Hari itu kebetulan saya masih berada di kelas. Satu tumpukan
koreksian masih harus saya selesaikan. Selain koreksian ulangan harian/UTS,
saya pantang membawa ke rumah. Bukan apa-apa, saya tak memiliki banyak waktu di
rumah.
Selepas pulang dari sekolah, saya langsung tancap gas untuk memberikan les. Baru bisa bernafas sekira pukul setengah 9 malam. Maklum, saya hanyalah guru “luar negeri”, jadi harus pandai-pandai mencari tambahan untuk modal nikah, hehe.
Selepas pulang dari sekolah, saya langsung tancap gas untuk memberikan les. Baru bisa bernafas sekira pukul setengah 9 malam. Maklum, saya hanyalah guru “luar negeri”, jadi harus pandai-pandai mencari tambahan untuk modal nikah, hehe.
Entah mengapa hari itu saya tak menyalakan musik seperti
biasanya. Mungkin karena saya segera cepat menyelesaikannya atau karena Bu L,
rekan guru yang mengajar dengan tingkat yang sama sedang menyetel lagu kesukaannya di kelas sebelah. Saat asyik-asyiknya mengoreksi, tiba-tiba terdengar suara
cekikikan. Sangat keras hingga saya kaget dibuatnya. Yang membuat saya kaget
suara itu bukan suara anak-anak, yang mungkin belum dijemput orang tuanya. Saya
melirik jam, sudah hampir setengah 3 sore.
Saya berinisiatif melirik jendela untuk melihat keadaan
sekitar. Ternyata, di luar kelas saya masih banyak wali murid duduk-duduk
sambil mengobrol dan makan camilan dengan enaknya. Wow, super sekali. Saya lantas
mengambil koreksian dan mengganti posisi duduk, dari meja guru ke meja siswa
yang dekat dengan jendela. Saya hanya ingin tahu mengapa mereka masih di area
sekolah. Padahal tak ada kegiatan lagi, semisal ekskul atau tambahan pelajaran.
Sambil mengoreksi saya mendengarkan apa yang mereka
bicarakan. Ada apa gerangan mereka tak kunjung meninggalkan sekolah sambil
membawa serta anak mereka untuk kegiatan selanjutnya di rumah. Ternyata, mereka sedang
bergunjing mengenai berbagai hal. Saya menggunakan kata bergunjing karena bahan
pembicaraan yang saya dengar menurut saya, tak terlalu banyak manfaat. Kalau kita
membicarakan masalah yang tak terlalu banyak manfaat dan yang kita bahas
mengenai keburukan orang, itu namanya bergunjing kan.
“Eh Bu XXXX itu seenaknya meninggalkan muridnya. Makanya
saya kemarin minta biar anak saya tidak dimasukkan ke kelasnya Bu XXXX,” kata
salah seorang ibu, sebut saja Bu A.
“Iya, dia sukanya ngatur-ngatur gitu, padahal gak becus
ngajar. Harusnya kan ngajarnya gini…. Ngasih tugasnya gitu….. bla bla bla”,
kata salah seorang ibu, sebut saja si Bu B.
Bu A menimpali lagi, “Iya, anak saya gak pernah
diperhatikan. Lha sampai sekarang mengitung saja belum bisa.”
Saya perhatikan pembicaraan mereka. Lama-lama, saya kok,
tambah eneg ya. Bukan saja karena yang dibicarakan adalah keburukan kolega
saya, tapi ada beberapa hal yang menurut saya tak pantas mereka lakukan. Pertama,
mereka melakukan aktivitas yang tak ada hubungannya dengan kegiatan sekolah
(semisal menjemput) di tempat yang tak semsetinya. Harusnya mereka mencari
kegiatan lain jika ingin melakukan hal tersebut. Memang saya akui, penjaga
sekolah saya tak terlalu tegas dalam menerapkan aturan pembatasan orang yang
keluar masuk. Tapi tetap saja, keberadaan mereka di sekolah pada jam waktu
tersebut kok tidak etis. Apalagi, kalau ada apa-apa, semisal ada sesuatu barang
yang hilang, maukah mereka bertanggung jawab? Kedua yang saya sayangkan mereka
mempergunjingkan hal tersebut di depan anak-anak mereka. Jadi, mereka
memeprgunjingkan keburukan orang yang mendidik anak mereka di depan anak mereka
sendiri. Kalau begini saya jadi berpikir, sang anak akan menyadari mereka
dididik oleh orang yang salah di sekolah. Bukan pepesan kosong kalau anak-anak
mereka sedang diberikan terapi mental bahwa mereka sedang belajar bersama “orang
yang tidak tepat”. Beberapa murid les saya bahkan mengatakan guru di sekolahnya
“goblok” lantaran sering mendengar pergunjingan teman-teman ibunya saat ia
dijemput. Nah kalau sudah begini, mau bagaimana lagi?
