Add caption |
Liburan kali ini saya sudah niat ke Jogja. Tapi, saya tak
ingin seperti kebanyakan orang yang berlibur ke Jogja. Belanja, ke malioboro,
ke Parangtritis, dll. Saya ingin sekali pergi ke candi-candi. Maklum, kalau
boleh disebut saya adalah candinolog. Orang yang suka sekali ke candi untuk
sekedar berziarah dan melihat masa lampau serta mengagumi keindahan di
dalamnya, meskipun saya tak terlalu paham lebih detail mengenai masalah
percandian.
Sayapun menjadi backpacker ecek-ecekan naik Malioboro Ekspres
dari Malang. Saya pilih penginapan berupa sebuah dorm hostel khusus backpacker di
kawasan Caturtunggal, Depok, Sleman. Sengaja saya pilih tak dekat dari pusat
kota Jogja karena saya memang nawaitu ingin ke candi-candi di Sleman yang terkenal
dengan kota “Seribu Candi”.
Awalnya, saya ingin sewa motor untuk berkeliling Sleman,
terutama daerah Prambanan dan Kalasan. Namun, karena momen liburan ini
benar-benar peak season, maka tak ada motor yang bisa saya sewa. Ya sudah, saya
akhirnya memanggil tukang ojek onlen yang sekarang lagi in. Meski saya tahu
pasti ini akan menguras banyak uang, tapi demi hasrat saya yang tependam maka
saya pilih alternatif ini. Sekedar informasi, harga sewa ojek di Jogja yang
saya naiki adalah Rp. 2 per meter. Jika abang ojek menunggu kita, maka akan
dikenakan tarif tunggu sebesar Rp. 20.000 per jam.
Hari kedua di Jogja baru saya mulai tur ini. Saya minta
jemput pukul 8 pagi agar bisa mengunjungi banyak tempat. Saya bilang ke abang
ojeknya kalau saya mau ke candi-candi. Terserah yang mana dulu yang penting
nanti terakhir di Candi Prambanan yang sudah tourisity. Abang ojek pun
menyanggupinya. Beliau pun lalu menjelaskan candi-candi apa saja yang ada di
Sleman. Ada yang bercorak Hindu dan juga Buddha.
Candi Sambisari
Trip dimulai dari Candi Sambisari. Dari arah Ringroad Utara,
kami menuju kawasan Lotte Mart. Kemudian, abang ojek mengarahkan motor ke a rah
Jalan Selokan Mataram. Saat masuk ke dalam gang, papan petunjuk candi sudah
tampak. Rupanya kami harus masuk sejauh sekitar 600 meter untuk sampai ke
candi. Rupanya, candi ini berada di tengah permukiman. Sama halnya dengan Candi
Singosari. Saat menengok dari pintu masuk, belum-belum saya sudah takjub dengan
candi ini yang ternyata berupa komplek percandian. Kalau tak salah ada sekitar
4 candi, di mana satu yang paling besar. Kompleks percandian tersebut dibatasi
oleh dua tembok yang mengelilinginya. Kalau melihat tembok candi ini, saya
teringat permainan Red Alert yang sering
saya mainkan dulu. Sata saya ke sana, ada rombongan besar dari sebuah sekolah
dasar. Rupanya, masih ada juga sekolah yang sadar untuk mengajak siswa-siswinya
ke candi-candi seperti ini. Mudah-mudahan bisa ditiru ya?
Papan Nama Candi |
Tampak samping |
Candi Kalasan
Nama Candi Kalasan taka sing bagi saya, karena saya punya
saudara di Malang yang rumahnya berada di Jalan Candi Kalasan (lho maksudnya?).
Dari Candi Sambisari, abang ojek mengarahkan m otornya kea rah jalan
Solo-Yogya. Baru juga beberapa meter di papan petunjuk jalan tertulis besar
Candi Kalasan. Sama besarnya dengan keterangan arah menuju Solo dan Surabaya. Dan
lagi-lagi, saya dibuat terkejut ternyata candi ini sudah terlihat dari pinggir
jalan raya karena menjulang tinggi.
Saat saya sudah mendekati pintu masuk, saya hanya bisa
berkata wow, amazing. Keren abis dan membahana apalah pokoknya. Itu candi ya
sepintas mirip candi di Kamboja yang ditumbuhi akar pohon. Dari bentuknya,
sudah bisa saya duga candi ini bercorak Buddha. Dari keterangan yang saya baca,
candi ini dibangun oleh Dinasti Syaliendra yang beragama Buddha. Dari candi ini
bisa diketahui bahwa tanah Mataram saat itu mulai dikuasi oleh Dinasti
tersebut, yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Sanjaya yang beragama Hindu.
Hayo yang belum tau atau lupa, dibuka lagi gih buku RPUL atau buku sejaranya.
Saya paling suka memfoto candi model begini. Tertutup sedikit pohon. Eksotik. Btw itu ternyata ada pengunjung lain , xixi |
Difotoin abang ojek xixi |
Yang membuat saya takjub, di dinding candi terukir relief
seperti menggambarkan sebuha cerita
kehidupan manusia dan dewa dengan detail. Sama halnya jika kita mengamati
relief pada Candi Borobudur. Pemahatnya pasti professional. Kalau beliau hidup
sekarang, pasti bakalan laris buat bangun tempat-tempat intagramable. Berjempol-jempol
deh. Saying seribu sayang, pengunjung tak boleh naik ke dalam bilik candi.
