Pak, ini kalau KDnya belum pas ngeditnya di mana?
Pak, ini NISN-nya anak-anak kok jadinya aneh ya? Gimana
masukannya?
Pak, itu apa harus dianalisis per KD? Terus ini kan saya
ulangannya asal saja gak buat kisi-kisi, lha nanti masukkan KDnya di mana?
Pak, itu UASnya kan sekarang tiap muatan langsung jadi satu,
lha itu analisisnya pakai apa?
Pak, untuk penilaian KI 1, apa guru kelas yang mengamati?
Apa ikut nilai daru guru agama?
Pak, apa ini dan dan apa itu?????
Seminggu terakhir ini pertanyaan itu bertubi-tubi terus
memasuki alam bawah sadar saya. Entah mengapa, rasanya tak ada hal lain yang
lebih gawat dari sebuah isu nasional , yakni : penulisan rapor K-13. Mungkin
anda semua sudah paham dengan salah satu isu lama ini. Dan, di sini saya
mencoba menceritakan sedikit keruwetan tersebut karena kebetulan saya langsung
berada di tempat kejadian perkara.
Kalau tak salah, sekolah tempat saya bekerja masuk dalam teritorial
wajib K-13, selain Kota Yogyakarta. Semua sekolah di Kota Malang memang telah
menggunakan K-13 semenjak 5 semester yang lalu. Berbeda dengan saudara dekatnya, Kabupaten Malang yang masih
menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, Kota Malang masih lanjut
K-13.
Konsekuensinya, penilaian rapor pada semester ini masih
menggunakan penilaian khas K-13 dengan ciri khasnya pada 4 aspek penilaian,
yakni KI 1 (spiritual), KI 2 (sosial), KI 3 (pengetahuan), dan KI 4
(keterampilan). Nah yang menjadi masalah adalah terjadinya perubahan dalam
proses pengisian rapor dan hasil rapor yang akan dibagikan ke wali murid.
Pada pengisian rapor sebelumnya, pengisian rapor didasarkan
pada nilai tiap kompetensi dasar tiap muatan (dulu disebut mata pelajaran
seperti PKn, B.Ind., Mat). Nilai yang dimasukkan akan dikonversikan menjadi
nilai skala 4. Dari nilai ini akan muncul deskripsi tiap-tiap muatan yang akan
menjadi dasar bagi orang tua untuk mengevaluasi hasil belajar sang anak. Nilai
mentah (nilai pendamping) biasanya diberikan hanya sebagai lampiran rapor.
Itupun beberapa sekolah tidak
menyertakan nilai pendamping.
Pola kerja dari penilaian sebelumnya adalah tiap guru akan
memasukkan nilai tiap Kompetensi Dasar (KD) rata-rata harian (tiap Tema), nilai
KD UTS, dan nilai KD UAS. Setelah nilai tiap KD itu muncul, maka aplikasi rapor
akan otomatis menghitung rata-rata tiap KD tiap muatan. Setelah mendapat nilai
rata-rata KD, maka akan secara otomatis muncul deskripsi berupa indikator yang
telah atau belum dicapai oleh sang anak.
Rupanya, model rapor seperti itu tidaklah memuaskan bagi
para orang tua. Saya yakin, hampir semua orang tua lebih sreg kalau mengetahui
perkembangan anaknya dengan angka yang pasti, bukan deskripsi. Maka dari itu
model rapor dikembalikan lagi ke angka dengan skala 1-100.
Penampakan hasil penilaian KI 1, 2 , 3, dan 4 pada rapor edisi terbaru |
Lha, kembali seperti KTSP dong??? , celetuk salah seorang
rekan guru.
Bisa dibilang iya, bisa dibilang juga tidak.
