“Besok datang lebih awal lagi ya. Biasa”, suara Winda kembali terngiang di kepalaku. Pinjam lagi pinjam lagi. Copy paste lagi copy paste lagi. Hidupnya memang enak. Tinggal duduk manis dan semuanya akan bisa dia dapatkan.
Aku berjalan tertatih di trotoar. Lapar, haus, dan capek. Tapi tak ada yang peduli denganku. Aku tak tahu apa yang dimaksud dengan teman. Yang kutahu, mereka hanya ada saat aku butuh. Kini, saat aku butuh mereka, tak satupun peduli padaku.
Rasanya jalan pulang ini teramat panjang. Sudah berapa lama aku berjalan, tapi tak jua sampai di rumah. Langkahku semakin berat saja. Sebentar. Dewi fortuna sedang menghampiriku. Kulihat ada sebuah bangku kosong di dekat bengkel mobil itu. Sejak kapan ada bangku kosong di sana? Ah sudahlah paling-paling itu milik pemilik bengkel. Yang penting aku bisa sejenak melepas penat ini.
Oh nyamannya duduk di sini. Apalagi di dekatnya ada pohon akasia yang rindang. Sesekali kulihat kendaraan di jalan semakin padat saja. Aku terpejam sejenak, mencoba membayangkan bersepeda di antara kendaraan-kendaraan itu. Pasti akan sangat menyenangkan. Tak usah capek-capek jalan seperti ini. Eh, aku kok jadi mengeluh begini sih. Jadi kasihan nenek.
Setelah lamunan itu buyar, aku akan bersiap pulang. Mungkin nenek telah menungguku. Nenek pasti sudah kewalahan membuat jamu. Aku harus cepat. Akupun berdiri dan siap berjalan. Tapi, sebuah tepukan mengagetkanku. Kutoleh ke belakang. Ya Tuhan, pangeran dari mana ini. Gantengnya. Ups, aku tak boleh salah tingkah.
“Maaf, kulihat tadi kamu senyum-senyum sendiri sambil memejamkan mata, kamu tak apa-apa?” tanyanya
Aduh, aku kok jadi kelihatan gugup begini sih, mana ketahuan tadi sedang melamun. “Eh, aku gak papa kok, cuma pingin istirahat sebentar aja,” kataku.
Dia tersenyum, oh sungguh senyum yang menawan. “Oh gitu. Oh ya, aku anak baru di sini, namaku Edo. Kamu siapa?” ujarnya sambil mengulurkan tangan.
“Mmm…namaku Sari”, aku balas uluran tangannya. Tulus sekali. Baru kali ini aku menerima uluran tangan setulus ini.
“Oh ya, kulihat dari kemarin kamu lewat sini terus, kamu sekolah di mana?” tanyanya.
“Iya, aku sekolah di SMP dekat bank itu”, kataku.
“Oh begitu, lalu rumahmu di mana?” tanyanya lagi.
“Jauh, di dekat jembatan sana, masih masuk ke dalam gang”.
“Wah jauhnya, kalau kamu mau nanti aku antarkan sampai ke rumah. Tapi maaf, kita jalan kaki saja,” tukasnya.
Aku diam sejenak. Perjalanan masih jauh. Aku juga butuh teman. Tapi, dia kan laki-laki, bagaimana kalau-kalau. Ah sudahlah, yang penting aku sampai rumah. Mana ditemani pria tampan ini.
Kami pun berjalan sambil bercerita. Ternyata dia bekerja sebagai pelayan di restoran baru di dekat bengkel tadi. Dia putus sekolah sejak SMP. Dalam hati aku merasa masih beruntung, masih bisa sekolah meski hanya tinggal bersama nenek.
Dia sangat ramah. Tak kusangka dia mau berteman denganku. Padahal aku tak punya apa itu yang disebut teman, baik di sekolah dan di rumah. Satu-satunya orang yang dekat denganku hanyalah nenek, sejak kedua orangtuaku meninggal.