Mungkin dikhawatirkan akan terjaid kerusakan ya karena saya lihat banyak bagian
yang sudah rusak. Tak apalah. Lagi-lagi, yang membuat saya miris kemungkinan
saya adalah pengunjung pertama dan terakhir candi di hari itu (macam istri aja,
hehe). Padahal, candi ini berada di jalan poros Yogya-Solo jalur antara Candi
Prambanan dan Borobudur. Saya rasa, pihak pengelola wisata sejarah yang juga
turut mengelola kompleas candi Boprobudur-Prambanan-Ratu Boko bisa memasukkan
candi ini juga. Paling tidak mengajak wisatawan untuk mengunjunginya. Sayang
kan candi sebagus ini cuma saya yang mengunjungi, hehe.
Candi Ratu Boko
Abang ojek lalu
membawa saya ke Candi Ratu Boko. Sebenarnya setelah saya merenung lebih dalam
lagi harusnya saya ke sini terakhir bersama Candi Prambanan karena ada tiket
terusan beserta diskon plus fasilitas pengantaran dan penjemputan dari Candi
Prambanan. Tapi tak apalah, bersama abang ojek perjalanan tak kalah seru. Abang
ojek memacu motornya kea rah Piyungan, tempat fitnah nasional berasal (saya tak
mau meneruskan, pusing kalau bicara politik, hehe). Dari sini kami menuju Desa
Bokoharjo. Baru sampai masuk desa eh ada perempatan beserta papan petunjuk
arah. Dan pemirsa, kea rah kanan, kiri, dan lurus, semuanya ada candi. Malah
ada yang dobel. Ya Tuhan, nikmat apa ini?
Pemandangan jalan menuju ratu Boko. Saat naik tak sempat foto, sibuk berpegangan mesra ke abang ojek |
Menuju Candi Ratu Boko, perjalanan mulai berasa adrenalin. Kata
Mbak T, Mahaguru saya dalam menulis dan traveling, adrenaline junkies. Jalan menanjak
cukup curam. Bahkan sesekali terdapat tulisan anjuran untuk menggunakan gigi
persneling satu ketika naik. Selepas beberapa saat, tibalah kami di sebuah
tempat wisata yang sudah tertata rapi. Ada penginapan, restoran, gardu pandang,
jogging track, dll. FYI, kompleks candi ini merupakan kawasan yang sudah
terintegrasi dalam satu manajemen professional. Jadi, dibanding candi lain yang
hanya perlu membayar 2000 rupiah atau cukup mengisi buku tamu saja, untuk masuk
candi ini kita perlu mengisi kas sebesar 25.000. Haha cukup mahal ya. Tapi tak
apalah demi melestarikan peninggalan bersejarah bangsa kita, uang itu saya
keluarkan. Beli makanan di Mall aja bisa lebih dari itu, kenapa masuk ke candi
kita masih pikir panjang?
Memandang alam dari atas bukit, sejauh pandang kulepaskan..... |
Saat saya mau masuk pintu gerbang, mbak di loket heran
kenapa saya datang sendirian kok tak bersama keluarga (saya tahu arah
pembicaraan mbaknya, hehe). Saya jawab saya mau tur banyak ke candi-candi, jadi
saya tak bisa toleransi waktu jika saya pergi bersama saya hanya dapat sedikit.
Mbaknya hanya tersenyum.
Dan tibalah saya memasuki area sebenarnya yang ternyata
sangat luaaaaaaaaas sekali, kalau tak salah sekitar 25 hektar. Ada beberapa bagian dari kompleks situs ini. Ada
keraton, pemandian, pendopo, pagar, dan lain-lain (saking banyaknya saya lupa).
Dibangun saat Rakai Panangkaran (Dinasti Sanjaya) berkuasa, situs ini adalah
salah satu warisan dunia UNESCO (bangga). Saya cukup lama berada di sini karena
selain saya menikmati detail arsitektur situs ini, saya juga bisa melihat Kota
Yogyakarta dari atas ketinggian. Kalau sudah begini, saya tak habis pikir,
bagaimana ya orang dulu membangun mahakarya luar biasa seperti ini. Tapi yang
pasti saya jadi bisa merenungi lagi mahakarya ini sebenarnya dibangun untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ya tidak?
Selangkah demi selangkah saya napaki situs ini. Sejepret demi
sejepret saya ambil gambar. Kalau bisa, saya ingin di tempat ini lamaaaaa
sekali. Hingga matahari terbenam pun tak apa karena katanya nagus sekali kalau
sunset. Namun lagi-lagi saya dikejar waktu ya sudah. Saya pun lalu turun
sekitar 30 menit kemudian. Menyisakan kekaguman di hati dan keinginan menapaki
tempat itu kembali. Saat saya turun, abang ojek sudah siap dengan kereta
kencananya membawa saya bernostalgia ke masa Kerajaan Mataram Kuno. Masa yang
menurut saya paling misterius dan seperti di negeri dongeng meski karya nyata
itu ada dan telah saya saksikan.
Go Narsis, Hukumnya wajib ain. |
Gunung menjulang, berpayung awan....oh Indah pemandangan |
Bagian ini disebut Paseban. Katanya sih semacam resepsionis gitu. Tempat tunggu tamu raja. |
Bekas pemandian |
Bagaimana petualangan saya selanjutnya?
Tunggu kelanjutannya ya…
Tags
Jalan-jalan