Perjalanan saya masih berlanjut mengunjungi candi-candi di Sleman, DIY.
Candi Banyunibo
Puas menikmati Situs Ratu Boko, saya siap menjalani trip berikutnya. Abang ojek lalu mengembalikan posisi kami ke perempatan jalan yang terdapat papan petunjuk tempat candi berada. Beliau lalu menuju ke Candi Banyunibo. Sekira 600an meter dari perempatan tadi, sebuah candi sudah saya lihat. Berada di tengah perkebunan penduduk, candi ini tampak sepi. Saya lalu turun bergegas ke pos jaga. Ternyata tidak ada siapa-siapa. Saya lalu menuju bagian utama candi tersebut. Saya rasa, bentuk candi ini mirip dengan Candi Badut di Malang. Hanya saja, karena candi ini bercorak Buddha maka di bagian atas candi terdapat stupa. Di sekeliling candi juga terdapat ceceran arca dan bekas bangunan candi yang sudah tak utuh lagi. Diantara candi-candi lain yang saya kunjungi, candi Banyunibo terkesan wingit. Saya melihat jalan beraspal berakhir pada candi itu. Selepas itu hamparan kebun warga di sekitarnya terbentang luas.
Penampakan Candi Banyunibo |
Gak afdol kalau gak foto |
Candi Ijo
Abang ojek lalu membawa saya ke Candi Ijo. Beliau
bilang perjalanan kali ini cukup ekstrim. Saya pun semakin berpegang mesra pada
abang ojek, haha. Dari Candi Banyunibo abang ojek kembali mengembalikan posisi
motornya ke perempatan jalan desa. Lalu berbelok ke arah kiri menuju Desa
Sambirejo, Kecamatan Prambanan. Mulanya jalan masih lurus. Lama-lama saya
melihat tanjakan beserta tikungan tajam (pasangan yang amat serasi) di depan
kami. Tanjakan yang kami lalui semakin tajam. Motor abang ojek sesekali
terlihat kepayahan saat menaiki tanjakan. Perkampungan penduduk mulai jarang
terlihat. Saya mulai worry, jangan-jangan tempatnya berada di puncak gunung dan
tak ada orang. Tapi dari arah berlawanan masih ada saja kendaraan berseliweran.
Bahkan ada truk pengangkut batuan yang turun dari atas. Truk itu membawa hasil
tambang batuan di sebuah tebing, yakni tebing breksi. Tebing ini mulai in
karena dari atas bisa melihat candi-candi yang tersebar di sekitarnya berlatar
belakang Gunung Merapi. Karena saya dikejar waktu saya hanya berfoto sebentar
di sana. Lain waktu bolehlah saya coba naik.
Wisata Tebing Breksi |
Akhirnya setelah berjalan jauh dan melihat perjuangan
abang ojek yang cukup ekstra, dari bawah terlihat kumpulan candi dia atas
bukit. Wow, dan wow dan wow lagi. Ini apa lagi coba? Saya langsung berpikir :
Gedung Songo?
Ya, Candi Gedung Songo yang bagi saya seperti ritual
naik haji kalau ke sana seakan terus terngiang di otak saya. Bagaikan sang putri
yang akan saya sunting kelak (halah apaan??). Tapi sungguh saya sangat takjub
dengan candi-candi yang berada di atas bukit. Apalagi banyak.
Oke tanpa lama-lama saya beregegas ke pos jaga dan
membayar retribusi sebesar 2000 rupiah. Snagat murah untuk ukuran candi maha
indah. Saya lalu menaiki tangga menuju halaman utama. Setelah di puncak saya benar-benar
speechless. Jika di Ratu Boko tadi saya sudah ternganga, kali ini saya tak bisa
berkata apa-apa lagi. Udah deh, ini terlalu indah dan eksotik. Saya bisa
melihat apapun dari sini. Saya bisa lihat Bandara Adisucipto, saat ada pesawat
yang mulai take off. Saya bisa melihat
kompleks Candi Prambanan. Saya bisa melihat Kota Yogya dari sini. Dan saya bisa
melihat indahnya cakrawala siang itu. Bercampur dengan hembusan angin.
Papan Candi Ijo |
Cantiknyaaaaaaaaaaaa |
Subhanallah............ |
Jangan lupakan selfieee |
Saya pun merentangkan tangan. Membayangkan seperti
di adegan film Titanic. Dan mulai bernyanyi My Heart Will Go On. Tapi tiba-tiba
saya sadar. Ke mana pasangan saya? Haha adegan romantis itu pun hilang. Hiks,
tak apalah. Lalu saya mengganti posisi dengan duduk bersila. Dan lagunya saya
ganti. Lagu Pemandangan ciptaan AT Mahmud yang sering dinyanyikan murid-murid
saya. Tak apalah, dengan ini saya juga maish bisa menikmati keindahan Tuhan
ini.
