliki nama asli RM Wijoseno Hario Bimo
ini menjadi konflik internal. RM Wijoseno Hario Bimo yang merupakan putra KGPAA
Pakualam IX mendapat perlawanan dari KPH Anglingkusomo. KPH Anglingkusomo
sendiri adalah putra Sri Paduka KGPAA Paku Alam VIII (memerintah 1937-1998). Sebenarnya,
perebutan kekuasaan ini sudah terjadi ketika KGPAA Paku Alam IX berkuasa,
tepatnya pada tahun 2012.
Yah saya yang tak terlalu paham politik cukup menyayangkan
hal ini. Apalagi jika melihat keindahan Puro Pakua Alaman yang tak ternilai. Semoga
saja di lain waktu saya bisa masuk dan belajar banyak tentunya dengan aturan
yang ada.
Mohon maaf jika ada kesalahan.
Tags
Sejarah
Waah waah, kalo saya malah ngeluyurnya ke Mangkunegaran
ReplyDeleteWaah waah, kalo saya malah ngeluyurnya ke Mangkunegaran
ReplyDeleteWah sy blm pernah ke sana kykx lbh bagus...
ReplyDelete