Biasanya para wali murid seperti itu adalah tipe wali murid
yang memiliki “waktu luang banyak”, tak seperti wali murid lain yang hanya
mengantar jemput putra-putrinya lalu meninggalkan sekolah. Saya biasanya
menyebut wali murid seperti ini adalah “geng wali murid”. Mereka berkelompok
melakukan kegiatan banyak hal, mulai bergunjing, arisan, hingga acara-acara
lain yang melibatkan kelompok mereka sendiri. Dari kelompok ini, biasanya akan
menurun kepada anak-anak mereka. Saya melihat, beberapa dari geng ini mulai
membentuk komunitas eksklusif dengan anggota ya itu-itu saja. Anak-anak mereka
pun akan bermain bersama dengan kelompok yang sama dengan kelompok orang
tuanya.
Yang membuat saya miris, mereka akan berusaha melakukan
berbagai cara agar anak-anak dalam kelompoknya masih dalam satu kelas dengan
guru yang mereka sukai, yang mereka anggap bisa bekerja sama dengan
kelompoknya. Saya mengira, kejadian ini hanya terjadi di sekolah saya bekerja,
ternyata tidak. Di sekolah lain, tempat murid les saya bersekolah juga
demikian, apalagi bagi sekolah yang memiliki kelas paralel (A,B,C, dst). Beberapa
kegiatan sekolah pun sering menjadi ajang untuk mengeksiskan komunitas ini,
semisal acara perpisahan kelas/sekolah.
Untunglah, tahun ini, di sekolah saya dilakukan kebijakan
mengacak peserta didik saat awal tahun pelajaran. Jadi, tidak otomatis si A
yang kelas 4nya di kelas A maka kelas 5nya di kelas A. Atau si C yang kelas 4nya
di kelas C maka kelas 5nya di kelas C. Pengacakan kelas dilakukan secara adil,
dilihat dari peringkat kelas saat UAS. Jadi, dalam satu kelas ada siswa yang
memiliki nilai tinggi, sedang, dan rendah, dari berbagai macam kelas (A,B,C,
dst) dalam jumlah yang seimbang. Meskipun kebijakan ini menuai pro kontra,
apalagi di kalangan geng wali murid, tapi saya sangat setuju dengan kebijakan
ini. Paling tidak, ada usaha untuk meminimalisir bentuk-bentuk pengelompokan
yang terjadi diantara siswa. Mereka diharapkan bisa lebih bersosialisasi. Apalagi,
di jenjang SMP/SMA, setiap tahun pasti diadakan pengacakan kelas.
Meski begitu, saya masih miris melihat geng-geng wali murid. Beberapa kali saya mendengar ada acara
semisal ulang tahun anak yang hanya dilakukan dengan mengundang komunitas
mereka saja. Anak-anak yang tidak menjadi komunitas mereka tidak diundang,
padahal beberapa anak yang tak diundang rumahnya sangat dekat dengan mereka. Beberapa
kali sambil sedikit bergurau saya bertanya mengapa saya dan teman-teman yang
lain tak diundang, padahal kalau kita banyak beramal dan bnayak yang mendoakan maka
akan banyak kebaikan yang kita peroleh. Sang anak hanya tersenyum.
Geng wali murid ini semakin eksis dari tahun ke tahun. Komunitas
haha-hihi ini, sering tak disadari oleh banyak pihak, terutama sekolah. Maka dari
itu, peran sekolah dalam mengelola paguyuban/komite sangat besar karena mereka
ini juga memainkan peran penting dalam mendidik putra-putri. Kita tak mau kan
generasi masa datang tertanam untuk terkotak-kotak dalam bersosialisasi? Jadilah
wali murid yang bijak, yang berperan sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Jadilah
mitra bagi sekolah yang baik, demi tujuan bersama mencerdaskan kehidupan
bangsa.
Sekian, mohon maaf jika ada kesalahan. Salam.
Tags
Catatanku