Memang, model penilaian seperti ini khas dari penilaian
kurikulum sebelumnya, terutama KTSP. Tapi, jika dicermati, untuk mendapatkan
nilai yang muncul pada penilaian KI 3 dan KI 4, langkahnya hampir sama dengan
aplikasi sebelumnya. Penilaian rapor baru ini mengacu pada Permendikbud No. 104
tahun 2014 yang bertujuan mengevaluasi penilaian model sebelumnya. Guru harus
membuat rata-rata harian tiap KD per muatan (mapel). Tak hanya itu, sang guru
harus membuat nilai tiap KD per muatan untuk UTS dan nilai KD untuk UAS. Untuk
satu anak, tiap mapel biasanya terdiri dari 4-5 KD, kecuali untuk muatan
tertentu yang terdiri hingga 10 KD (seperti PJOK). Hanya saja, mengingat
nantinya nilai yang keluar adalah nilai angka seperti pada KTSP, maka
sepertinya memasukkan nilai tiap KD adalah pekerjaan yang sia-sia. Kalau ada
cara cepat, mengapa tidak?
Identitas siswa yang harus diisi berulang setiap penerimaan rapor |
Pengerjaan rapor ini juga harus mencocokkan Kompetensi Dasar yang harus dilampaui anak |
Inilah yang menjadi pro kontra. Di satu sisi, bagi para guru
yang ingin lebih cepat dalam menulis rapor, tentu hal ini akan sangat membantu.
Tapi, bagaimana dengan para guru yang sudah terlanjur melakukan penilaian
seperti penilaian sebelumnya? Bagaimana dengan para guru yang sudah melakukan
analisis memeras otak dan tenaganya demi memenuhi segala sesuatu yang
dibutuhkan penilaian K-13?
Nerimo.
Mungkin itu yang harus dan terus dilakukan. Seorang pengawas
dari UPT juga mengatakan hal yang demikian. Di tengah ketidakpastian penilian
ini, beliau menyarankan untuk melakukan penilaian apa adanya saja. Yang penting
masih merupakan hasil belajar sang anak. Jawaban yang diplomatis. Tapi saya
renungkan lagi, memang benar adanya. Maka saya menyarankan kepada teman-teman
agar membuat terlebih dahulu nilai hitungan asli di luar aplikasi tersebut.
Nantinya, saat kita mengerjakan aplikasi tersebut, maka kita cocokkan dengan
nilai asli kita. Jika kekurangan atau kelebihan, maka bisa kita atur. Tak
usahlah bingung dengan KD-KD dulu. Tak usah risau dengan analisis yang
memusingkan itu. Ambil saja nilai rata-rata nilai harian, nilai UTS, dan UAS
tiap muatan (mapel).
Proses penilaian KI 1 dan KI 2 yang menggunakan nilai modus |
Proses penilaian KI 3 dan KI 4 yang menggunakan rerata harian,UTS, dan UAS |
Last but not least, jangan lupakan deskripsi per KD |
Meski begitu, saya tak habis pikir dengan pihak berwenang
yang menangani kebijakan ini. Mengapa penilaian belum bisa pas dan pakem untuk
K-13 ini? Mengapa sang anak kok sepertinya menjadi bahan percobaan? Apalagi
bagi anak yang saat ini duduk di kelas 3 dan 6, yang memiliki 3 rapor K-13
dengan jenis berbeda (karena tiap tahun ganti). Tak hanya itu, mengapa aplikasi
rapor dan model penilaian seperti ini
diberikan beberapa hari sebelum UAS. Kok tak jauh-jauh hari diberikan dan
disosialisasikan? Bagi saya saja dan guru-guru muda yang secara kemampuan IT
cukup baik, aplikasi ini cukup membingungkan. Lalu bagaimana dengan para guru senior yang
secara kemampuan IT banyak yang kurang handal namun pengalaman mengajarnya tak
boleh diragukan? Saya yakin aplikasi ini akan semakin memengaruhi psikologis
mereka. Meski kadang para guru muda bisa saja membantu, tapi hal ini maish
menjadi ganjalan mereka. Kita tahu pemerintah ingin meningkatkan kualitas guru,
tapi kalau sebagian besar guru senior tertatih-tatih seperti ini hanya untuk
rapor, bisakah mereka konsentrasi terhadap siswanya? Di lubuk hati yang paling
dalam, mereka akan sangat merindukan penilaian rapor yang simpel seperti dulu. Yang penting mereka tetap melaksanakan tugas
dengan baik untuk anak didiknya. Semoga cerita ini dapat diambil hikmahnya,
syukur-syukur bisa didengar oleh pihak terkait.
Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.
Gambar : Dokumen Pribadi
Tags
Catatanku
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete