Saya sudah tak memiliki rencana matang saat hari terakhir di
Jogja. Di kepala saya hanya ada satu hal : pulang. Tapi, kereta yang saya naiki
untuk pulang baru berangkat jam 8 malam. Nah sehari penuh saya bingung akan ke
mana.
Hostel tempat saya menginap sudah full. Saya tak bisa
mengambil jatah late check out. Tapi mas petugas hostel amsih berbaik hati. Saya
boleh menitipkan tas sembari jalan-jalan. Nantinya, sebelum saya pulang, saya
masih diizinkan mandi di kamar mandi hostel. Oke, satu masalah teratasi. Tinggal
saya bingung mau kemana.
Teman hostel asal Singapur mengajak saya untuk ke pantai
selatan. Katanya sih di sana ada gua bagus dan pantai yang ciamik. Saya sih
mau-mau aja. Namun, melihat sikon (waktu dan uang yang mepet), kok saya gak
mungkin mengiyakan. Apalagi, kan di Malang ada banyak pantai dan goa yang gak
kalah keren. Saya bisa ke sana lain waktu. Si Singapur masih kekeuh mau jalan
sama saya. Katanya sih dia tak ada rencana hari itu. Okelah, tak apa. Saya ajak
saja keliling kota ke tempat bersejarah. Saya masih harus punya rencana matang
buat pulang. Kalau tak, habislah saya.
Kamipun pergi sekira pukul 09.00. Cukup siang untuk memulai
jalan-jalan. Malam sebelumnya, kami hanya sempat makan di sekitaran Malioboro,
bersama rekan dari Malaysia yang pada hari itu bermotor ria bersama bule dari
Cile. Duh senengnya.
Makan Malam sehari sebelumnya. Malaysia ada... Singapore ada.... Indonesia ada... tinggal Brunei buat Konser D'Academy |
Dengan Trans Jogja, kami berangkat tanpa membawa banyak
barang. Untung, di dekat hostel sudah ada halte Trans Jogja. Bus yang kami
naiki sudah penuh. Hari itu banyak warga Jogja yang akan menuju pusat kota. Sekira
satu jam kami berhasil sampai di halte Malioboro 3, yang dekat dengan Pasar
Beringharjo. Oke, petualangan segera dimulai.
Tanpa berjalan jauh, kami memutuskan dulu ke Museum Benteng
Vredeburg. Kami melihat berbagai diorama sejarah bangsa Indoensia, mulai dari zaman
prasejarah hingga zaman kemerdekaan. Saya kok mendadak jadi tour guide. Menjelaskan
setiap diorama kepada rekan se-ASEAN saya, hihi. Dia cukup senang bisa melihat
apa sebenarnya yang terjadi dengan Indonesia sebelum sekarang ini, terlebih
jika ada sejarah mengenai perang masa revolusi fisik (1945-1949). Sesekali dia
tampak kagum dengan tokoh-tokoh pejuang Indonesia semisal Jendral Soedirman dan
I Gusti Ngurah Rai. Beberapa kali saya dengan bangga menjelaskan konsep
Bhinneka Tunggal Ika yang berhasil menyatukan berbagai suku bangsa dan agama di
sini. Sesuatu yang juga sulit dilakukan di Singapura.
Lagi asyik perang-perangan |
Selepas dari museum itu, kami memutuskan ke Taman Sari. Dan kami
memutuskan untuk..... berjalan kaki. Haha asyikin aja. Sayapun berjalan bak
turis yang dikawal bodyguard, wkwk. Secara badan saya yang kecil nan imut
tampak kontras dengannya. Ternyata jauh juga ya letak Taman Sari. Kalau dilihat
di peta kok dekat. Memang, GPS sering menipu.
Sesampainya di sana, saya yang kebagian membeli dua tiket. Saya
spontan beli dua tiket untuk wisatawan lokal (hehe jangan ditiru). Kamipun masuk
dan tampak di depan mata sebuah pemandangan asyik nan menarik. Kolam renangnya
lawa (cantik), kata teman saya. Duh kalau saya jadi putri keraton, gak bakalan
mentas (keluar) dari kolam renang itu deh. Ternyata, kolam renang ini terdiri
dari beberapa komplek untuk ratu dan putri-putri keraton. Saya paling suka
ornamen di pintu masuknya yang sangat kontras dengan warna kolam yang toska. Uh
segarnya...