“Sampai di sini aja ya, besok aku pasti menunggumu di tempat tadi,” kataku.
“Baiklah, aku senang mengenalmu Sari,”katanya.
“Iya, aku juga. Terimakasih ya sudah mau mengantarku”.
“Oke, sama-sama. Aku pergi dulu ya”.
Kutatap dia berjalan menyusuri jalan. Semakin kutatap, semakin bahagia rasanya. Belum pernah aku mendapat teman seperti ini. Aku tahu, dia tulus berteman denganku. Aku bisa merasakan dari senyumnya, dari sebuah senyum yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Perlahan sosoknya mulai menjauh. Akupun meneruskan langkahku menuju rumah.
“Sari, kaukah itu?” suara lirih itu terdengar saat kubuka pintu. Nenek rupanya sudah mulai bekerja.
“Iya nek, ini aku,” jawabku. Aku bergegas memasuki kamar dan berganti baju. Suara hentakan alu kudengar silih berganti dengan letupan air yang mendidih. Setelah selesai dengan kegiatanku, aku lengsung menghampiri nenek di dapur.
“Nek, aku masukkan kunir ini ya?” tanyaku
“Jangan, biar aku saja yang lakukan. Kau makan saja dulu. Nanti kau bantu bungkus kalau sudah jadi,” katanya.
Aku mengangguk dan menuruti perintahnya. Sambil makan, kulihat tangan nenek terus menghaluskan ramuan-ramuan jamu yang akan dijual. Kini, itulah satu-satunya harapan hidup kami.
***
Pagi itu aku bangun lebih awal. Hari ini aku lebih semangat berangkat ke sekolah. Berharap bertemu dengannya lagi. Dia berjanji akan terus menungguku setiap siang hari saat pulang sekolah. Aku minta izin nenek hari itu agak pulang terlambat. Sebenarnya tak ada acara khusus, tapi aku ingin sekedar lebih lama bersamanya.
Di sekolah aku masih semangat. Hingga Winda dan teman-temannya berhasil membuatku kesal. Ya, mereka sama sekali tak bisa disebut teman. Saat butuh denganku, mereka akan terus mendekatiku. Tapi saat tak butuh, mereka enggan bermain bersamaku. Bahkan teman-teman lain pun sama. Mereka enggan bermain denganku. Padahal aku hanya ingin punya teman yang tulus. Itu saja. Aku tak mengharap lebih.
“Sar, mana tugas yang kemarin?” tanya Winda tanpa rasa bersalah.
Kubuka tasku dan menyerahkan LKSku. Dalam hatiku sebenarnya masih berharap dia dan teman-temannya masih mau tulus berteman denganku. Tanpa ba bi bu lagi dia langsung meraihnya dan mulai melaksanakan niatnya. Pun dengan teman-teman lain. Aku memilih duduk di bangkuku dan melihat kegiatan mereka. Kegiatan yang terus berulang setiap. Jujur, aku capek dengan situasi ini. tak ada yang mau mengerti denganku.
Saat pulamg sekolah, kulihat Winda berbicara tentang kompetisi menari yang akan diadakan. Dia sedang mencari anggota tim. Aku hanya bisa bermimpi mengikutinya. Dulu aku pernah ingin ikut dengan timnya, tapi dia seakan tak berkenan menerimaku. Padahal aku benar-benar suka menari sejak kecil dan sering ikut lomba. Menurutnya, tubuhku terlalu pendek. Mereka hanya mau menerima anggota yang tubuhnya tinggi.
Ah sudahlah, aku tak mau terlalu kecewa. Yang penting aku segera bertemu dengan teman baruku. Kupercepat langkahku meninggalkan sekolah. Langkah demi langkah kulakukan dengan semangat. Hingga aku sampai di tempat kemarin. Oh Tuhan, dia sudah di sana. Ganteng sekali. Rambutnya masih basah, sepetinya dia baru mandi dan berniat bertemu denganku.
