Rasanya saya sudah kehabisan model untuk duduk di jok mobil
yang membawa saya ke perjalanan “jauh tapi hanya sebentar” antara Malang-Banyuwangi.
Kaki sudah pegal, punggung minta diluruskan saking seringnya mobil berhenti
akibat satu dan lain hal. Sudah sampai manakah ini?
Hampir setengah jam mobil melintasi jalan naik turun dengan
belokan tajam plus lebar jalan yang sempit. Hingga akhirnya jalan yang saya
lalui mulai landai disertai pemandangan tanaman tembakau di kiri-kanan jalan. Tanda-tanda
kehidupan pun mulai muncul tak seperti keadaan jalan sebelumnya, yang berisi
jurang dalam dengan sesekali terlihat orang peminta-minta di kanan-kirinya. Kalau
melihat patung penari gandrung di jalan sebelumnya, saya yakin ini sudah masuk
wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kabupaten paling timur di Pulau Jawa yang tinggal
sepelemparan batu dari Pulau Jalan-Jalan, Bali. Tapi,masih jauhkah tujuan saya?
Iseng-iseng, saya mencari tahu keberadaan saya. Untunglah,
mobil dalam keadaan pelan sehingga saya bisa membaca paling tidak ada tempat
berpalang alamatnya. Betapa kagetnya saat saya membaca ada sebuah sekolah
bernama SDN Tegalharjo. Bukan nama Sdnya yang membuat saya kaget bercampur
ingin tertawa, tapi nama Kecamatan tempat SD tersebut. Kecamatan Glenmore namanya.
Hahh, Glenmore? Kok kalau diucapkan agak aneh ya. Tak seperti nama
Kecamatan-Kecamatan sebelumnya yang saya lalui terlihat seperti nama Kecamatan
pada umumnya. Sebut saja Purwodadi (Pasuruan), Ranuyoso (Lumajang), Bangsalsari
dan Silo (Jember). Lha ini Glenmore? Kalau diucapkan kok ya gimana gitu.
Ternyata, setelah saya googling karena penasaran, nama
Glenmore ini diambil dari nama keluarga Skotlandia yang pernah menguasai perkebunan di daerah tersebut. Berikut ini cerita mengenai asal-usul nama Glenmore tang saya
kutip dari situs majalahjelajah.com.
Sebagian besar orang meyakini Glenmore merupakan gabungan
dari dua kosa kata yakni “Glen” dan “More”. Kata Glen untuk
menggambarkan daerah berhawa sejuk yang memiliki hamparan lahan berkontur.
Sedangkan More untuk menunjukkan daerah ini memiliki hamparan
berkontur yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Gabungan
dua kata itu kemudian disatukan menjadi Glenmore. Konon, gabungan dua kosakata
ini banyak digunakan oleh warga Belanda yang menghuni daerah ini sejak abad
ke-18. Tapi, dugaan ini sulit dicari pembenarannya karena tidak ada bukti yang
kuat.
Versi lain menyebutkan nama Glenmore tidak lepas dari Ros
Taylor, bangsawan Skotlandia yang membeli lahan perkebunan di daerah ini. Izin
pembukaan lahan ini ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 24
Februari 1909 dan diumumkan di Javasche Courant tanggal 30
Maret 1909. Javasche Courant merupakan lembar penyebaran informasi
tentang perundangan yang menjadi cikal bakal Berita Negara yang kita kenal
sekarang. Berita Negara pertama kali dipakai pada tahun 1810 dengan nama Bataviasche
Koloniale Courant yang kemudian berubah menjadi Javasche
Courant pada tahun 1815.
Lahan perkebunan seluas 163.800 hektar itu baru resmi dibuka
pada tahun 1910. Kepemilikan perkebunan ini sempat berpindah tangan ke
penugsaha Liem Tek Hie setelah Perang Dunia II. Tapi, setelah pergolakan
politik pertengahan tahun 1960-an, perkebunan ini jatuh ke tangan petani
penggarap tahun 1969. Kepemilikan perkebunan ini terus beralih hingga
perusahaan perkebunan Margosuko Group masuk pada tahun 1980 hingga sekarang.
Menurut versi ini, Ros Taylor sangat dihormati oleh penduduk
lokal maupun warga Belanda karena kekayaan dan status sosialnya. Sebagai
penghormatan kepada bangsawan Skotlandia ini Belanda menamai perkebunan yang
telah dibeli dengan nama Glenmore. Kata Glen untuk menggambarkan lahan
perkebunan yang berkontur dan sangat luas. Sedangkan More merupakan marga
keluarga besar Taylor. Jadi, Glenmore merupakan lahan berkontur yang luas milik
keluarga More.
Salah satu bukti untuk memperkuat asumsi ini adalah adanya
perkebunan Glen Falloch dan Glen Nevis di Kecamatan Glenmore. Tapi, Nama Falloch
dan Nevis tidak sampai menjadi nama suatu daerah karena status kebangsawanan
dan luas lahan yang dimiliki tidak seperti milik Ros Taylor. Penggunaan nama
pemilik untuk nama perkebunan ini juga terjadi pada Perkebunan Trebasala di
Kecamatan Glenmore. Trebasala merupakan penyebutan terbalik untuk alas
(lahan/hutan) milik Tuan Albert. Tapi, asumsi ini juga diragukan karena di
Skotlandia tidak ada marga More.
Meski Ros Taylor tidak memiliki marga More, dia diduga kuat
berperan dalam menemukan kata Glenmore untuk perkebunan ini. Kata Glenmore bisa
dilacak dari Bahasa Gaelic sebagai bahasa asli Skotlandia tempat Ros Taylor
berasal. Dalam Bahasa Gaelic, Glenmore berarti “big glen” yakni
daerah dengan kontur perbukitan yang menghampar sangat luas. Istilah Glenmore
biasa digunakan orang Skotlandia untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan
daerah berkontur perbukitan atau hal yang berhubungan dengan lahan perbukitan.
Meskipun nama Glenmore lebih dekat dengan Skotlandia, secara
fisik Glenmore cukup dekat dengan hal-hal yang berbau Belanda karena Belanda
cukup lama menguasai lahan perkebunan di daerah ini. Bahkan bangunan-bangunan
peninggalan Belanda seperti markas, stasiun kereta uap, sistem irigasi, hingga
gudang penimbunan hasil perkebunan masih ditemukan hingga sekarang. Salah satu
yang cukup dikenal adalah pipa air sepanjang 500 meter di Desa Margomulyo yang
dikenal dengan Pipa Sarengan.
Oh jadi begitu ceritanya. Tapi satu hal yang saya kagumi
dari Glenmore adalah masih hijaunya pemandangan di kiri kanan jalan. Meskipun daerah
tersebut digunakan untuk daerah perkebunan, tapi kondisi hutannya tetap
terjaga. Mungkin juga PTPN XII berperan andil di dalamnya karena saya melihat
banyaknya atribut PTPN XII di sana. Belum lagi, bangunan masa kolonial yang
beterbaran membuat suasana Glenmore layaknya sebuah desa di Eropa. Kalau ada waktu luang, bolehlah ke sana lagi untuk mencari tahu lebih banyak tentang Glenmore.
PS: Tak sempat foto-foto akibat baterai HP lemah.
Sumber :
Tags
Catatanku