Pose ganteng dulu di Taman Sari |
Puas menikmati kolam kamipun keluar dan ternyata pintu
keluarnya tanpa penjagaan dan bersatu dengan rumah warga dengan jarak yang
lebih dekat. Tau gitu tadi lewat situ. Oke kamipun melanjutkan perjalanan ke
Keraton Jogja. Lagi-lagi berjalan kaki di tengah terik. Saya sudah menghabiskan
sekira 5 botol air mineral saking panasnya. Dan sang bodyguard saya masih kuat
aja. Hebat ini orang.
Di sana kami tak lama karena ya begitulah. Menurut saya,
keraton Jogja sekarang kok kurang terawat ya. Entah karena apa, padahal
bangunannya bagus banget. Setelh itu kami pun ke Museum Sono Budoyo yang akan
tutup. Kami melihat berbagai peninggalan sejarah Jogja mulai zaman prasejarah. Di
museum ini lebih menitikberatkan hasil kebudayaan yang ada. Kalau dijadikan
linimasa, ya seperti peralihan bentuk budaya yang sarat makna. Ada peninggalan
masa berburu dan meramu, masa perundagian, zaman sejarah Mataram Kuno, zaman
Mataram Islam hingg Keraton Jogja sekarang. Oke sudah puas belajar sejarah
sekarang waktunya berbelanja.
Kami lalu ke Pasar Beringharjo untuk sekedar beli oleh-oleh.
Saya baru sadar nilai tukar rupiah yang sangat rendah tatkala teman saya dengan
entengnya membelanjakan uang 100.000 yang katanya just 10 dollar. Uh. Yah tapi
gimana lagi, kondisinya memang begini, harus disyukuri, betul nggak?
Tak terasa hari sudah sore. Saya melirik jam sudah jam
setengah lima. Nah mulai sinilah petualangan terjadi. Teman saya kekeuh naik
Trans Jogja, katanya biar ngirit. Tapi, saya kok pesimis ya. Bus Trans Jogja
yang kami naiki memang cepat sekali ada, tapi jalannya itu lho. Saya beberapa
kali bertanya untuk turun ke halte dekat hostel apakah harus ganti Bus. Si mbak
dan mas petugas halte dan kondektur bilang tidak perlu. Ok saya nikmati saja
perjalanan ini.
Suasana di dalam Trans Jogja |
Saya sudah agak tenang ketika bus sudah sampai di sekitar
Mojali karena hostel saya di dekat Ring Road Utara. Tapi, ketika Bus sampai di
Terminal Jombor, semua penumpang harus turun. Lha kok. Saya tanya jika mau ke
halte dekat hostel harus naik apa. Ternyata ada bus lagi tapi entah kapan
datangnya, secara saat itu mau magrib. Dug, harus gimana nih?
Oke saya memutuskan naik taksi aja. Teman saya sempat
ngelarang tapi saya harus kejar kereta. Saya pun bilang tak apa saya yang bayar
taksinya pokoknya bisa segera sampai. Kami pun mencari taksi, untunglah ada
sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpang.
17.45
Saya naik taksi sambil bilang ke sopir untuk segera ke
tempat saya menginap. Dia hanya mau kalau tarifnya 50 ribu tanpa argo. Oke saya
setuju.
18.10
Kami sampai di hostel. Saya bergegas mandi dan sholat
sebentar. Lalu saya akan pesan ojek. Tapi teman saya tadi mencegah saya. Dia ingin
makan malam terakhir di warung stek dekat hostel. Baiklah, demi pertemanan yang
langka saya setuju. Saya akan pesan ojek nanti
18.20
Kami sampai di warung stek. Kami pesan makanan. Dan mengobrol
planing jalan-jalan selanjutnya. Kalau tak ada aral melintang, saya fix ke
Singapur akhir tahun 2016. Gantian nanti dia jadi tour guidenya.
18.40
Makanan yang kami pesan datangnya lama. Oke saya harus isi
perut dulu biar nanti bisa tidur di kereta dengan nyenyak. Nah sebelum
menyantap, ada baiknya saya menelepon ojek. Dan ternyata tak ada tukang ojek yang
mangkal di dekat situ. Deg, saya muali panik.
