Berkali-kali melihat film ini saya tak pernah merasa bosan.
Bagi yang belum menonton akan saya ceritakan sedikit. Film ini berkisah mengenai seorang siswi yang sangat pintar dan menjadi rangking 1 di kelasnya. Karena kepintarannya dia mendapatkan beasiswa. Dia berasal dari keluarga kurang mampu. Suatu ketika, peringkatnya turun menjadi peringkat 6 dan beasiswanya terancam dicabut. Memang dia cukup bisa menerima. Namun, saat dia mengetahui bahwa turunnya peringkat kelasnya akibat oknum wali murid yang menyogok pihak sekolah (oknum guru), dia menjadi sangat kecewa. Lalu dia menemui guru yang menerima sogokan untuk mengembalikan nilainya sesuai aslinya. Namun guru tersebut menolak dan malah mencekik siswi tadi hingga meninggal. Dan yang parah, banyak yang menduga kematian siswi tadi akibat bunuh diri. Para guru dan siswa menganggap kejadian ini sudah berakhir.
Namun ternyata tidak, ayah siswi tadi tidak terima. Dengan menyamar sebagai penjaga sekolah, ia membantai satu per satu murid di sekolah tadi. Ia ingin guru yang membunuh anaknya bertanggung jawab. Tentunya dengan intrik-intrik khusus yang bisa anda saksikan sendiri.
Meski terkesan sadis, film ini memberi pelajaran bagi kita, baik orang tua atau murid mengenai hasil yang didapat di sekolah. Kalau direnungkan lebih dalam, mengapa sih kita dulu sekolah? Biar pintar, mencari ilmu yang berguna, atau alasan utamanya mendapat rangking 1 di sekolah?
Seumur hidup, memang saya pernah mengalami masa-masa indah masuk 3 besar di sekolah, baik rangking 1, 2, dan 3 meski itu jarang sekali. Namun, saya juga pernah mengalami masa-masa suram tak mendapatkan rangking dan menjadi target guru karena nilai saya benar-benar parah. Dulu saat SD saya akui memang cukup maniak dengan yang namanya rangking 1. Siapa sih yang tak mau rangking 1? Namun seiring berjalannya waktu saya mulai menyadari bukan rangking 1 yang menjadi esensi utama kita sekolah. Bukan itu. Yang terpenting adalah bagaimana kita bisa belajar dengan baik, bisa menggunakan ilmu kita, dan yang terpenting bisa mengamalkan ilmu kita.
Rangking 1 hanyalah sebuah apresiasi atas usaha keras kita selama proses pembelajaran. Yah seperti kalau kita mengikuti lomba. Ada juara 1, 2, dan 3. Ada yang menang ada pula yang kalah. Yang menang memang bangga. Tapi bagi yang kalah atau tak mendapatkan rangking, haruskah bersedih hati? Haruskah malu?
Kenapa harus bersedih hati atau malu. Memang kita akan sedih kalau nilai kita buruk dan tentunya malu. Tapi yang menjadi titik utamanya, bagaimana kita memperbaiki cara belajar kita yang sudah kita lakukan. Bagaimana bisa rangking satu kalau belajarnya masih begitu-begitu aja?
Rangking 1 (dengan berbagai cara)
Saya masih ingat, dulu saat SD, saya punya teman yang begitu maniaknya mendapat rangking 1. Saya yang merasa cukup maniak sering juga dirugikan dengan teman saya tadi. Sejak kelas 1 hingga kelas 4, dia memegang peringkat kelas yang pertama. Namun, yang saya sayangkan rewardnya ini dibantu oleh oknum guru yang masih merupakan kerabatnya. Jadi saat THB (dulu era 90an UAS disebut dengan Tes hasil belajar), oknum guru tadi masuk ke kelas dan menuju bangku teman saya tadi. Lalu, dia mengecek pekerjaan teman saya tadi. Jika ada yang salah maka oknum guru tadi membenarkannya. Herannya, guru yang mengawasi THB sepertinya cuek saja, mungkin sungkan. Bagaimana gak dongkol coba? Teman-teman lain pasti juga merasakan hal yang sama. Saya gemesnya bukan karena saya yang menjadi rangking 1 tapi sebenarnya menurut saya ada teman lain yang lebih pantas mendapatkannya. Tapi ya sudahlah, itu saat zaman orde baru, anak SD yang mau protes saja takut.
Saat SMA, saya bahkan menemukan kasus yang lebih parah. Ada teman perempuan yang menjadi rangking 1 sejak kelas 1. Dia sekelas dengan saya saat kelas 2. Saya herannya dia itu pinter sekali menggunakan “berbagai cara” saat ujian. Mulai dari menyontek teman sebelah (termasuk saya yang saya salahkan jawabannya, hihi), mencari bocoran soal ualngan ke kelas lain (sampai teman di kelas lain jengah dengan tingkahnya), dan yang unik memfotokopi buku cetak/LKS dengan ukuran super mini sampai saya kalau mau lihat tulisannya saja harus memakai kaca pembesar. Sampai-sampai dia dijuliki “Ratu Kerpek”. Saat pembagian rapor dengan cukup dongkol teman-teman sekelas melihat dia menjadi nomer 1 lagi. Padahal ada teman yang begitu istiqomah belajar, berdoa, dan suka membantu teman yang kesulitan (termasuk saya juga dibantu) tapi dia menjadi nomer 2. Yah lagi-lagi begitulah. Saat SMA pula saya memiliki teman yang selalu jawara rangking paralel (rangking 1 sekolahan). Tapi suatu ketika dia tidak jawara paralel lagi meski di kelasnya nomer 1. Apa yang ia dapat? Ayahnya melarangnya mengikuti ekskul yang memang sampai sore hari padahal ia sangat senang dengan kegiatan tersebut.
Disadari atau tidak, rangking 1 sampai saat ini menjadi sebuah hal yang harus dikejar. Saya punya tetangga yang anaknya ngambek tak mau sekolah lagi pas ajaran baru gara-gara dimarahi karena tidak rangking 1 lagi. Duh beruntungnya saya karena orangtua saya tak terlalu menuntut saya harus rangking berapa yang penting sekolah niat dan benar. Rangking 1 memang dambaan para pelajar dan orangtuanya. Tapi caranya ya harus baguslah. Coba misal ya saat ditanya anaknya dulu orangtuanya rangking berapa? Terus dijawab Rangking 1. Lalu anaknya bertanya lagi, bagaimana caranya? Masak harus dijawab dengan cara tadi? Atau berbohong? Hayo.
Saya jadi merenung dan akan janji pada diri sendiri, nanti kalau punya anak, saya mau mengubah mindset rangking 1 ini. Saya akan tetap “keras” dalam menyuruh anak belajar tapi juga tak terlalu mempermasalahkan rangking 1 atau tidak. Saya akan tanamkan kalau kamu giat belajar dan berdoa dengan rajin, maka rangking 1 akan datang sendirinya karena memang pantas mendapatkannya. Saya tak mau anak saya nanti benar-benar maniak dengan rangking tapi lupa dengan esensi menuntut ilmu dan memiliki atitude yang kurang baik.
Hasil memang penting, tapi jangan pernah menyepelekan proses.
Tags
Catatanku