Memandang alam dari
atas bukit,
Sejauh pandang kulepaskan
Sungai nampak berliku
sawah hijau terbentang
Bagai permadani di kaki langit
Gunung menjulang,
berpayung awan,
Oh.. indah pemandangan
Sejauh pandang kulepaskan
Sungai nampak berliku
sawah hijau terbentang
Bagai permadani di kaki langit
Gunung menjulang,
berpayung awan,
Oh.. indah pemandangan
Lama saya berada di
situ. Saya merasa kecil sekali. Merenungi banyak hal yang sudah saya lakukan. Saat
saya masih belum bisa membantu banyak orang, saat masih banyak kesalahan yang
saya perbuat. Duh jadi mewek. Saya juga menghilangkan berbagai hal mengganjal
pikiran saya selama ini. Saya ingin benar-benar menyegarkan pikiran.
Lamunan saya dikejutkan
oleh seorang mas yang minta dirinya difoto. Ternyata mas itu seperti saya. Dia
dari Jakarta dan tergila-gila dengan candi. Bahkan dia rela ditinggal
teman-temannya ke pantai dan gunung untuk ber-My Trip My Adventure. Jadi, dia
memilih trip sendiri saat pagi hari dengan motor sewaan. Dia sudah dapat 17
candi selama 2 hari di Jogja dan Klaten. Wow, sungkem. Kami lalu sharing kontak
WA dan sepakat ke suatu candi nun jauh di sana suatu hari nanti. Saya sangat
senang bertemu masnya ini karena saya masih menemukan spesies langka nan patut
dilestarikan macam saya yang tergila-gila dengan candi.
Difotoin masnya yang juga suka candi. |
Oke saya lalu mengamati
candi ini lebih detail. Arsitektur maha dahsyat ini dibangun sekira tahun 906
Masehi. Ada tiga candi utama dan tiga candi kecil di depannya. Diduga,
candi-candi itu mewakili pemujaan terhadap Trimurti. Relief di tubuh candi
banyak macamnya. Ada relief burung bayan dan apsara. Sama halnya dengan candi
Hindu lainnya, di bagian dalam candi terdapat Lingga Yoni, simbol Dewa Siwa dan
Dewi Parwati. Atap candi
bertingkat-tingkat tiga undakan, terbentuk dari susunan segi empat yang makin
ke atas makin mengecil. Di setiap sisi terdapat deretan tiga ratna di
masing-masing tingkat. Sebuah ratna berukuran lebih besar terdapat di puncak
atap. Selain kompleks candi
ini, ternyata ada kompleks candi lain yang masih dalam pemugaran di bawahnya. Oke,
saya tunggu selesainya pemugaran itu dan saya akan kembali lagi ke sini suatu
saat nanti.
Candi yang masih dipugar |
Setelah puas, saya pun
turun. Abang ojek masih setia menunggu saya. Beliau lalu memacu kendaraan ke arah
candi Barong. Namun, rupanya beliau belum paham arah jalannya. Jalan yang kali
lalui semakin terjal menuruni bukit. Jalanan semakin rusak dan batuan besar
harus kami lalui. Di sekieliling sesekali ada rumah penduduk yang amat
sederhana berupa rumah kayu yang mulai koyak. Rata-rata seperti itu. Suatu ketika
di persimpangan jalan kami menemukan seorang mbah yang masih kuat memanggul
ssebuah karung yang saya rasa itu batu (ya Allah pingin nangis). Kami bertanya
di mana letak Candi Barong. Si mbah menunjuk jalan yang benar dan berkata masih
jauh. Abang ojek lalu memcu motornya. Jalan lebih terjal lagi. Abang ojek mulai
terlihat kepayahan dalam mengendalikan motor. Motorpun seakan tak kuat lagi
meneruskan perjalanan. Saat ada seorang pemuda yang lewat dan kami bertanya
lagi, sang pemuda berkata masih jauh dan jalannya cukup berbahaya. Karena saya
tak kuasa melihat penderitaan abang ojek, saya memutuskan putar balik saja. Tak
apalah.
Si Mbah dan batuannya. Jadi kepingin ikutan acara Jika Aku Menjadi........... |
Kalau dipikir lagi, melihat
kedaan masyarakat di situ sebenarnya bisa dikembangakn wisata candi ini lebih
maju lagi. Apalagi pemandangan yang disajikan juga benar-benar menakjubkan. Tapi
kembali lagi kepada pihak yang terkait. Abang ojek lalu menuruni bukit untuk
kembali ke jalan raya. Kami akan ke Candi Plaosan. Bagaimana kisahnya? Tunggu di
cerita selanjutnya.
Tags
Jalan-jalan