“Hai….,” sapanya saat aku mulai mendekatinya. Harumnya parfum yang belum pernah kukenal langsung terasa. Aku sungguh tak bisa berkata apa-apa.
“Eh,,, hai juga. Sudah lama di sini?” tanyaku. Aku lihat wajahnya semakin bersinar saja.
“Belum, tenang saja. Oh ya, hari ini kamu ada acara?” tanyanya balik.
Aku menggeleng.
“Kita jalan-jalan yuk,” ajaknya.
Aku hanya bisa mengangguk. Lalu, dia menarik tanganku. Sungguh, tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tersenyum ke arahku. Senyum itu, yang menjadi penyemangatku hari ini. Kami berjalan tak tentu arah. Sepanjang perjalanan dia banyak berbicara. Sementara aku banyak diam. Hingga tibalah kami di sebuah gazebo taman. Kami duduk di sana. Aku masih terdiam.
“Hei, kau diam saja dari tadi, ada masalah?”tanyanya.
“Mmmm tidak, aku hanya tak menyangka punya teman sebaikmu,” kataku.
“Iyakah? Apa kamu tak punya teman?”
“Punya, tapi…….” Aku lalu menceritakan semuanya. Semuanya yang terpendam di dalam hatiku.
Dia mendengarkanku seksama. Tak terasa air mata mentes di wajahku. Begitu saja, tanpa bisa kubendung lagi. Lalu, sebuah pelukan hangat dia berikan padaku. Aku tak menyangka mendapatkannya. Dia memelukku lama. Lama sekali. Sebuah pelukan hangat. Sebuah pelukan yang membuatku tenang, aman, dan lega. Dia mengusap kepalaku dan berkata, “Sudah, kau jangan risau lagi. Sekarang kau punya teman kan?”
Aku sangat bahagia. Kini aku punya teman baru yang mau mengertiku. Tak hanya teman, dia seperti kakak yang akan menjagaku. Atau mungkin…. Ah yang penting aku tak bisa jauh darinya. Untuk saat ini.
Setelah kejadian itu, aku setiap hari bertemu dengannya. Meski sebentar, tapi cukup membuatku semangat kembali.
Tapi lagi-lagi, kondisi di sekolah membuatku semakin memendam kecewa. Bagaimana tidak, tugas bulanan yang kukerjakan selama seminggu ini dengan sudah payah, dengan entengnya dicopy paste Winda dan teman-temannya. Yang membuat dadaku sesak, mereka mendapat nilai yang lebih tinggi dariku. Tak adil bukan?
Tapi lagi-lagi, kondisi di sekolah membuatku semakin memendam kecewa. Bagaimana tidak, tugas bulanan yang kukerjakan selama seminggu ini dengan sudah payah, dengan entengnya dicopy paste Winda dan teman-temannya. Yang membuat dadaku sesak, mereka mendapat nilai yang lebih tinggi dariku. Tak adil bukan?
Aku mengeluhkan hal ini pada Edo. Dia tersenyum lembut dan berkata,”Sudahlah, nilai itu bukan segalanya, nanti kau akan dapatkan hasilnya suatu hari nanti. Percayalah.”
Aku mengangguk. Dia benar, aku harus mulai belajar ikhlas menerima keadaan ini. Meski sejujurnya hal itu tak sesuai dengan hati nuraniku.
***
Aku menjalani hari-hari bersamanya hingga menjelang kenaikan kelas. Lalu, sebuah kabar tak mengenakkan menghampiriku. Nenek berkata bahwa kami harus pindah ke rumah paman. Beliau berkata Paman akan menampung kami karena tak tega melihat nenek harus berjualan jamu setiap hari.
