Gambar diambil dari my.fakingnews.firstpost.com |
Saya benar-benar capek. Hayati lelah. Bagaimana tidak?
Ponsel saya sudah semakin parah lemotnya. Jangankan membuka aplikasi semacam
BBM, buat melihat kontak saja susahnya minta ampuh eh ampun.
Minta adek. Iya memang kalau dihitung usianya sudah hampir 3
tahun. Waktunya beli adek. Memang saya berencana membeli HP tipe terbaru dengan
merk Tiongkok yang katanya kameranya bisa bermega-mega pixel, mantep kalau
digunakan untuk selfie.
Lalu apa dong yang menjadi inti pembicaraan sehingga saya
berbicara ngalor-ngidul begini?
Sebenarnya sih bukan hal yang terlalu penting banget, tapi
kalau tak disampaikan kayaknya seperti udun aka bisul. Bisa meledak kapan saja,
haha. Saya sebenarnya sudah lama ingin menulis ini, tapi sejak hari efektif
semester 2 saya dihajar kerjaan bertubi-tubi, maka ya begitulah.
Terhitung mulai akhir tahun 2015, di tempat kerja saya
terjadi revolusi ponsel besar-besaran. Maklum, tempat saya bekerja bukanlah
diisi penghuni para pemuda yang melek IT dan sudah mengenal tekonologi ponsel
pintar semenjak era ponsel ini baru lahir. Saya bekerja di tempat yang banyak
rekan-rekan saya sudah senior (saya sungkan kalau menyebut
beliau-beliau......... hehe). Makanya teknologi ponsel pintar baru masuk ke
tempat saya bekerja beberapa bulan ini. Harap maklum adanya. Mending terlambat
daripada tidak sama sekali kan?
Penetrasi ponsel pintar ke tempat saya bekerja bisa
dikatakan sebagai sebuah efek domino dari apa yang disebut kejenuhan kerja.
Jadi begini, di tempat kerja saya, para pekerjanya dituntut untuk bisa segala
hal. Mulai mengajar anak, mengetik di komputer, menulis ini itu, memasak,
mengurusi ini-itu, dan sebagainya. Hebat kan?
Nah kadangkala berbagai hal itu bisa harus diselesaikan
dalan tempo yang sesingkat-singkatnya. Layaknya pemindahan kekuasan Republik
Indonesia dari tangan Jepang. Saat para pekerja yang notabene sudah senior
dihajar berbagai hal yang sebenarnya tidak harus mereka lakukan dan mereka
kuasai (dengan melihat faktor usia dan kapabilitas dalam bidang lain tentunya),
maka hadirnya ponsel pintar bagi mereka seakan sebuah kantong ajaib doraemon
yang bisa melakukan apa saja.
Dari sekian banyak teknologi dan aplikasi ponsel pintar,
satu yang paling menonjol adalah Whatsapp (WA). Teknologi yang sudah ada dan
sudah dikenal para muda sejak 2010an (CMIIW). Ketika para junior sudah bosan dengan WA dan mulai ke bentuk
aplikasi lain, semacam Path dan Skype, para senior merasa bahwa WA adalah
teknologi yang paling canggih.
Maka munculah apa yang saya sebut dengan re-Wa euphoria.
Kehebohan WA Jilid II. Saya masih ingat ketika ponsel pintar mulai masuk ke
Indonesia dan WA mulai dikenal oleh kalangan muda, aplikasi ini menjadi
primadona baru yang sungguh membantu. Dibanding BBM yang hanya bisa digunakan
pada piranri Blackberry, WA seakan menjadi sesuatu yang ajaib. Nah ini yang
saya amati dialami dan dirasakan oleh para senoir ketika beliau-beliau
mengalami penetrasi smartphone.
WA is my life. Tagline yang tepat. Mengunggah gambar, video,
hingga suara bisa dilakukan. Saya mengamati berbagai ekspresi yang cukup unik
saat pekan-pekan penetrasi smartphone terjadi. Eskpresi girang dan tertawa
terbahak-bahak hingga tak ada waktu tanpa ber WA. Dan yang pasti, munculah
grup-grup WA di mana-mana, terutama di instansi yang banyak para seniornya.
Awalnya memang grup ini berniat menjalin komunikasi yang
lebih cepat. Tapi, lama-lama kok saya merasa jengah. Bagaimana gak jengah,
setiap detik rasanya Hp bergetar karena ada notifikasi masuk. Bahkan kalau saya
lama tak memegang ponsel (maklum saya bukan tipe gandget freak, kerja ya
kerja), notifikasi bisa sampai ratusan. Ketika saya ingin membuka ponsel, ya
sudah, saya sampai tak tega melihat ponsel saya.
WA-WA yang masuk rata-rata berupa meme yang sebenarnya kalau
bisa dibilang jayus, hehe. Lha gak jayus, meme yang dikirim sudah saya lihat
beberapa tahun yang lalu. Bagimana perasaan anda jika melihatnya, pasti sama
kan?
Para senior juga benar-benar terpaku dengan meme-meme
tersebut. Sekali lagi saya maklum. Dengan rutinitas yang aduhai, ber-WA ria
benar-benar mengasyikkan. Tekanan kerjaan bisa sedikit reda. Saya bisa
merasakannya juga karena entah mengapa beberapa bulan terakhir ini kerjaan
rasanya tiada akhir.
Tapi, satu hal yang saya amati, ada sebuah keganjilan yang
menurut saya kok ya kurang sreg. Bisa disebut apa ya. Begini, dengan adanya WA,
infromasi yang ada memang cepat. Misal ada surat dari instansi yang lebih
tinggi. Nah sering saya temui, surat tersebut disampaikan melalui WA, tanpa
adanya surat tertulis secara langsung yang diberikan.
Lihat di WA, lihat di WA dan lihat pengumuman di WA.
Kalau sudah begini saya jadi berpikir, jikalau ada instansi
atau individu yang karena keterbatasannya tak memiliki WA. Maka bisa
dibayangkan apa yang terjadi. Menurut saya, surat terlulis tetaplah surat
tertulis. Harus disampaikan dengan protab yang jelas. Kalau berhubungan dengan
sesuatu yang penting kan berabe?
Nah yang kedua, kadangkala pengumuman yang ada biasanya
hanya hoax. Kadang saya saat ke sebuah instansi yang lebih tinggi menemukan
orang-orang yang panick attack bertanya ini-itu dari WA yang ternyata Cuma
hoax. Para senior banyak yang masih belum mengerti apa yang disebut dengan
sharism (berbagi).
Sebuah catatan dari Kang Pepih Nugraha, salah satu wartawan
senior di Kompas Gramedia, adanya keterbukaan informasi dan perkembangan IT
membuat orang ingin berbagi apa yang mereka tahu. Keinginan untuk berbagi ini
semakin besar jika terjadi interaksi antar komunitas. Maka, para senor akan
merasa hidupnya lebih berwarna jika mereka bisa melakukan sharism.
Nah sayangnya sharism yang mereka lakukan tidak disertai
dengan sebuah kroscek yang berimbang. Kadangkala saat mereka membaca sebuah
artikel, hanya bagian awal yang dibaca (bisa juga judulnya saja, hehe). Ketika
ada sebuah info yang bisa mereka anggap bombastis, maka kegiatan sharism akan
dilakukan. Memang, banyak informasi yang bermanfaat yang bisa saya dapat,
semisal tuntunan agama atau kata-kata mutiara, tapi tak jarang saya menemukan
berita yang sudah usang dan dirangkai lagi menjadi sesuatu yang terlihat wow.
Apalagi jika belum tentu benar.
Niat para senior untuk melakukan sharism saya hargai. Mereka
sudah berusaha untuk ikut andil dalam perkembangan teknologi dan mencoba bebagi
sungguhlah usaha yang patut diacungi jempol. Namun, akan lebih baik jika kita
mencoba menulis apa yang kita rasakan dan apa yang kita alami. Memang jika
melihat kesibukan rasanya kok tak ada waktu. Tapi kalau melihat intensitas
waktu untuk berWA kok ya masih ada waktu juga kan?
Mungkin kita tidak perlu menulis yang panjang lebar tinggi
hanya mungkin apa yang kita rasakan dan bisa kita petik pelajarannya, semisal
saat bertemu sesorang yang unik. Bukan bergunjing lho ya tapi berbagi apa yang
kita punya. Mungkin interaksi itu akan bisa lebih terjalin dibanding hanya mengkopas
tulisan dari grup sebelah.
Memang berWa dengan berkopas gambar dan grup tetangga
menyenangkan? Tapi alangkah lebih produktif jika menulisakn hal-hal baik yang
bermanfaat. Bukan begitu???
Tags
Catatanku