Langkahku bersemangat menaiki kapal motor itu. Hari ini aku diterima bekerja di sebuah perkebunan berskala nasional. Hampir tiga hari aku di atas kapal ini. Sebuah perjalanan terjauh yang pernah aku alami. Tak sabar rasanya melihat kondisi perantauan. Aku tiba di dermaga menjelang petang. Orang-orang mulai turun. Aku pun mengikuti apa yang mereka lakukan.
Sesampainya di dermaga, aku mencari alamat yang akan kutuju. Rupanya tak banyak orang yang tahu. Maklum, perusahaan tempatku bekerja ini adalah perusahaan baru. Sambil mencari alamat itu, seorang pria muda menghampiriku.
“Ada apa mas, ada yang bisa saya bantu?” tanyanya. Kulihat dia membawa sekarung kelapa sawit di pundaknya. Ia akan mengirim kelapa sawit itu keluar pulau.
Aku masih mengamatinya. Sepertinya dia bisa diandalkan. “Begini, mas. Aku mendapat pekerjaan di sini dan mencari alamat tempatku bekerja. Mas tahu tempatnya?” tanyaku sambil menunjukkan alamat perusahanku.
Pria itu mengamati alamat yang kumaksud. Dia lalu berkata seraya tersenyum,”Oh tentu mas. Rumahku tak jauh dari situ. Kalau Mas berkenan kita bisa sama-sama ke sana. Nanti saya antar setelah menaikkan karung ini ke kapal. Kebetulan saudara saya menjadi security di sana”.
“Wah kebetulan Mas. Untung ada sampeyan. Baik mari kita berangkat,” kataku.
Setelah dia selesai dengan pekerjaannya, kami berangkat. Kami pun berjalan bersama-sama sambil mengobrol. Pria itu mengenalkan dirinya bernama Edo. Ternyata tempatnya cukup jauh. Sebenarnya ada saja kendaraan yang menuju ke sana. Hanya saja, hari sudah malam sehingga cukup sulit untuk menemukan kendaraan. Aku menurut saja berjalan menaiki bukit di dekat dermaga itu.
“Tenang mas, sudah dekat kok”, katanya. Hari semakin gelap. Untung saja dia membawa senter. Kami mendaki jalan setapak yang berada di sisi bukit. Di sekeliling kami banyak sekali pepohonan akasia dan jati yang berjejejar dengan rapi. Hampir satu jam kami berjalan. Hingga kulihat temaram lampu dari balik bukit.
“Nah sebentar lagi, mas. Itu kampung saya. Tempat mas bekerja ada di sebelah kampung saya”.
Aku hanya mengangguk. Rupanya aku cukup capek setelah berjalan jauh tadi. Sesampainya di kampung aku dimita Edo untuk tidur saja di rumahnya. Besok aku akan diantarkan ke tempatku bekerja. Sungguh baik sekali orang ini, pikirku.
Edo mengenalkan aku pada keluarganya. Rupanya dia masih memilki ayah, ibu, dan seorang adik perempuan. Nama adiknya Rani. Mereka menyambutku dengan hangat. Aku tak tahu mengapa tiba-tiba ada sesuatu perasaan aneh saat melihat Rani dan menjabat tangannya. Ah mungkin karena aku baru melihat wanita cantik di tempat ini.
Sebelum tidur aku berbincang-bincang sebentar dengan Edo. Dia bercerita banyak tentang daerah ini. tentang penduduknya, hasil buminya, dan keseniannya. Aku sangat takjub dan senang. Bisa bekerja di daerah indah ini. Menjelang tengah malam aku pun tertidur.
Keesokan harinya aku diantarkan Edo ke tempatku bekerja. Ternyata tempatnya tak jauh. Edo hanya mengantar sebatas gerbang. Dia akan kembali ke dermaga. Aku setuju dan mengucap terimakasih padanya. Lalu aku menemui HRD tempatku bekerja. Rupanya aku telah ditunggu oleh orang yang menerimaku bekerja. Mulai hari itu aku pun bekerja.
Karena belum memiliki tempat tinggal, keluarga Edo mau menampungku terlebih dahulu. Sebenarnya aku sungkan. Tapi Edo dan keluarganya terus mendesakku. Aku tak bisa menolak. Terlebih ada Rani di sana. Gadis ini lama-lama menarik perhatianku. Sesekali dia mencuri waktu agar bisa mengobrol bersamaku. Aku tahu dia cukup pemalu dan tak punya banyak teman. Dengan kehadiranku rupanya dia cukup senang. Apalagi kalau aku sedang libur, aku menemaninya mengobrol. Keluarga Edo benar-benar menjamuku dengan baik.
Hubunganku dengan Rani semakin akrab saja. Kami semakin intens menjalin hubungan. Saat kupegang tangannya, dia tak menolak. Saat kubelai rambutnya, dia hanya tersenyum. Kami melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Kami takut Edo dan orangtuanya tahu.
Rani memang istimewa. Dia tak seperti gadis lain. Aku bisa merasakan suatu aura yang tak bisa kujelaskan. Aura yang sangat menyenangkan. Tak heran aku betah lama-lama dengannya. Andai saja dia mau menjadi pendampingku. Aku akan sangat senang.