Aku sempat keberatan dengan keputusan ini. Aku baru saja mendapat seseorang yang layak disebut teman. Haruskah aku meninggalkannya. Tapi, di sisi lain aku juga senang tak akan bertemu Winda dan teman-temannya lagi. Ya, aku tak akan bertemu orang yang baik jika butuh saja. Aku juga ksihan pada nenek. Meski begitu, aku sangat berat meninggalkan Edo.
Saat kuutarakan hal ini pada Edo, kulihat wajahnya yang semula bersinar kini menjadi pucat. Keringat dingin keluar dari keningnya. Aku bertanya, kenapa dia sampai seperti itu. dia hanya menggeleng dan berkata tak apa-apa. Lagi-lagi dia memberikanku sebuah pelukan, tapi kali ini berbeda.
Pelukan yang menandakan sebuah kepasrahan. Tak sehangat dulu, pelukannya dingin. Pelukan yang rapuh. Aku tahu dia pasti juga bersedih akan kehilanganku. Tapi, aku harus berbuat apa.
“Nanti, sebelum kamu pindah, datanglah ke tempat ini ya. Aku hanya ingin memberi sebuah salam perpisahan untukmu,” pintanya.
Aku mengangguk. Lalu dia memberikanku sebuah gelang sebagai kenang-kenangan. Kupakai gelang ini di tangan kiriku, berharap kenangan bersamanya akan selalu bersamaku.
Hingga akhirnya hari di mana aku harus pergi datang juga. Sebelum menuju stasiun, aku minta izin pada nenek untuk menemuinya sebentar. Nenek memberi izin. Tapi aku harus cepat, katanya.
Aku berlari ke tempat pertemuan kami. Tapi tak ada sosok yang kucari. Lama aku menanti, tak jua sosok itu akan muncul. Apa dia mengingkari janjinya. Tolong, jangan lakukan ini Edo, aku hanya ingin terakhir bertemu denganmu. Waktu semakin cepat berlalu. Dia tak juga muncul. akhirnya aku menyerah. Aku kecewa padanya. Mengapa dia tega membuatku seperti ini?
Aku kembali ke rumah. Kulihat nenek sudah bersiap. Kami menuju stasiun. Sampai di stasiun aku masih berharap dia tiba-tiba datang di sini. Namun, hingga kami masuk kereta, tak ada tanda-tanda itu. Aku benar-benar sedih. Satu-satunya teman sejatiku ternyata membohongiku. Kereta pun berjalan. Perasaanku masih kacau. Aku pun terlelap.
Aku bermimpi sedang berjalan bersama Edo. Dan itu di depan Winda dan teman-temannya. Winda berkata, “Sar, kau dapat teman dari mana, cakepnya?”
Aku hanya tersenyum dan tak mengindahkannya. Kutarik tangan Edo mejauh dari mereka. Puas rasanya. Tapi kulihat Edo tak suka dan memasang muka masam. Aku tanya mengapa dia begitu. Dia akan bilang sesuatu, tapi….
Aku hanya tersenyum dan tak mengindahkannya. Kutarik tangan Edo mejauh dari mereka. Puas rasanya. Tapi kulihat Edo tak suka dan memasang muka masam. Aku tanya mengapa dia begitu. Dia akan bilang sesuatu, tapi….
Tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa. Saat kembali terang, kulihat darah berceceran di sekujur tubuhku. Kulihat nenek terpejam matanya. Juga dengan penumpang lain. Aku ingin berteriak meminta bantuan. Tapi sia-sia.
Aku kembali memejamkan mataku. Berharap ini mimpi. Lalu kulihat Edo meraih tanganku.
“Kau tak apa-apa?” tanyanya.
“Hanya sedikit sakit,” kataku. Dia tersenyum dan berkata,”Maaf Sar, aku duluan tadi, Yang penting kita bisa bertemu sekarang. Oh ya, ayah ibumu sedang menunggumu sekarang. Ayo kita ke sana.”
Aku hanya tersenyum dan mengikutinya. Akhirnya aku bersama orang-orang yang aku sayangi dan peduli denganku.
Tags
Fiksi