18.45
Oke saya masih tenang dan memakan stek. Masih ada taksi. Tinggal
sedikit lagi makanan saya habis. Setelah habis, saya menelepon pangkalan taksi
yang ada di map Jogja. Dan lagi-lagi, tak ada taksi yang ada di sekitar situ. Maklum,
hostel saya nun jauh di seputaran ring road dan masuk teritorial Kabupaten
Sleman. Wah ini gimana?
18.50
Teman saya belum habis makannya. Tapi dia ikutan worry
karena saya sudah agak parno. Saya mencoba hubungi pangkalan taksi lain dan
hasilnya sama. Berhubung besok malam tahun baru jadi semua taksi full booked. Omigad,
saya harus gimana?
19.00
Teman saya selesai makan. Dia menenangkan saya dan akan
sekuat tenaga membantu mencari taksi di jalan. Setelah selesai membayar, kami
bergegas ke jalan raya. Satu jam ke depan akan sangat menetukan hidup saya.
19.10
Kami sampai di dekat halte bis Trans Jogja. Saya tak akan mungkin
naik Trans Jogja. Teman saya melambai-lambai ke jalan saat ada taksi melintas. Sayang,
belum ada taksi yang kosong.
19.15
Masih belum ada taksi yang nongol. Aduh, saya semakin panik.
Teman saya masih melabaikan tangannya. Demikian pula saya. Hingga.....
19.17
Ada sebuah taksi melintas dan menepi. Teman saya segera
memasukkan ransel saya ke mobil. Saya pun berpisah dengannya. Hiks. Bagai atlet
Korea Utara dan Selatan di Film As One yang pernah saya tonton. Duh sentimentil
deh. I promise, Singapore is the first place If I’ll go aborad later, Not
Philippines, haha. Terserah deh. Dan kami berdadah-dadah.
19.20
Jogja maceeet paraaah. Baru masuk lingkar UGM yang ada
tulisan “Batas Masuk Kota Jogja” taksi yang saya tumpangi sudah stuck. Oh,
Nooo.
19.30
Saya masih di seputaran RS Bethesda. Kok kayakanya kemarin
gak lewat sini. Saya tanya Pak Sopir kenapa lewat sini. Katanya jalan apa gitu
distop jadi ya harus muter. Oke tak apa saya masih ada sedikit waktu. Agar tak
terlelu cemas, saya melihat suasana Jogja malam hari. kalau diperhatikan 11-12
lah dengan malam. Tongkrongan penuh di pinggir jalan, Cuma ya itu, di sini
memang sadar pariwisata jadi apa-apa kok kelihatan indah ya. Tapi Malang juga
mulai sadar kok, mulai lho ya.
19.45
Tahun kemerdekaan Indonesia. Sama halnya dengan perasaan
saya yang akhirnya sampai di Stasiun Tugu. Saya bayar ke pak sopir dan segera
masuk stasiun sebelum semuanya terlambat dan usaha keras saya sia-sia.
Akhirnyaaaaaaaa |
19.49
Stasiun Tugu besar banget. Kerasa kalau lagi dikejar waktu. Sampai
di pintu pemeriksaan, saya keluarkan KTP dan tiket yang sudah amat sangat
lecek. Petugasnya geleng-geleng dan mencoba dengan susah payah membaca QR code
di tiket. Hehe maap Pak saya takut tiketnya ilang jadi nempel terus di badan.
19.53
Saya segera mencari Kereta Malioboro Ekspress. Ternyata keretanya
baru berangkat pukul 20.45,. haha saya salah baca tiket. Ya sudah yang penting
mengamankan diri dulu di dalam kereta. Saya duduk dengan nyaman dan mulai
bergadget ria. Tak lupa saya mengirim pesan ke rekan se-ASEAN saya. Dan titip
salam buat rekan Malaysia dan Chili yang masih ada di sana. Meski Cuma 2 malam
sekamar, tapi mereka seru banget. Itulah serunya nginep di hostel yang gak akan
pernah ada kalau nginep di tempat lain.
20.45
Kereta berngkat. Saya senang bisa mengakhiri perjalanan
dengan cukup unik. Selamat tinggal Jogja dan selamat Datang Malang dengan
segala rutinitasnya.
PS : Saya tak bisa tidur di kereta, entah karena apa.
Tags
Jalan-jalan