Suatu hari Edo mengajakku berjalan-jalan bersama Rani berkeliling kampung. Dia berkata agar aku mengenal lebih dekat dengan daerah ini. Aku pun setuju. Meski ada Edo, tak apalah, yang penting ada Rani.
Kami berjalan menyusuri kampung. Melewati pematang sawah, perkebunan kopi, dan sebuah danau kecil di tepi kampung. Ternyata kampung ini sangat luas dan subur. Hawa sejuk sangat terasa. Ada banyak pemandangan indah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Apalagi ada Rani, pemandangannya menjadi lebih segar.
Banyak aktivitas warga yang kusaksikan. Ada yang bertani, berkebun, hingga mendaur ulang sampah kopra dari tempatku bekerja. Aku sempat menyapa mereka. Namun, ada hal aneh yang kutemui. Mereka seakan sinis dengan kehadiranku. Memang hal ini sudah kurasakan sejak aku mulai bekerja. Namun karena kesibukanku, aku tak terlalu memikirkan mereka. Hingga pada akhirnya aku bertanya kepada Edo. Dia hanya menjawab, “Tenang saja, mereka tak biasa dengan orang asing dan pekerja pekerbunan tempatmu bekerja. Jangan hiraukan mereka. Yang penting kau tetap baik pada mereka”.
Aku hanya mengangguk. Mungkin butuh waktu agar bisa akrab dengan mereka.
Hari demi hari kulalui di kampung itu. Aku semakin nyaman saja. Namun ketenanganku terusik di malam itu. Saat itu aku sedang tertidur karena hari mulai malam.
Kudengar para warga berkumpul di depan rumah Edo. Ada apa ini? Aku bergegas keluar.
“Cepat usir dia. Jangan sampai dia menimbulkan fitnah!”
“Ya usir saja dia. Sudah tertangkap basah masih saja kau tampung!”
Suara-suara marah itu saling bersahut-sahutan. Aku bergegas menemui Edo dan keluarganya yang tampak ketakutan di ruang tamu. Rani menangis di pelukan ibunya.
“Hei, kau apakan adikku?” tanya Edo padaku. Aku mengelak tak berbuat apa-apa. Lalu dia menunjukkan sebuah foto saat aku bersama Rani.
“Tidak, jangan berpikiran macam-macam. Aku hanya mengobrol. Lagian kami tak berdua. Ada ibu di dalam”,
“Benarkah seperti itu? Kalau begitu akan kuhadapi saja mereka. Aku tetap percaya padamu”.
Aku akan menemui mereka, tapi Edo mencegahnya. Dia hanya berpesan suapaya aku segera berkemas pergi untuk sementara waktu. Kulihat Edo dan ayahnya mencoba menenangkan massa yang marah. Namun kali ini mereka berkata dalam bahasa yang tak kumengerti.
Aku bergegas mengemasi barangku seadanya. Sebelum sempat keluar kamar, aku merasa hawa panas menjalar. Alangkah terkejutnya aku mendapati rumah ini dibakar. Aku mencari Edo dan keluarganya. Tapi kobaran api yang besar menghalangi upayaku. Satu-satunya harapan adalah menyelamatkan diri dulu. Aku membuka jendela kamar dan melompat keluar.
Aku berlari sekuat tenaga menjauhi kampung itu. Namun di sebuah persimpangan jalan kulihat banyak orang sudah berjaga. Mereka berteriak keras dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku mencoba berballik arah namun terlambat. Mereka akan menghajarku. Pukulan, tendangan langsung aku dapatkan. Hingga aku tak sadarkan diri.
Aku tersadar saat pagi hari. Kubuka mataku. Kini rupanya aku di sebuah gubuk. Namun kali ini aku bersama tiga pemuda. Mereka duduk-duduk di sebelahku. Mereka seperti akan naik gunung.
“Di mana aku?” tanyaku pada mereka sambil mencoba bangun. Tapi seluruh tubuhku terasa remuk.
“Mas, jangan dipaksa dulu. Kami menemukan mas tergeletak di tepi jurang itu. Untung Mas tak jatuh,” kata salah satu dari mereka.
“Mas sendiri mau ke mana? Kok di tempat ini sendirian?” tanya yang lain.
Aku lalu menceritakan semuanya kepada mereka. Mereka kaget.
“Kampung? Tak ada kampung di sini, Mas. Satu-satunya kampung ya di dekat dermaga tadi. Apalagi perusahaan perkebunan. Gak ada Mas. Mungkin Mas bermimpi. Di sini hutan lebat Mas, tak ada orang di sini”.
Aku merinding. Apa aku bermimpi? Lalu Edo dan keluarganya bagaimana? Tempat kerjaku? Kucari tasku. Masih ada rupanya. Lalu aku ingat Rani memberiku sebuah pigora dari kerang. Ternyata masih ada. Biarlah barang ini yang menjadi kenangan.
Setelah pulih, aku diantarkan ke dermaga oleh mereka. Aku kembali pulang ke rumahku. Sambil membawa misteri yang tak bisa kupecahkan dan kenangan indah bersama Edo dan keluarganya.